webnovel

Chapter 16 - penyesalan

Begitu gelap, ia tanpa alasan yang jelas, ia terus berjalan. Tanpa tahu tujuannya, kakinya terus berjalan. Tempat yang sangat gelap, tidak ada bedanya dengan berjalan sambil menutup mata.

Sejauh ia berjalan, akhirnya ia melihat cahaya. Matahari? Bukan, Cahaya itu tidak se-terang sinar matahari. Semakin ia mendekat, ia bisa melihat dengan jelas apa sumber cahaya itu dan juga, ia bisa melihat seseorang yang sedang duduk di atas batang kayu dekat dengan perapian yang menjadi sumber dari cahaya itu.

Ketika ia mendekati orang itu, dia berdiri lalu berjalan menjauh. Teo berlari mengejarnya dan memintanya untuk berhenti, namun orang itu juga ikut berlari menjauh darinya. Semakin cepat ia mengejarnya, semakin cepat juga orang itu menjauh darinya. Namun itu tidak membuatnya menyerah begitu saja, ia terus mengejarnya sejauh apapun ia berlari.

Tiba-tiba orang itu berhenti, terlalu cepat Teo berlari membuatnya tidak bisa berhenti, ia pun melewati orang itu. Tidak, ia seharusnya menabrak orang itu, namun ia melewatinya, ia menembus tubuh orang itu.

Teo kehilangan keseimbangannya karena berhenti mendadak. Sesaat sebelum terjatuh, Teo sempat menoleh kebelakang dan melihat orang itu tersenyum kepadanya. Meskipun hanya sekilas, ia merasa tidak asing dengan senyum itu, tidak, ia sangat mengenali senyum itu. Senyuman itu milik-.

"Teo? Ada apa?"

Suara yang lembut menyadarkannya, ia mendapati dirinya sedang duduk di meja makan, bersama dengan seorang wanita dan juga lelaki yang terlihat lebih tua darinya "Teo? Ada apa?" tanya wanita itu.

Teo hanya menggeleng dan memakan makanan yang ada di meja makan itu. Suasana yang tenang dan begitu nyaman, ia merasa sudah lama sekali ia merindukan suasana ini "Ayah, apa Ayah tau? Teo bilang, Teo ingin masuk sekolah militer."

"Eh sungguh? Apa itu benar, Teo?" sosok lelaki yang di panggil Ayah itu kelihatan begitu terkejut ketika tau Teo ingin masuk ke sekolah militer.

Teo yang juga terkejut dengan pertanyaanya hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya "Begitu ya, jadi kamu mengikuti jejak pamanmu. Yah papa tidak melarang selama kamu benar-benar serius dengan apa yang kamu pilih." Jawabannya itu membuat Teo sedikit senang, wanita yang sepertinya itu Ibunya juga tertawa kecil mendengar jawaban dari Ayahnya.

Di tengah kehangatan itu, terdengar suara berita dari televisi menyiarkan berita terkini, ia pun menoleh ke arah televisi 'Berita terkini, Telah terjadi penembakan di Bandara Soekarno-Hatta. Saat ini, kepolisan dan pasukan anti-teror mencoba untuk memasuki bandara. Diduga, penyerangan ini dilakukan oleh sejumlah Terroris internasional.…'

Berita itu membuatnya merinding ketakutan, ketika melihat kembali kepada Ayah dan Ibunya, mereka sudah tidak ada. Hanya ada banyak orang yang duduk mengelilingi dua jasad yang di bungkus dengan kain putih.

Tubuhnya lemas sampai tidak sanggup berdiri, namun ia memaksakan untuk terus berdiri, sampai seseorang memeluknya dari belakang "Teo…." seorang wanita yang memeluknya dari belakang menyebut namanya dan terdengar suara isak tangis saat menyebut namanya.

Teo terus menatap dua sosok itu, ia mengeratkan giginya dan mengepalkan kedua tangannya "Ayah… Ibu…." tanpa sadar ia bersumpah di depan jasad kedua orang tuanya. Ia bersumpah–.

