webnovel

Udayaditya Mahardewa 1

Sebuah kursi goyang bergoyang ke depan dan ke belakang.

Sudah dua hari berlalu sejak Udayaditya dan Balaputradewa menjejakkan kaki di istana Prambanan. Perlakuan orang – orang di istana membuatnya betah. Udayaditya terkesan dengan ajudan yang selalu mengawalnya ketika ia melangkah kemana saja kakinya membawanya. Segala permintaannya terpenuhi. Ia tahu bahwa ia membawa tugas kerajaan dari Palembang, namun tentu saja ia ingin menikmati keramahan yang diberikan oleh kerajaan pamannya itu.

Sang pemuda melihat ke sekelilingnya. Dari atas kursi goyangnya ia dapat melihat halaman istana Kerajaan Medang yang luas. Di belakangnya adalah paviliun kerajaan tempat ia dan pamannya menginap, sedangkan jauh di hadapannya menjulang istana Medang yang megah. Tentu tidak dapat dibandingkan dengan istana Palembang, namun Udayaditya tidak berharap bahwa dirinya akan mendapati pemandangan yang mengagumkan. Halaman istana dikelilingi oleh paviliun – paviliun lain di sisi – sisinya, dan Udayaditya tidak berminat untuk menjelajahi lebih lanjut isi ruangan – ruangan tersebut, setelah langkah pertama ke dalam salah satu ruangan pada hari pertama memperlihatkan rak – rak buku tinggi yang membuatnya pusing. Namun hal itu tidak membuatnya kehilangan antusiasme. Taman Anyelir dan pemandian air panas merupakan salah satu hiburan yang menarik, selain berjudi di Pasar Kliwon. Permainan kertas bergambar sungguh menarik. Kau harus memiliki kemampuan intelektual yang baik, namun pada akhirnya tetap keberuntungan yang menentukan. Lagipula, manakah orang yang disebut Joko Tingkir itu?

Menggoyangkan kursinya ke depan dan belakang, Udayaditya mengingat – ingat kembali ketika ia akan berangkat dari Pelabuhan Musi. Ia hanya berdua dengan pamannya, Balaputradewa, mengemban misi yang memenuhi pemikiran sang raja berbulan – bulan lamanya. Sang raja benar – benar bergumul ketika ia akan memberikan misi ini. Hal itu terlihat dari tindakannya yang mengadakan rapat pejabat dari sebulan sekali menjadi setiap minggu. Ia terlihat gusar dan bimbang ketika akan memberikan misi ini, namun tampaknya hampir seluruh pejabat kerajaan mendesaknya untuk segera melaksanakan misi.

Sebaliknya, Balaputradewa terlihat tenang ketika ia dipercaya untuk menjadi pemimpin untuk melaksanakan misi. Pemimpin apanya, anggotanya hanya aku dan dirinya. Udayaditya terkekeh – kekeh sendiri ketika ia bersantai di atas kursi goyang di depan paviliun tamu istana Prambanan.

Tidak ada yang menyadari diriku ketika kami menambatkan perahu di Pelabuhan Kalingga. Semua perhatian tertuju pada Sang Otak. Semenakutkan itukah pamanku itu? Udayaditya mengingat – ingat kembali ketika ia dan pamannya berada di Pelabuhan Kalingga. Balaputradewa turun terlebih dahulu dan menyapa para pasukan di barisan terdepan.

Tidak ada yang menyadari kehadiranku ketika aku keluar dari kabin. Ketika aku berjalan turun dari dermaga barulah seseorang berseru agar pasukan Medang bersiaga. Namun para prajurit kembali menurunkan senjata setelah melihat bahwa Udayaditya hanya seorang diri. Lebih lanjut Balaputradewa menjelaskan bahwa dirinya adalah keponakannya, dan ia hanya berdua saja dalam perjalananan menuju tanah Jawa. Udayaditya dapat melihat ekspresi kesal para prajurit ketika mereka menuju kereta istana. Nampaknya mereka mengantisipasi sebuah pertarungan besar.

