webnovel

Istana Kakek

Aku mengedip sekali. MasyaAllah, demi penguasa langit dan bumi. Apa seperti ini wajah dewa itu? Dengan wajah serupa Antares, aku yakin dia nggak sulit untuk memiliki wanita mana pun. Tapi, kenapa dia mau saja dipaksa menikah denganku?

Tatapan kami beradu. Untuk beberapa saat kami hanya bisa saling diam.

"Singkirkan badanmu, Rea," ucapnya memecahkan lamunanku. Aku mengerjap-ngerjap dan buru-buru menyingkir dari tubuh Satria. Astaga! Malu banget.

Aku segera berbalik dan memunggunginya. Menarik napas panjang dan menghembuskannya. Sial, bagaimana caranya aku bisa tertidur pulas?

Aku sangat lelah dan capek, tapi mataku enggan tertutup. Sedang Satria, sudah berkelana di mimpinya. Aku baru benar-benar tertidur jam empat pagi.

***

"Mau sampai kapan kamu tidur, Rea? Kakek sudah menunggu kita di rumah. Kita akan pulang hari ini."

Samar-samar aku mendengar suara Satria berdengung. Seperti suara tawon, nggak jelas. Yang telingaku tangkap hanya pulang, kakek, dan rumah. Mataku masih sangat berat.

"Rea, bangun!"

Aku hanya melenguh dan menarik selimut menutupi seluruh badan. Rasanya nyaman sekali tidur seperti ini. Aku akan tidur sepuasnya, balas dendam karena kemarin sama sekali nggak bisa tidur.

"Rea! Cepat bangun!" Selimutku ditariknya. Ini orang ternyata lebih bawel dari mamaku. Ya Tuhan. Aku menarik kembali selimutku.

"Kalau nggak mau bangun, kamu aku tinggal."

"Lima menit lagi," pintaku masih dengan mata tertutup.

"Nggak ada! Bangun cepat!" Kali ini tanganku ditarik.

"Biarkan aku tidur sebentar lagi." Aku mulai merengek.

"Nggak Rea, kamu harus membiasakan bangun cepat di rumah Kakek nanti."

"Lima menit, lima menit."

Aku baru hendak menjatuhkan diri ke kasur saat tangan besar Satria sudah lebih dulu menarik pinggangku. Dia memanggulku seperti karung beras menuju kamar mandi. Aku meronta dan berteriak.

"Turunkan aku, Bang Sat."

Aku diabaikan dia masuk ke kamar mandi dan menjeburkanku ke dalam bath up yang sudah penuh dengan air.

"Aaaaakh!" Aku memukul kesal air yang kini menenggelamkan badanku.

Satria tersenyum menang melihatku sukses basah. Menyebalkan.

"Mandi dengan cepat," katanya sebelum beranjak keluar.

***

Di mobil, aku tidur. Mataku benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Hanya perlu terlelap sebentar tanpa gangguan, maka kantuk itu akan hilang. Tapi sepertinya Satria nggak membiarkanku tenang. Di dalam mobil, dia menyalakan audio keras-keras. Bolak-balik aku mengecilkan volume, tapi ujungnya dia naikkan lagi.

"Bang, aku ngantuk. Semalam aku baru bisa tidur jam empat pagi," keluhku akhirnya. "Kalau nggak karena kurang tidur, aku nggak akan kayak gini."

Bohong sedikit. Aku biasa bangun jam sepuluh pagi saat kuliah libur. Di balik kacamata hitamnya, Satria mengabaikanku. Menyebalkan sekali.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, mobil Satria memasuki sebuah gerbang tinggi yang temboknya di penuhi tanaman rambat. Pagar tinggi itu otomatis terbuka saat Satria membunyikan klakson mobil.

Ini apa? Tempat ini seperti lapangan golf. Sebuah bangunan putih tampak megah terlihat dari sini. Dari jauh aku bisa melihat sebuah taman air mancur yang di kelilingi bunga - bunga cantik. Serius ini yang Satria katakan rumah. Dibandingkan rumah ini lebih mirip sebuah istana. Megahnya ngalahin istana negara.

Untuk sampai ke depan halamannya saja sepertinya akan sangat melelahkan jika ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Mataku berkedip beberapa kali, ada sekitar dua puluh orang berseragam menyambut kedatangan kami. Sisi kanan para wanita dan sisi kiri para lelaki. Ada sebanyak ini kah pelayan di rumah ini?

Ketika kami turun dari mobil, mereka kompak mengucapkan selamat datang. Seorang wanita cantik dengan pakaian yang berbeda sendiri dari yang lain menghampiri kami dan memberi hormat.