"Teo… Sersan Teo!" suara yang cukup keras di telinganya itu membuatnya terkejut luar biasa sampai membuatnya sedikit bergetar "Jangan melam–. Eh? Sersan? Kau menangis? Kapten, Sersan Teo menang–. Aw, sakit!" Teo langsung memukul kepala prajurit yang ada di sebelahnya dan membuatnya berhenti berbicara.

"Mataku kemasukan serangga, berhenti menyebarkan berita bohong."

"Aku tidak menyebarkan berita bohong, itu adalah fakta."

Teo langsung mengeluarkan pistolnya dan mengarahkanya ke kepala prajurit itu "Sekali lagi bicara…"

"Hei! Maafkan aku! Itu berbahaya, jadi hentikan!" Teo langsung menyimpan pistolnya kembali setelahnya "Bercanda mu buruk sekali!"

"Berisik."

"Kalian berdua, hentikan. Sebentar lagi kami sampai di titik pertama, kalian adalah mata kami, jadi fokus!" suara orang lain terdengar melalui transponder yang terpasang di telinga mereka.

Ketika mendengar suaea itu, Teo melihat ke sekelilingnya. Ia dan rekannya berada di atas sebuah pohon yang cukup tinggi dengan senapan runduk di tangan Teo "Dimenger–. Huh?!." ketika Teo menggunakan teropong pada senapan runduknya dan menjawab perkataan orang itu. Ia melihat dengan teropong, seluruh regunya-.

"Teo! Pergi dari sini!" Setelah teriakan itu, Teo tidak bisa melihat apa-apa. Hanya kegelapan saja, kegelapan itu bahkan tidak ada bedanya dengan memejamkan mata.

"(Aku… Selalu gagal. Gagal melindungi semuanya, aku adalah… kegagalan.)"

"Tidak. Kau bukanlah kegagalan, Teo."

"(Suara ini… Kapten?)"

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri."

"(Tidak, mungkin hanya halusinasi… Kapten sudah–.)"

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, ada banyak yang harus kau lakukan, Teo. Ini bukan saatnya untuk tertidur." suara itu semakin jelas di telinganya, ia melihat seseorang dihadapannya, meskipun ia tidak dapat melihat wajahnya. Namun, ia dapar mengenali sosok itu.

"Kap–. Eh?" Ia tiba-tiba di dorong sampai terjatuh. Namun, ia tidak dapat merasakan dasar tempat itu, seolah ia terjatuh ke sebuah lubang tanpa dasar.

"Belum saatnya, Teo. Belum saatnya untukmu bertemu dengan mereka lagi, Kembalilah ke tempatmu, Teo. Lalu, kemarilah tanpa penyesalan."

Semakin jauh tenggelam, sosok itu sudah tidak bisa ia lihat. Hanya perkataanya yang masih bisa ia dengar, ia memejamkan matanya kembali dan membiarkan dirinya tenggelam "(Itu… Mustahil…)"

***

Bagian Timur Ibukota, kediaman Blouse. Teo yang sudah tertidur selama 2 hari, ia membuka matanya, pandangannya sedikit kabur, namun ia samar-sama dapat melihat dua orang dengan rambut pirang dan juga panjang, salah satu mereka duduk di sampingnya lalu satunya berdiri di samping orang itu.

Mereka menyadari Teo membuka matanya, orang yang sedang duduk di sampingnya langsung mengulurkan tangannya ke atas tubuh Teo dengan sedikit jarak dengan tubuhnya.

Penglihatannya perlahan mulai pulih, perlahan ia dapat melihat jelas kedua orang itu, tidak lebih tepatnya dua orang gadis disampingnya. Dua gadis berambut pirang panjang, mereka adalah Tuannya. Cattalina de Blouse yang sedang duduk disampingnya dan juga Celica de Blouse yang terlihat khawatir melihatnya.

"C… Ca–."

"Jangan banyak bicara, kamu baru saja sadar. Energi mu belum pulih, diam dan istirahatlah." ucapan yang terdengar tidak ramah itu tidak keluar dari mulut Cattalina, melainkan Celica.