Harus kuakui, aku memang belum menjadi siapa – siapa. Seorang pemuda, di tengah masa puncaknya, Udayaditya lebih tertarik kepada pagelaran seni daripada ilmu beladiri dan taktik perang. Ia hanya sesekali ikut berburu, bahkan Vijayasastra mengeluhkan kebiasaannya absen pada pelajaran memanah. Sebenarnya hal ini dapat dimaklumi, mengingat ia merupakan keturunan dari seorang pelaku peran ternama yang biasa bermain di depan raja terdahulu, Dharanindra. Suatu waktu sebuah pertunjukkan dimainkan dan membuat hati seorang putri raja tertambat kepada sang pelaku utama. Ayahnya yang mengetahui, mengijinkan sang pemuda untuk menikahi putrinya, mengingat bahwa saudari – saudarinya yang lain menikahi raja lain atau bupati kerajaan.

Raja kemudian menyadari bahwa setelah ia hanya memiliki satu anak laki – laki saja, Samagrawira, penerus kerajaan Sriwijaya ada kemungkinan tidak dari garis keturunannya. Tidak ingin mengganggu keturunan yang memegang posisi penting di kerajaan kecil atau kabupaten lain, serta untuk menghindari terjadinya konflik perebutan tahkta, ia melakukan 'percobaan' dengan mencomot Udayaditya kecil yang berasal dari keturunan sang pelaku peran dan dianggap sebagai rakyat biasa namun memiliki darah raja sebagai cadangan penerus Balaputradewa. Hal ini tampaknya akan menjadi kenyataan, mengingat Sang Otak belum memiliki keturunan hingga sekarang. Memegang kerajaan terbesar di nusantara ini, sebuah kehormatan bagiku. Namun aku belum berpikir ke sana. Belum untuk saat ini.

Sebuah sosok dari jauh berjalan ke arahnya. Udayaditya dapat melihatnya sebagai seseorang yang sepantaran, memakai sari cokelat, bermuka bersih dan sopan dengan rambut terikat di belakang kepalanya, dan memakai alas kaki bertali. Rakai Pikatan. Calon penerus kerajaan saling bertemu.

"Salam bagi saudaraku, dewa menyertaimu," Rakai Pikatan menyapa terlebih dahulu.

"Salam, dharma Buddha menyertai saudara juga," Udayaditya membalas.

Sebuah sosok di belakang Rakai Pikatan membungkukkan badannya dan memberikan salam, tanpa suara, dan Udayaditya menyadari bahwa Rakai Pikatan tidaklah sendirian. Rakai Pikatan menyadari dan ia memperkenalkan sosok di belakangnya.

"Ia adalah muridku, Mpu Tantular. Cendekiawan termuda di kerajaan ini, baru berusia enam belas tahun." kata Rakai Pikatan disertai dengan senyuman tipis Mpu Tantular.

Sudah dua hari aku disini dan baru kali ini ia menghampiriku. "Angin apa yang membawa sang penerus kerajaan datang menghampiri tamu dari pulau seberang?" Udayaditya memulai percakapan.

"Aku mencoba menawarkan keramahtamahan yang dimiliki oleh Kerajaan Medang, dan kawan, aku belum benar – benar menjadi penerus kerajaan, aku belum mendapat restu raja," Rakai Pikatan mencoba merendah.

Belum menikahi sang putri raja, jika itu yang kaumaksud. Mengenai keramahan, perutku sudah cukup kenyang dengan segala jenis makanan yang ditawarkan dapur istana Medang ketika kami sampai di kotaraja.

"Sungguh membosankan pemandangan ini kawan, mari kita melangkah menuju Taman Anyelir, aku yakin kau pasti punya banyak pertanyaan mengenai Kerajaan Medang. Begitu pula dengan diriku, aku ingin mengetahui lebih lanjut mengenai Kerajaan Sriwijaya." ajak Rakai Pikatan.

"Atau mungkin kau ingin mengetahui apa yang dibicarakan oleh pamanku dan raja di ruang pertemuan? Sungguh egois, ruangan sebesar itu hanya diisi oleh dua insan saja." Udayaditya tersenyum, mencoba menggoda Rakai Pikatan sambil beranjak dari kursinya.

Godaan Udayaditya tampaknya terbukti benar, karena sesaat kemudian Rakai Pikatan mengirimkan muridnya kembali ke ruang pustaka. Mpu Tantular mengerti bahwa kedua calon pewaris takhta ini akan memperbincangkan sesuatu yang penting, memohon diri tanpa banyak kata. Hanya tinggal berdua, Rakai Pikatan dan Udayaditya melanjutkan langkah menuju Taman Anyelir.

