webnovel

Penyelamatan

" Aku sudah menemukan lokasi anak

tersebut " Kata Geby.

Menyerahkan beberapa berkas kepada Ardi agar Ardi dapat membaca isi berkas tersebut. Pemukiman Lok menjadi tujuan mereka, anak itu berada di salah satu perumahan disana.

" Baiklah, terima kasih Geby. kau bekerja dengan baik " Kata Ardi.

Geby tersenyum, " Hm.. senang bisa membantu kalian " Kata Geby.

Ardi keluar dari ruang kerja Geby, menuju tempat berkumpul timnya. Melihat kedatangan Ardi membuat Resga, Rendy, Fadhli dan Sim berdiri dan memberi hormat kepada Ardi. Ardi menghela napas, padahal ia sudah menyuruh teman-temannya untuk bersikap biasa saja jika cuma ada dirinya saja. Lagi pula ia mustahil memperlakukan teman-teman seperjuangan nya seperti bawahan nya.

Ardi akan menghukum rekannya jika mereka memang terbukti bersalah.

Ardi memberi isyarat kepada mereka untuk menurunkan tangan mereka. Sebuah dokumen berada di atas meja bundar coklat, Fadhli yang terlebih dahulu meraih dokumen tersebut dan membukanya.

Informasi yang mereka dapatkan mengenai penculikan anak tersebut telah ditemukan keberadaannya. " Wah, Geby memang wanita luar biasa " Kagum Resga.

" Pantas saja Dokter Tio jatuh cinta dengan Geby " Kata Sim, " Geby benar-benar wanita hebat ".

Fadhli menaruh dokumen tersebut diatas meja kembali, " Jadi, kapan kita akan melakukan penyelamatan? " Tanya Fadhli.

Ardi mencoret-coret papan putih yang ada dihadapannya, menyusun strategi dan berdiskusi dengan timnya. " Kita memerlukan bantuan anggota Brimob. Apa lagi kasus ini berhubungan dengan teroris " Kata Ardi menjelaskan.

" Sim, kau hubungi Ghibran dan tim nya. Rendy dan Resga kalian terlebih dahulu mengamati sekitar Komplek Lok, dan sisanya ikut dengan ku! "

" Baik! "

...

Pria berjas putih menyuntikkan sebuah cairan kuning ketubuh Abbiyya, Abbiyya hanya diam seakan pasrah dengan keadaannya saat ini. Pria itu melepaskan masker medisnya, melepaskan kacamatanya sambil tersenyum manis kearah Abbiyya. " Sudah selesai, kau bisa keluar sekarang " Kata pria itu.

Abbiyya tak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya,seakan mati rasa. Ardiaz yang mengawasinya turun tangan, menggendong Abbiyya dan menaruhnya diatas kursi roda. Tangannya bergerak memberi isyarat kepada salah satu pelayannya untuk mendorong kursi roda yang digunakan Abbiyya menuju kamar nya.

" Bagaimana dengan uji coba penanaman bom di tubuh? " Tanya Ardiaz saat memastikan jika pelayannya membawa Abbiyya menuju kamar.

Dhika, nama dokter tersebut tersenyum ramah kepada Ardiaz. " Sayangnya sudah 20 anak yang tewas karena kegagalan uji coba tersebut " Kata Dhika dengan nada yang dibuat-buat kecewa.

Ardiaz menganggukan kepalanya, " Wajar saja sih, menanam bom dalam tubuh rasanya mustahil dilakukan " gumam Ardiaz.

" Tidak! —" "—uji coba itu bisa dilakukan jika kita benar-benar teliti melakukannya. " Kata Dhika. " Apakah aku harus menguji coba anak mu? " Tanya Dhika.

Ardiaz menggelengkan kepalanya, " Elina, entah dimana anak itu sekarang berada saat ini. Dia menghilang saat ledakkan di markas nya sendiri " Kata Ardiaz.

" Hm? " Dhika mengkerut keningnya, " ...atau mungkin saja dia tengah merencanakan sesuatu " Kata Dhika.

...