Meski begitu, ucapanya tidak menyembunyikan wajahnya yang begitu khawatir dengannya. Teo menuruti perkataanya, lalu memejamkan matanya "T-Tunggu, kenapa kamu menutup matamu?! Apa tubuhmu merasakan sesuatu!?" Celica panik ketika mata Teo terpejam.

Ucapannya mendapat respon dari Kakaknya dengan tersenyum kecut sambil, Teo juga kembali membuka matanya karena mendengar perkataan Celica yang terdengar lucu itu "Nona Celica… Anda yang menyuruh saya berisitirahat… Tapi Anda sendiri yang panik sewaktu saya menutup mata." ucap Teo dengan suaranya yang terdengar pelan karena kondisinya yang masih lemah.

"Celica, tenanglah. Jika Teo sudah bangun itu berarti dia baik-baik saja. Tenang, ya." ucap Cattalina sambil tersenyum kepadanya.

Wajah Celica sedikit memerah mendengar perkataan mereka dan membuatnya terdiam sambil terus memalingkan wajahnya. Lalu, Cattalina menghentikan sihirnya dan berbicara kepada Teo "Tubuhmu baik-baik saja, Energi mu juga perlahan akan pulih kalau kamu istirahat dan makan dengan teratur."

"Eh? Kalau begitu…"

"Kami tidak bisa membiarkanmu bekerja, kondisimu belum pulih sepenuhnya, karema itu kamu istirahat saja. Mungkin perlu 5 hari atau 1 minggu untuk membuatmu pulih lagi, kamu paham?" Teo mengangguk pelan sebagai responmya, lalu ia menatap kedua tangannya. Ia mengingat kembali malam itu, malam dimana ia menerima keajaiban yang dirinya sendiri tidak percaya dengan apa yang ia alami. Tidak masuk diakal, hanya itu yang sering terlintas di kepalanya ketika mengingat apa yang sudah ia alami sebelumnya.

"Teo." Panggil Cattalina dan Teo langsung menoleh ke arahnya "Aku sudah dengar apa yang terjadi disana. Aku dengar, kamu ikut bersama Jenderal saat menangkap Tuan Cruile. Apa benar?"

Teo hanya mengangguk pelan untuk jawabannya "Kenapa?!" pertanyaanya terdengar sedikit keras, wajahnya juga menunjukan kekhawatiran yang luar biasa.

Teo tersenyum sebelum menjawab pertanyaanya "Non–."

"Kakak, Kamu bilang dia perlu istirahat untuk memulihkan tenaganya. Tapi kamu terus saja bertanya, bagaimana Kakak ini?" perkataaan Celica hanya mendapat respon senyum dari Kakaknya lalu ia meminta maaf kepada Teo karena terlalu banyak bertanya kepadanya.

"Tidak apa-apa." pandangan Teo teralih kepada Celica yang sedang menyilangkan kedua tangannya dan tersenyum puas "Tidak biasanya Nona Celica perhatian seperti ini… momen langka ya." ucapan Teo yang terdengar lemah itu membuat wajah Celica sedikit memerah, ia langsung memalingkan wajahnya dari Teo "Tenang saja, Nona Celica. Untuk berbicara, saya masih sanggup." lalu pandangannya kembali ke Cattalina "Nona Cattalina, sejujurnya saya hampir tewas karena boneka sihir. Tapi, sesuatu terjadi yang Saya sendiri tidak mengerti."

Mendengar dirinya hampir tewas, membuat kedua Tuannya terkejut bukan main "Lalu apa yang terjadi?"

"Saat saya sekarat, tiba-tiba tubuh saya mengeluarkan cahaya. Sepertinya, cahaya itu berasal dari pedang sihir milik Saya, lalu menyembuhkan tubuh–."

"Jadi itu benar-benar bekerja ya!–. Ah?!" Ucapan Celica memotong perkataan Teo, namun sepertinya ia tidak sengaja berkata seperti itu. Terlihat ia langsung menutup mulutnya dan memalingkan wajah dari mereka berdua.