"Selamat datang Tuan muda dan Nyonya muda."

Sumpah aku ingin tertawa. Aku seperti terlempar ke dunia dongeng, di mana aku berperan sebagai putri dan Satria sebagai pangerannya. Ini bukan hanya mimpi konyolkan?

"Terima kasih, Melli."

"Tuan dan Nyonya muda sudah ditunggu di ruang makan oleh Tuan besar."

Tuan besar. Dia adalah rajanya. Sempurna sekali. Satria hanya mengangguk dan mulai menghela langkah diikuti aku di sebelahnya. Satu per satu pelayan rumah ini, salah, maksudku istana ini memberi hormat kepada kami. Aku hanya meringis, seumur-umur aku tidak pernah diperlakukan seperti ini.

"Bang, serius ini rumah? Bukannya istana?" Aku berbisik pada Satria.

"Sesukamu saja menyebutnya."

Jawabannya menyebalkan. Pintu besar dan tinggi itu terbuka memperlihatkan kemegahan di dalamnya. Whoaaa! Fix, ini istana. Ini ruang tamu atau ballroom? Terdapat beberapa pilar hanya untuk menyangga ruangan ini. Langit-langitnya sangat menawan penuh ukiran dan ornamen-ornamen yang indah. Belum lagi lampu kristal yang bergelantungan. Tangga untuk menuju lantai atas juga nampak kokoh dan mewah. Belum lagi dinding-dindingnya, entah terbuat dari apa sehingga bisa bening seperti itu.

Satria membawaku lebih masuk ke dalamnya. Ternyata ada sebuah taman luas di dalam sini. Melewati taman itu, aku melihat ruangan berdinding kaca yang terdapat meja makan panjang di tengahnya. Ini bahkan terlalu panjang jika disebut meja makan. Bahkan di rumahku, meja makan kami hanya bisa menampung enam orang. Ini berapa? Dua puluh atau tiga puluh?

Aku melihat Kakek Wijaya duduk di kursi paling ujung meja ini. Beliau pemimpin di sini. Di sisi sebelah kiri ada seorang lelaki seusia Papa dan dua wanita cantik, satu berusia sekitar tiga puluhan dan satunya lagi sepertinya masih belasan tahun. Di sisi sebelah kanan dua kursi kosong. Namun di kursi nomor tiga ada Andra yang menempati.

"Selamat datang menantuku!" Kakek Wijaya bersuara. Aku dan Satria mendekat.

"Maaf, kami terlambat, Kek. Rea susah sekali dibangunin."

Harus banget ya kasih alasan seperti itu. Tapi itu justru membuat Kakek Wijaya tertawa.

"Kakek maklum, kalian pengantin baru."

"Selamat Pagi, Kek," sapaku.

"Selamat pagi, Nak."

"Selamat pagi semuanya," sapaku kepada semua yang ada di meja makan ini.

Satria menarik kursi nomor dua dan memintaku untuk duduk di sana. Hal remeh, tapi anehnya hatiku senang. Kemudian, dia sendiri duduk di kursi nomor satu di sebelah kananku.

"Nak Rea, selamat datang di keluarga Wijaya. Kamu jangan sungkan di sini. Sekarang rumah ini milikmu juga," ujar Kakek ramah.

Ini lebih cocok disebut kerajaan daripada keluarga kurasa.

"Terima kasih, Kek."

Kakek berdeham sejenak. Aku tidak tahu maksudnya apa. Tapi kemudian orang-orang di meja makan itu kompak menatapku. Lelaki di sebelah kiri Kakek nampak hendak mengatakan sesuatu.

"Perkenalkan saya Fredrik, paman Satria. Dan di sebelah saya istri dan anak saya Martha dan Dea."

Mereka mengangguk dan tersenyum padaku. Apa hanya perasaanku, aku merasa senyum yang mereka tampilkan terlalu dipaksakan.

"Dan di sebelah kamu, anak pertama saya, Andra."

Aku menoleh pada Andra di kursi sebelah kiriku. Hanya dia yang kulihat paling tulus senyumnya. Aku membalas senyum manisnya itu.

"Baiklah, sekarang kita mulai sarapannya."

Selama menikmati sarapan, tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Ini makan pagi model apa? Hanya ada dentingan piring dan sendok yang beradu. Sepertinya kerajaan ini tidak menganut paham makan sambil bicara. Semua mulut hanya difungsikan untuk makan saja.

Nächstes Kapitel