Siang itu cerah. Awan putih menyelimuti langit biru muda. Diatas pohon taman terlihat matahari yang begitu senang menyinari bumi dengan cahaya nya. Siang yang membuat orang-orang kepanasan dan beberaa orang yang menikmati waktu siang ditaman ini. Sejuk, angin berhembus sesekali meredakan rasa panas.

Waktu terus berjalan. Hingga siang menjadi sore hari, taman semakin ramai pengunjung. Kebanyakkan orang yang mengunjungi taman bersama dengan keluarga mereka. Hafi mendorong kursi roda yang digunakan Hanna, keinginan gadis lemah itu yang ingin merasakan dunia luar tanpa diawasi.

" Astaghfirullah... " Kaget Hafi saat rasa dingin menjalar dari belakang, pelakunya rupanya Dewa, kakaknya sendiri.

" Astaga, kamu nggak apa-apa? " Dewa merasa bersalah karena mengejutkan adiknya dengan cara menempelkan minuman dingin kepunggung Hafi.

Dewa yang melihat Hafi menggelengkan kepalanya merasa lega, ia segera menyerahkan minuman yang ia beli barusan kepada Hafi dan Hanna.

" Hanna, rencananya kamu akan diadopsi oleh salah satu teman ku. Apa kamu yakin menerima tawaran tersebut? " Tanyanya.

Hanna menarik napas dalam-dalam. " Aku sudah banyak merepotkan Hafi dan juga Ka Dewa. Aku tidak ingin mempersulit kalian

lagi "

" Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusan mu... "

Sepertinya Hanna tidak mengetahui jika Hafi dan Dewa tidak merasa keberatan dengan kehadiran Hanna dalam kehidupan mereka.

Mobil hitam berhenti dihadapan mereka bertiga. Seorang Wanita cantik berambut hitam panjang keluar dari dalam mobil dengan elegannya, berjalan menghampiri Dewa. " Lama tidak bertemu, Dewa " Kata Wanita itu ramah, dia memeluk Dewa dengan tepukkan lembut dibahu Dewa.

" Kau semakin cantik, Lina " Puji Dewa saat melihat penampilan temannya itu.

Lina tertawa mendengar perkataan Dewa barusan, kalau boleh jujur Lina merasa senang mendapatkan sebuah pujian apalagi pujian dari seorang pria manis seperti Dewa.

" Hallo, Hafi. kau sudah besar " Kata Lina.

Hafi tersenyum ramah, " Ka Lina semakin cantik saja. Ngomong-ngomong kenapa ka Lina tidak berkunjung ke kafe ka Dewa lagi? ".

" Aishh! Aku harus membereskan beberapa tikus yang berkeliaran di sekitar ku. Jika aku tidak membereskannya terlebih dahulu, Bisa-bisa mereka akan menyerangku dari

belakang " Kata Lina. " Ngomong-ngomong bukankah namamu Hanna? kau benar-benar cantik... ".

" Ah, dia yang akan kau adopsi. "

" Baiklah, semoga kau betah menjadi anakku, Hanna. "

...

Malam yang harusnya tenang kini dinodai suara langkah kaki tergesa-gesa. Pasukkan bersenjata mulai mengelilingi salah satu rumah di kawasan komplek elit perumahan. salah satu dari mereka dengan gesit merayap ketembok, membobol jendela paling atas.

Sebagian dari mereka naik melalui Jendela, lalu melompat turun. Mereka mengawasi keadaan sekitar, Gelap tak ada pencahayaan sama sekali. Salah satu dari mereka menggunakan Kacamata khusus agar bisa melihat dalam kegelapan.

" Ada dua orang tertidur diatas sofa " Katanya melaporkan melalui alat komunikasi.

Mereka semua menggunakan Kacamata khusus, mengendap-endap agar tidak membangunkan penghuni rumah. Salah satu dari mereka mencek dua pria yang tertidur di sofa, " Maaf " gumamnya. Menyuntikkan obat bius kepada mereka berdua.

Ardi, Ghibran dan beberapa anggota mendobrak pintu dari luar. Hal tak terduga terjadi, Elina berdiri disana sambil melempar beberapa pisau kearah mereka. Mereka menghindar, memberi intruksi kepada anggota mereka yang ada di dalam untuk melumpuhkan Elina.