Melihat hal yang mencurigakan di tunjukan Adiknya, Cattalina berdiri lalu mendekati Celica. Semakin mendekat, Celica semakin menjauhkan wajahnya dari Cattalina. Ia tersenyum kepada Adiknya, tidak terlihat manis, namun begitu menyeramkan.

"Ce-li-ca." Cattalina memegang erat pundak Celica "Sepertinya kamu tahu sesuatu, maukah kamu cerita kepada Kakakmu ini?" permintaanya membuat Tubuhnya gemetaran dan membuatnya hampir menangis, ia tidak bisa menolak permintaan Kakaknya.

"Ba-Baiklah akan kuberitahu. Berhenti tersenyum seperti itu!" Celica benar-benar takut dengan senyum Kakaknya saat itu.

Celica pun duduk di kursi lalu mengambil pedang sihir milik Teo yang di simpan di laci. Ia menarik pedang itu dari sarungnya, menarik nafas dalam, lalu mengeluarkan energi sihirnya pada pedang itu.

Perlahan, ukiran simbol pada pedang itu mulai bercahaya. Celica menghembuskan nafasnya, lalu warna cahaya yang awalnya hanya berwarna putih, perlahan berubah kebiru-biruan. Ukiran pada pedang sihir itu pun juga berubah.

"I-Ini…" Cattalina terkejut melihat ukiran baru pada pedang itu. Ia sepertinya tahu apa arti dari ukiran-ukiran simbol pada pedang itu " 'Rune' kuno…"

"Rune?"

Cattalina mengangguk pelan mendengar Teo yang tidak tahu arti dari ucapannya "Ah, kamu belum tahu ya? 'Rune' itu adalah aksara sihir. Kami para penyihir menggunakan aksara 'Rune' untuk merapal sihir kami. Setiap kalimat, kata, huruf, itu adalah bagian dari 'Rune'." Jelas Cattalina tentang Rune menurut pengetahuannya. Meskipun penjelasannya kurang jelas, tapi itu membuatnya mengerti apa itu aksara 'Rune'.

"Apa bedanya dengan huruf biasa?" tanya Teo lagi.

"Tentu saja berbeda. Setiap huruf yang kita keluarkan untuk merapal sihir itu membutuhkan energi sihir, berbeda dengan cara berbicara biasa." Jelas Cattalina lagi.

Teo mulai mengerti maksud dari aksara 'Rune' itu. Lebih jelasnya, Rune digunakan untuk merapal sihir, jika penyihir tidak menggunakan aksara 'Rune' maka sihirnya akan gagal. Dan juga jika ada kesalahan di setiap perkataan atau huruf yang di ucapkan, kemungkinan sihir yang di keluarkan akan melemah atau gagal. Setiap huruf yang diucapkan, mereka memerlukan energi sihir untuk mengucapkannya.

Pandangannya teralih lagi ke arah pedang itu, sebelumnya ia berkata kalau itu adalah 'Rune' kuno, dengan kata lain huruf-huruf yang ada pada pedang milik Teo itu memiliki sihir kuno "Saat Teo di penjara, aku sempat memeriksa pedangnya karena Kak William memberitahu rencananya saat itu. Melawan boneka sihir, itu bukan sesuatu yang mudah, karena itu aku memeriksa kondisi pedang milik Teo. Saat memeriksa, aku menyadari kemampuan lain pedang ini. Selain menukar energi biasa menjadi energi sihir … pedang ini juga punya kemampuan penyembuh tingkat tinggi." Celica terdiam sesaat dan memberikan pedang itu kepada Kakaknya "Aku mencoba memicu kemampuannya yg lain itu dengan sihir, tapi yang ada malah sihir ku yang di serap."

"Eh? Bukannya itu wajar."

"Ya, memang sih. Hanya saja, aku merasa ada yang aneh dengan pedang ini."

"Aneh? Apanya?"

