Suara ribut mulai terdengar dari arah luar, angin malam menerpa dedaunan dan bunga-bunga di taman dengan kencang. Ventilasi jendelaku bersiul karena di terobos oleh angin yang mulai tak terkendali.
Suara gemuruh serta kilatan di langit menjadikan suasana semakin mencekam. Rintik air mulai berjatuhan dan membasahi alam. Air itu hitam, baunya sangat tidak nyaman seperti hujan pada umumnya.
Duaarrr !!
Petir menyambar sangat nyaring setelah kilatan dahsyatnya. Ku rasakan jantungku berdetak sangat cepat, napasku tersengal di tengah kegelapan.
Lampu kamarku kembali redup dan berkedip tak keruan, semakin membuatku cemas dan was was.
Samar, ku dapat mendengar suara pasukan berkuda tengah berlari menuju ke arahku. Aku ingin berdiri, tubuhku terhalang sesuatu yang membuatnya kaku dan tetap berada di tempat dudukku.
Apa ini? Kedua tanganku semakin erat mencengkeram lukisan. Hanya berharap benda besar ini mampu ku jadikan senjata jika terjadi hal yang tidak ku inginkan.
Duarrr!!!
Petir kembali menyambar dengan sangat kencang membuat jantungku nyeri karena terkejut.
"Ami … Ami … !" aku dapat mendengar suara Sing yang meneriaki ku dari luar.
Tetapi suara pasukan berkuda terdengar semakin dekat dan semakin jelas terdengar ke arahku.
Ku pejamkan mata, mencoba untuk fokus dan mengendalikan tubuhku. Ku tarik napas panjang dan ku helakan beberapa kali, menghilangkan kekacauan dalam pikiranku.
Perlahan tapi pasti, aku tidak lagi mendengar suara gemuruh hujan juga pasukan berkuda. Ku buka mata dan ku pandangi sekitar.
Kamarku masih sama, tidak ada apapun yang terjadi. Ventilasiku tidak lagi bersiul, lampuku tidak lagi berkedip.
Ku tajamkan pendengaran, tidak ada lagi suara angin kencang. Hanya terdengar suara Sing yang masih memanggil dari luar.
Segera saja ku letakkan lukisan itu dan menghampiri temanku. Sing menanyakan keadaanku karena dia bilang tadi dia mendengar ada keributan dari dalam.
"Semuanya baik-baik saja?"
"Iya. Kamu bisa lihat semuanya aman." Ku buka lebar pintu kamarku membiarkan pria itu menatap sekeliling dan memastikan keadaanya.
Sing menatapku beberapa saat, dia lega hanya merasa aneh dengan pendengarannya barusan. Dia bilang kalau dia tadi mendengar seperti ada banyak orang yang sedang mnyerbuku, tetapi dia pun tidak mendengar dengan jelas apakah itu benar-benar penyerbuan atau hanya aku yang bertingkah aneh sehingga menimbulkan suara ribut.
Aku tertawa kecil mendengar penjelasannya, sangat konyol jika aku melakukan keributan di kamarku sendiri.
Bukan hal itu yang membuatku bingung sebenarnya. Tetapi suasana hati dan pikiranku yang sama persis saat aku bermimpi di gudang Lewine. Petir dan angin kencang yang membuat jantungku nyeri. Apa mungkin aku baru saja bermimpi dalam keadaan sadar.
Ku rasa semenjak aku berada di tempat ini aku telah memiliki kebiasaan yang aneh.
Ku bubuhkan ramuan di sekitaran mata kananku untuk mengurangi memar yang masih tersisa. Walau masih tidak begitu jelas, aku sudah mampu mengenali semua objek di depanku.
Malam ini Koki Lentik memberi kami buah apel dan anggur untuk pencuci mulutnya. Aku sangat menunggu momen ini, karena kedua buah itu cukup cocok di lidahku.
Aku menghampiri Sam dan Ge yang kebetulan malam ini kami bertemu. Aku selalu ingin mendengar cerita baru dari mereka yang informasinya merupakan pengetahuan baru tentang tempat ini.
"Mereka sangat canggih, ku rasa." Sam mulai mengisahkan beberapa hal yang ia tau selama menjadi Anak Anggota di tempat ini.