Brak! Seorang anggota pasukkan bergerak dari belakang, menindih tubuh Elina dengan teknik yang di dapatkan dari masa pelatihan.

" Musuh berhasil dilumpuhkan " Lapornya.

" Ka-kau..."

Pelaku yang menindih tubuh Elina melepaskan penutup kepala yang ia kenakan. Sosok Wanita cantik berambut pendek dengan tatapan tajam dapat dilihat dengan jelas oleh Elina. Salah satu Wanita pasukkan khusus kepolisian.

Mereka semua melumpuhkan semua penghuni rumah tersebut, membuka setiap pintu untuk mencari keberadaan anak yang mereka cari.

" Kalian tidak bisa menemukannya disini! " Kata Elina dengan nada tegasnya. Manik hitam nya menatap tajam kearah Ghibran dan Ardi yang tak jauh dari posisi terlentangnya.

" Dimana anak yang bernama Kirana? " Tanya Tiara sambil menekan tubuh Elina agar tidak bergerak. " Hahahahahah... " Dia tertawa lalu terbatuk-batuk, "—Menuju keramaian ".

" Keramaian? " Gumam Ghibran.

" ..., Semua hancur akibat kehadirannya ".

Ghibran menyipit. " Keramaian? Tempat mana yang sering dikunjungi oleh banyak orang? " Tanyanya.

Ardi mengusap dagunya. " Taman bermain? Kolam berenang? Pasar? —" Ardi menggelengkan kepalanya, terlalu banyak tempat yang banyak dikunjungi oleh orang-orang.

" Ardi, suruh tim mu untuk mengunjungi setiap lokasi yang banyak dikunjungi oleh orang-orang. " Entah mengapa, Ghibran memiliki firasat buruk. " Kemungkinan anak itu membawa bom " Gumam Ghibran.

...

Nathan dan regunya memasuki markas, semua orang yang melihat kehadiran mereka menyambut penuh suka cita. Beberapa dari mereka menangis haru, bahkan ada yang marah-marah kepada mereka walau pada akhirnya ikut menangis.

Mereka semua besyukur karena teman seperjuangan mereka masih hidup. Tidak mendapatkan kabar selama 2 hari membuat mereka merasa khawatir.

" Kami sudah mendapat informasi dari mereka " Kata Nathan sambil menyerahkan dokumen yang diberikan oleh Baron kepada Letnan Kolonel Tito.

Tito menerima dokumen tersebut dengan senang hati, membaca isi dokumen tersebut dengan teliti. " Uji coba penanaman bom? ".

" Benar, mereka sudah mencoba kepada 20 anak yang mereka culik. Namun, mereka gagal dalam uji coba tersebut. Mereka ingin menebarkan teror dengan cara membiarkan anak-anak yang berhasil dalam uji coba tersebut dan meledakannya dari jarak jauh. Tapi, masih belum ada yang berhasil dalam uji coba tersebut! " Nathan tiba-tiba menatap serius kedepan. " Atau mungkin itu informasi palsu " Lanjut Nathan.

" Keluarkan pendapatmu, Kapten! " Perintah Tio.

" Baik..." Kata Nathan tegas. " Kemungkinan beberapa anggota tidak diberitahu kebenaran uji coba tersebut, hanya orang-orang terpercayalah yang mengetahui seluruh uji coba tersebut. Jika tebakkan ku benar, maka kemungkinan ada beberapa anak yang berhasil dalam uji coba tersebut dan berkeliaran disekitar masyarakat, atau mungkin disekitar kita ".

" Untuk membuktikannya, kita harus menangkap pemimpin perusahaan Moon. Ardiaz Saputra sekaligus ketua organisasi teroris ".

" Sebentar lagi kita akan meadakan rapat! Kapten, kau bisa istirahat bersama anggota mu. Kami akan memberitahu hasil rapat nya "

" Baik " Kata Nathan, sebelum pergi dia memberi hormat kepada Letnan Kolonel Tito.

...