"Kau tahu, pamanmu itu benar – benar memiliki kharisma yang kuat. Hanya membungkuk saja dan seluruh pasukan Medang membungkuk memberi salam tanpa harus dikomando oleh panglima." Rakai Pikatan kembali memulai percakapan.

"Ya, hari – hari kami di Palembang diisi dengan latihan memberi salam pada masing – masing orang. Pada pengemis pun kami membungkuk," Udayaditya menjawab setengah bercanda, diikuti dengan tatapan sebal dari Rakai Pikatan.

"Kerajaan Sriwijaya adalah panutan dari seluruh kerajaan yang berada di nusantara ini. Perdangangan kalian berjalan lancar. Aku sering mendengar berita – berita pedagang – pedagang yang berasal dari India berlabuh di Palembang. Mereka memuji hasil alam dan pembuatan kain yang rakyat lakukan."

"Satu hal yang pasti, rakyat kami adalah pekerja keras. Segala kemakmuran di Kerajaan Sriwijaya adalah hasil rakyat yang bekerja bersatu padu."

"Tidak adakah keluhan yang berasal dari rakyat, yang ditujukan kepada para tetinggi?"

"Tentu saja, kawan, tentu ada yang tidak puas dengan keputusan para tetinggi. Dalam sebulan anjungan istana bisa kedatangan hingga lima orang paling banyak."

"Sungguh hebat, kerajaan kami bisa kedatangan rakyat hingga puluhan orang. Hal itu bahkan membuat mahapatih melimpahkan tugasnya pada bawahannya, dan hanya menerima permintaan – permintaan penting saja."

"Tentu saja, kerajaan Medang baru saja berdiri. Apa yang dapat diharapkan dari sebuah kerajaan kecil di tengah Pulau Jawa ini?" sebuah balasan menyebalkan mengalir dari Udayaditya namun Rakai Pikatan memilih untuk mengabaikannya.

"Dalam perjalanan menuju Prambanan, kau tentu melihat rakyat Medang bukan?" tanya Rakai Pikatan.

"Ya aku melihat mereka. Nampaknya mereka orang baik – baik."

"Betul, walaupun baru saja berdiri, kami membanggakan rakyat kami yang ramah dan patuh terhadap negara. Berbeda dengan kelompok barbar yang selalu mengganggu kalian di utara itu." Kali ini Rakai Pikatan yang menyindir Udayaditya.

"Ah, si kelompok barbar. Aku baru sekali bertemu dengan mereka dari samping daratan. Untung saja kapal laut Sriwijaya amat cepat. Kalau tidak tombak mereka sudah menemui leherku!" Udayaditya membanggakan kehebatan Sriwijaya yang lainnya.

Udayaditya mulai merasa akrab dengan Rakai Pikatan. Ia merasa Rakai Pikatan dapat mengimbangi ucapan – ucapan sindiran dari dirinya. Selain itu mereka berdua adalah calon pewaris putra mahkota. Sama nasib, pikirnya.

Rakai Pikatan mengalihkan ke pokok pembicaraan lain, "Aku dengar kau tertarik dengan peran lakon. Peran lakon apa yang biasa engkau tampilkan?"

Kali ini Udayaditya bersemangat, "Tentu saja, kawan. Ramasinta dan Mahabharata adalah permainan populer di tanah Palembang, walaupun mayoritas penduduk beragama Buddha. Aku terbiasa berlatih dengan kelompokku. Tiga bulan sekali kami tampil di atas panggung, di depan khalayak umum."

Rakai Pikatan tersenyum, "Tidak ada seorang pun yang tidak mengetahui kisah Mahabharata di tanah Medang ini. Akupun menyukainya. Katakanlah, siapa tokoh yang menjadi panutanmu?"

Lagi – lagi ini. Pertanyaan ini berulang kali ditanyakan jika Mahabharata dibahas. Tidak adakah pertanyaan lain?

"Tentu saja Yudhistira, kawan. Putra sulung Pandawa yang mengajarkan kebajikan dan jalan kebenaran. Bagaimana denganmu?"