"Mereka memiliki ruangan berlapis baja yang hanya dapat di buka oleh para elit dengan retinanya." Sam melanjutkan makan.
"Kamu pernah melihatnya?" tanyaku sangat penasaran.
Sepupu Ge itu menggeleng, "Aku menghayalkannya. Tapi ku rasa itu sangat mungkin, mengingat mereka memiliki segalanya disini dan sangat wajar jika mereka memiliki ruang rahasia."
Ge mengangguk menyetujui pernyataan sepupunya itu. Dia juga mengatakan kalau tempat ini masih sangat luas dan penuh misteri.
"Oh teman-teman, aku memiliki pertanyaan yang ku kira sejak awal kalian belum pernah menjawabnya," ujarku memutus percakapan hayalan mereka.
"Apa alasan kalian ingin bergabung dengan Pasukan Hijau? Lalu kenapa kalian mengajakku?"
Keduanya terdiam dan saling pandang. "Ah itu ide Ge," sahut Sam tidak memperdulikanku.
"Aku ingin menjadi kuat seperti mereka, disiplin, berwibawa, berkarakter dan berjiwa kepemimpinan," jawab Ge sangat diplomatis.
Ku kernyitkan dahi dan ku tatap tajam pria itu, dia tahu aku tidak menyukai kalimat yang bertele-tele.
"Aku mengajakmu karena aku ingin kamu menjadi perempuan yang kuat."
"Ku harap kalian tidak berbohong." Ku gigit apel merah yang sejak tadi ku pegang.
Rasa manis buah itu mendadak mengingatkanku pada ayah dan ibu. Mereka sering kali memakan buah apel sebagai pengganti makan siang ketika di kebun. Dengan membeli hasil panen milik penduduk lain, kami sering menikmati buah enak itu ditemani semilirnya angina segar perkebunan.
Ah benar, bagaimana keadaan kedua orang tua itu? Ku harap, ketua pasukan hijau menepati janjinya. Hidupku sudah sangat menyedihkan dengan banyak luka dan lebam, aku tidak ingin jika anak buah mereka masih melakukan penyiksaan terhadap penduduk desa.
Brakk!
Suara nyaring dari arah depan menyadarkanku dari lamunan. Semua mata langsung tertuju pada ketua pauskan hijau yang baru saja memotong apel menggunakan pedangnya.
Tuk Tuk Tuk Tuk!
Pria itu kembali memotongnya menjadi beberapa bagian kecil.
Dia benar-benar aneh, pikirku. Dia sengaja mengejutkan kami dan membuat kami memperhatikannya karena keahliannya itu.
"Makanlah yang banyak! Kalian perlu memulihkan tenaga untuk besok!" teriaknya saat hendak keluar dari ruang makan.
Suaranya masih terdengar serak, seperti seseorang yang terlalu banyak bekerja dan kurang tidur.
Aku hanya mehela napas kesal, tidak ada satu pun sikap dari pria itu yang ku suka. Samar ku dengar beberapa Anak Anggota memuji keahliannya menggunakan pedang. Ge dan Sam pun sempat berdecak saat pria berbadan besar itu menunjukkan keahliannya.
"Dia pernah mengajariku teknik berperangnya, tetapi aku malah membahayakan lawan," gumam Ge.
Aku segera menoleh padanya, sangat penasaran karena ternyata dia dan Sam juga dilatih dengan ketua pasukan hijau.
"Dia benar-benar keren," tambah Sam.
"Bagaimana bisa dia mengajar semua tim di hari yang sama dan waktu yang bersamaan?" tanyaku membuat kedua temanku memandangiku heran.
"Saat aku mendapat luka mengerikan ini, apa dia juga sedang bersamamu di arena berkuda? Dan bersama Sam di lapangan dekat danau?"
"Ehh aku tidak yakin, tapi ku rasa itu hari yang sama," jawab Sam sambil mengingat.
"Aku dihajar oleh pria itu hingga seperti ini, apa itu mungkin?"
"Mungkin," jawaban Ge dan sam sangat kompak dengan pertanyaanku.
"Bukan, maksudku apa mungkin pria itu dapat menghajarku dan melatih kalian di saat yang bersamaan?"
***