Celica terdiam sesaat sambil melihat pedang sihir itu "Saat pedang ini menyerap sihir, sesaat aku menjadi pemiliknya, saat itu juga aku bisa merasakan kemampuan pedang ini. Dia tidak menguatkan dirinya, tapi 'menyimpannya' ."

Cattalina terdiam sesaat sambil terus menatapi pedang sihir itu. Dari penjelasan Celica juga ia tidak merasa yakin kalau pedang itu menyimpan energi sihir yang di serapnya itu daripada menggunakannya untuk memperkuat pedang itu sendiri "Tunggu, pedang sihir bisa memperkuat dirinya sendiri?" tanya Teo tiba-tiba

"Eh? Ya seharusnya begitu, dengan menyerap energi biasa atau energi sihir, pedang sihir bisa memperkuat dirinya sendiri tanpa perintah. Itulah keistimewaan pedang sihir, mereka seperti makhluk hidup, itu yang dikatakan guru Theresa." jelas Cattalina. Ia terdiam dan melihat pedang itu kembali, kali ini untuk memastikan perkataan adiknya, ia memberikan energi sihirnya kepada pedang itu dan menjadi pemiliknya sesaat.

Ia dapat merasakannya, potensi pedang itu, ia dapat merasakannya. Apa yang dikatakan Celica benar, pedang itu tidak memperkuat dirinya sendiri, ia menyimpannya. Bahkan Cattalina bisa merasakan energi sihir milik Celica yang sebelumnya di serap oleh pedang itu "Kamu benar, pedangnya menyimpan energi sihir. Aku juga bisa merasakan energi sihir milik Celica, aku rasa pemilik sebenarnya bisa melepaskan energi sihir pada pedang ini." ucapnya lalu menoleh kepada Teo "Tapi aku tidak merasakan energi milik Teo. Seandainya sudah menghilang, energi biasa milik Teo seharusnya meninggalkan jejak. Tapi, aku sama sekali tidak bisa merasakannya." ucapnya lagi.

"Hmm…" Celica memegangi dagunya dan sedikit menundukan kepalanya "Ini hanya pendapatku, mungkin pedang ini hanya bisa menyimpan energi sihir. Karena Teo bukanlah penyihir, maka yang di serapnya hanya energi biasa dan langsung mengeluarkannya, sama seperti pedang sihir biasa."

"Mungkin begitu." Cattalina sepertinya setuju dengan perkataan Celica, meskipun ia terdengar sedikit ragu, lebih tepatnya ia merasa ada yang kurang dengan jawabannya itu.

"Energi ku? Maksudmu stamina?" tanya Teo lagi.

"Benar. Eh tunggu, Bukankah saat pertama membeli pedang itu aku sudah memberitahu mu? Kau lupa? Mereka yang tidak memiliki energi sihir masih bisa menggunakan pedang sihir, sebagai gantinya pedang sihir akan menyerap energi manusia atau stamina."

Teo terdiam sesaat dan mengingat apa yang Celica katakan kepadanya saat pertama membeli pedang sihir itu "Ah, maaf... Pikiran ku kacau, sepertinya aku perlu istirahat." ucap Teo lalu melemaskan seluruh tubuhnya dan memejamkan matanya

"Kalau begitu istirahat saja." ucap Celica.

"Tapi… itu masih tidak menjelaskan kenapa tubuh Teo dan pedangnya bercahaya. Yah walaupun aku tau apa yang terjadi." Celica langsung memalingkan wajahnya dari Kakaknya "Tapi, aku ingin Adikku sendiri yang berbicara. Bagaimana?" Cattalina berjalan mendekati Adiknya dengan senyum yang menyeramkan lagi.

Celica yang tidak bisa menghindar akhirnya memberitahu alasan kenapa pedang sihir dan tubuh Teo bercajaya dan kenapa cahaya itu menyembuhkan tubuh Teo yang terluka parah

"Sihir kuno, Regenerasi." jawaban itu bukanlah dari Celica, mereka berdua terkejut menoleh kebelakang, melihat seorang laki-laki tengah tersenyum menatap mereka dan ia tahu apa yang Teo alami saat malam itu.

To be continue

Nächstes Kapitel