Rakai Pikatan menjawab seolah sudah menantikan pertanyaan ini, "Aku menyukai Destarata, teman."

Si Raja Buta. Nampaknya kawan baruku ini senang berfilosofi. Jawabannya diluar kebiasaan umum.

"Mengapa kau menyukainya? Mungkin dari semua orang yang kutanya hanya kau yang memberikan jawaban berbeda."

"Ia adalah tokoh kunci dalam Mahabharata. Seandainya ia bisa menahan kasih sayang yang berlebihan kepada anaknya, perang dapat dicegah. Keteguhan hati seorang ayah diuji dengan sangat benar dalam kisah ini."

Udayaditya manggut – manggut. Ia mulai membosankan.

"Sebenarnya kisah Mahabharata dan Ramasinta sudah terlalu sering dibicarakan, kawan. Aku lebih menyukai kisah singa terbang dari dataran Tumasik. Atau cerita dewa kematian dari tanah Tiongkok yang mampu menghabisi sepuluh ribu prajurit seorang diri."

Rakai Pikatan mengernyit, "Singa terbang?"

"Kau belum pernah mendengarnya? Tampaknya engkau belum layak menjadi pustakawan sejati."

Tentu saja. Semua itu hanya karanganku belaka. Rakai Pikatan menggeleng. Ia mencoba mengalihkan percakapan kepada tujuan awalnya.

"Lebih dari pada itu, aku ingin mengetahui apa yang dibicarakan oleh kedua kakak beradik yang semenjak dua hari yang lalu mengunci diri di ruang pertemuan. Jujurlah, bohong pun tidak ada gunanya. Lihat, kita pun sudah berteman, bukan? Atau jangan – jangan, Balaputradewa sendiri merahasiakan apa yang akan ia bicarakan daripadamu?"

"Tidak, tuanku," ujar Udayaditya sedikit menyindir, "aku mengetahui dengan persis apa maksud kedatangan kami. Aku juga dapat menerka – nerka apa yang sekarang sedang dibicarakan oleh Balaputradewa dan Samaratungga."

Udayaditya menghentikan perkataannya dan menatap Rakai Pikatan. Pandangan ingin tahu sang calon pewaris takhta membuatnya bertanya sekali lagi.

"Apakah kau benar – benar ingin mengetahui apa yang dibicarakan oleh Balaputradewa dan Samaratungga di ruang pertemuan?"

Rakai Pikatan mengangguk. Udayaditya melenguh.

"Baik, karena kau sangat ingin tahu apa yang mereka bicarakan, baiklah aku menyusunnya dalam sebuah sajak:

Seseorang dengan kuasa amat tinggi bersabda

'Buah delima itu terlalu lezat, habiskan selagi ia ranum'

Para dewa dibawah mengadakan pertemuan

Berusaha meneruskan keturunan

Lautan luas membentang

Sang Otak dan Sang Panah saling beradu

Apakah yang kau harapkan

Perjamuan teh?

Rakai Pikatan tidak bereaksi. Ia tidak bersuara, tidak menampilkan emosinya, ia hanya menatap Udayaditya tanpa ekspresi. Ia mengerti maksud sajakku. Hanya dua patah katah yang keluar dari mulutnya, "Dewa memberkatimu" sebelum Rakai Pikatan melangkah meninggalkan Udayaditya. Sayang sekali, padahal kita dapat menjadi teman baik.

Tidak ingin aura buruk menghampirinya, Udayaditya melangkah menuju Taman Anyelir. Di depan pintu gerbang Taman Anyelir ia membalikkan badan dan melihat kemegahan istana Medang di hadapannya. Sebuah wajra terletak di puncak istana yang berbentuk kubah, melambangkan perpaduan budaya Hindu dan Buddha. Dua patung Buddha menjaga pintu masuk istana, diikuti oleh anak tangga dari batu andesit yang dipoles sedemikian rupa. Sungguh indah, sayang sekali ini adalah tanah Jawa. Sebuah tulisan di atas kain sutra dalam bahasa Sansekerta terbentang di atas pintu masuk istana. Kerajaan Medang. Untuk semua kebaikan.

Udayaditya terkekeh kecil.

Nächstes Kapitel