Intan membantu Herman duduk di atas kasur, Menyelimuti Herman agar tidak merasa kedinginan. Pintu kamar terbuka, Memperlihatkan Nathan dan yang lainnya yang baru saja berganti pakaian.

" Bagaimana keadaan mu, Herman? " Tanya Nathan yang duduk di kursi kayu dekat meja.

Herman tersenyum, " Hanya luka goresan

saja " Jawab Herman.

Satria menaruh handuk di punggungnya,

" Bagaimana dengan rencana selanjutnya, Kapten? " Tanyanya.

" Kita serahkan kepada atasan "

...

Abbiyya tengah merapikan cangkir yang baru saja ia bersihkan, menaruhnya di rak piring yang tersedia di dapur. Abbiyya tersenyum saat melihat pajangan foto kebersamaannya dengan Kirana, walau kini ia di pisahkan dengan Kirana setidaknya ia dapat melihat anaknya tersebut melalui foto.

" Aku ingin kopi " Kata Ardiaz.

Abbiyya menganggukan kepalanya, tak dapat membantah perintah Ardiaz. Nyawanya saat ini dalam bahaya, jika ia membantah mungkin saja Ardiaz akan membunuhnya dengan berbagai metode yang ada.

Abbiyya menaruh cangkir berisikan kopi hitam dihadapan Ardiaz. Mempersilahkan Ardiaz untuk menikmati kopi buatannya. Ardiaz meraih cangkir, menghirup aroma kopi yang begitu kuat, meminumnya secara perlahan.

" Kau memiliki bakat dalam membuat kopi " Kata Ardiaz memuji kemampuan Abbiyya.

Abbiyya tersenyum ramah, " Ibuku dulunya selalu membuatkan kopi tersebut untuk ayahku " Kata Abbiyya.

Ardiaz menaruh cangkir kopi diatas piring kecil, " Istri yang baik " Puji Ardiaz." Dulu aku bersahabat dengan ayahmu... ".

Ardiaz mulai menceritakan masa lalunya kepada Abbiyya. Abbiyya duduk dihadapan Ardiaz mendengarkan setiap cerita yang dikeluarkan oleh Ardiaz. " Ayahmu sosok yang ku kagumi, dia selalu mendapat nilai sempurna. Kami seperti adik-kakak yang tak dapat dipisahkan... "

" Saat itu, ayahmu mengetahui rahasia ku yang merupakan anak ketua teroris. Ayahmu berusaha menutupi rahasiaku, tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin ayahmu terlibat... "

"... Aku akhirnya mendapatkan tugas untuk menjadi penerus organisasi teroris. Aku harus membunuh orang-orang terdekatku sebagai bentuk upacara " Ardiaz menghembuskan napasnya. Tangannya mengelus cangkir kopi dihadapannya, " Aku membunuh ayahmu dan juga rekan-rekan ku... "

Ardiaz menatap Abbiyya yang menangis tanpa suara. Abbiyya berusaha menghapus airmata nya walau itu terasa sia-sia karena airmata kembali mengalir keluar.

" Maafkan aku " Kata Ardiaz.

Abbiyya menyembunyikan wajahnya, menangis dengan keras diruangan tersebut. Membiarkan Ardiaz mendengar tangisan pilu yang ia keluarkan. Bahkan beberapa anak buah Ardiaz merasa kasihan mendengar suara tangisan Abbiyya. Walaupun mereka seorang teroris, mereka juga lah manusia biasa yang memiliki perasaan.

Ardiaz bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju Abbiyya yang masih menangis disana. Mengelus punggung Abbiyya seperti anaknya sendiri. " dan terima kasih sudah merawat anakku dengan baik " lanjutnya.

Abbiyya tertidur setelah menangis selama tiga jam, Ardiaz membawanya kekasur dan menyelimutinya. Tak lupa ia juga mematikan lampu kamar agar Abbiyya tidur dengan nyenyak.

" Boss, sudah saatnya anda melakukan misi dari tetua " Kata kepala pelayan mansionnya.

Ardiaz menganggukan kepalanya pelan,

" Tolong jaga Abbiyya, jangan biarkan dia membuka TV, Radio, maupun ponsel! jangan alihkan pandanganmu " Perintah Ardiaz.

" Baik, boss! " Jawabnya dengan nada tegasnya.

" Aku akan pergi, beritahu dia jika sudah bangun dari tidurnya jika aku keluar karena urusan bisnis "

" Baik! "

...

Suara bel kafe berbunyi saat pintu dibuka, Dewa dan Hafi yang baru saja membereskan Kafe menyambut kedatangan orang tersebut. tapi, mereka berdua langsung terdiam saat mengetahui orang yang masuk kedalam kafe.

" Ka Satria " Teriak Hafi dan Dewa, mereka berdua berlari lalu memeluk tubuh Satria. Satria membalas pelukkan dari kedua adik kesayangan nya, Mereka menangis karena kerinduan.

Satria mengecup kening Dewa dan Hafi secara bergantian, menghapus airmata yang mengalir dari manik cantik mereka. " Jangan menangis, kakak sudah pulang " Kata Satria berusaha menenangkan kedua adiknya itu.

Hafi memukul bahu Satria dengan kuat,

" Betapa khawatir kami dengan keadaan kakak. " Kata Hafi.

Satria tersenyum ramah, ia menepuk-nepuk bahu Hafi. Manik hitam nya tak sengaja melihat perban ditangan Hafi, dengan cepat ia menahan tangan Hafi. " Kamu terluka? ".

Dewa menatap Hafi, " Oh, dia terkena tembakkan " Kata Dewa, "... Untung saja dia berhasil selamat " kata Dewa lagi.

" Siapa yang melakukannya? " Tanyanya.

Dewa kembali menatap Hafi, menyuruh Hafi menjelaskan kejadian yang menimpanya.

" Aku terkena tembakkan dari anggota teroris bernama—"

"—King Cobra? " Tebak Satria tepat.

" Kenapa kakak tahu?" Tanya Dewa penasaran, lalu seketika ia ingat perkerjaan kakaknya.

" Tentu saja kakak tahu mengenai organisasi kejahatan yang berkeliaran dikota ini " Kata Dewa.

Satria mengajak Dewa dan juga Hafi untuk duduk di kursi, menyuruh mereka untuk tidak keluar rumah saat malam hari, serta menyuruh mereka berdua untuk tidak berada ditempat sepi. kalau bisa, hindari tempat sepi.

Hafi dan Dewa ingin bertanya alasan Satria tidak memperbolehkan mereka. Namun, mengingat Satria yang nampaknya melalui masa-masa sulit membuat mereka mematuhi perkataan Satria. Lagi pula mereka tidak ingin membuat kakak mereka merasa khawatir.

Dewa menyerahkan secangkir kopi kepada Satria, mempersilahkan Satria untuk meminumnya. " Apa kakak memiliki misi lagi? " Tanya Dewa. sekilas matanya melirik kearah Hafi yang tengah melayani pelanggan mereka. " Apa kakak mau kue? ".

Satria menaruh cangkir kopi diatas meja, menggelengkan kepalanya sebagai jawabannya. " Lalu, di kakimu itu... Apa perbuatan King Cobra? ".

Dewa tersentak kaget, ia memarahi kecerobohan nya. seharusnya ia menggunakan celana panjang, bukan celana pendek yang selalu ia kenakan di rumah.

" Iya, aku dan Maulidin diserang oleh mereka diperusahaan " Jawab Dewa pada akhirnya, " Rahasia kan ini dari Hafi, Hafi belum mengetahui luka di kaki ku " Kata Dewa.

" Sepertinya mereka juga mulai menyerang orang-orang kesayangan kami " Gumam Satria lirih, merasa bersalah.

Hafi menaruh sepotong kue dihadapan Satria,

" Tenang saja... " Hafi duduk disamping Satria,

" Ka Dewa mantan preman sekolah pasti bisa melindungi ku... " Kata Hafi.

" Astaga, kau ini... " Kesal Dewa lalu mencubit kedua pipi Hafi.

Satria tertawa senang melihat intraksi kedua adiknya. Hari ini ia akan memanfaatkan waktu yang sedikit ini dengan kedua adiknya.

Nächstes Kapitel