webnovel

Kamu Pemenangnya

"Win!" seru Wat seraya menarik lengan tangan Win.

Win menghentikan langkahnya dan menoleh pada Wat.

Ia menepis tangan Wat dengan raut ketus.

"Kamu kenapa? Apa aku ada salah?" tanya Wat.

"Aku sedang buru-buru," jawab Win masih ketus.

"Kamu cemburu?"

Mata Win membesar, mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Wat.

Ia juga mengernyitkan dahi, menggelengkan kepalanya.

"Jangan asal bicara," tutur Win ketus.

"Aku tidak asal bicara. Aku merasa—"

"Jangan ganggu aku dan tidak perlu lagi menjadi kekasih pura-pura lagi. Aku tidak akan mendekati Lin lagi, Wat. Dan sepertinya … kamu masih terlalu mencintai Lin. Sampai pesanku kamu abaikan seharian," ujar Win.

Deg!

'Ternyata benar dugaanku,' batin Wat yakin dugaannya benar, Win marah padanya karena ia tidak membalas pesannya.

"Aku harus ke kelas," ucap Win kemudian.

"Cobalah mengerti, Win …," ucap Wat, seolah menahan Win yang hendak berlalu.

Win mengurungkan niatnya untuk melanjutkan langkah kakinya yang ingin berlalu.

Ia menoleh dan kembali menatap mata Wat.

"Mengerti untuk apa?"

Wat melangkahkan kakinya semakin dekat pada Win. Tatapan matanya begitu tajam, seperti ingin menusuk bola mata Win yang kini membesar melihat jaraknya dengan Wat begitu dekat.

"Lin memang pasanganku. Tetapi aku tidak pernah mencintainya, sama sekali," ujar Wat, mengecilkan volume suaranya.

Win menyipitkan matanya dengan sedikit memiringkan kepalanya ke kiri, bingung.

"S—sama sekali tidak mencintainya?" tanya Win jelas tidak mengerti maksud dari perkataan Wat.

"Huft … sudah, lupakan saja. Pergilah ke kelasmu, aku akan menghampiri teman-temanku yang sedang berada di kantin," ujar Wat, melangkah mundur dan berlalu lebih dulu dari pada Win.

Sementara itu, Win masih berdiri di tempatnya semula. Memandang punggung Wat yang terus melangkah semakin jauh darinya.

***

Win hanya diam, sama sekali tidak konsentrasi pada perkuliahannya. Ia terus memikirkan apa yang dikatakan oleh Wat pagi tadi.

'Lin memang pasanganku. Tetapi aku tidak pernah mencintainya, sama sekali.'

Selalu itu ucapan itu, yang ada dalam pikirannya. Sehingga membuatnya hanya sia-sia saja mengikuti perkuliahan, tanpa menyerap ilmu apapun yang disampaikan oleh dosen dan sama sekali tidak mendengarkan pendapat dari teman-temannya.

Win keluar kelas dengan kebodohan yang dibuatnya sendiri.

Matanya kini tertuju pada pria tampan yang bukan hanya menggoyahkan hati para wanita, tetapi juga kaum Adam sepertinya, juga mampu bergetar jika terus-terusan diberi pengertian dan perhatian.

"W—"

"Wat!"

Suara nyaring itu telah mendahuluinya memanggil Wat.

Win mendengus kesal, melihat Lin yang berlari kecil menghampiri Wat yang sedang bersama dengan kedua temannya, yaitu Mario dan Tom, tanpa adanya June.

Win diam di tempat, mememperhatikan apa yang akan diperbuat oleh mereka.

Meski tidak mendengarnya, namun sorot mata Win tidak pernah lepas dari Wat yang kini sedang mengusap kepala Lin yang menyeringai pada kedua teman Wat.

'Mereka sudah menunjukkan kemesraannya di depan umum?!' batinnya menggerutu.

Dengan kepalan yaneg begitu kuat. Win meninju dinding yang berada tepat di sebelah kananya, kesal.

'Kamu pemenangnya, Lin ….'

Ia memilih berlalu dengan emosi yang kian membara.

Sementara itu, Lin menghampiri Wat hanya karena ada tugas untuk mewawancarai tiga orang yang berada di jurusan Wat. Pilihan utamanya adalah Wat, lalu Mario dan terakhir ia ingin mewawancarai Win.

"Kenapa tidak aku saja?" tanya Tom sembari menunjuk dirinya sendiri.

Lin menggelengkan kepalanya dengan memajukan bibirnya.

"Ush … ush … ush … nanti kalau ada teman kelas yang melihat, aku dibilang curang dong. Sekali datang, langsung dapat tiga narasumber," jawab Lin.

"Bukan curang. Tapi sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui," balas Wat, mengusap kepala Lin.

Mario dan Tom saling senggol dan melirik.

Melihat Wat yang terlihat begitu akrab dan memanjakan Lin.

"Mau kapan dan dimana wawancaranya?" tanya Wat.

"Sekarang dan di sini saja. Teman-teman kelasku, tadi sudah ingin berburu untuk dapat mewawancarai kamu. Untung saja kamu bilang kalau kamu sedang berada di sini. Jadi, aku bisa langsung menghampiri, sementara mereka pasti sedang mencarimu," jawab Lin memaparkannya.

"Oh, baiklah. Lagipula kalau mereka datang dan ingin mewawancarai aku, pasti akan kutolak."

"Kenapa?"

"Karena aku tahu kalau kamu juga butuh narasumber. Aku akan ada untukmu, bukan untuk mereka," tutur Wat.

Mario memegangi dadanya medengar apa yang baru saja dikatakan oleh Wat.

'Wat … Wat … kamu sudah pintar mengelabui wanita, ya …,' batin Mario yang mengira kalau kedekatan sahabatnya Lin hanyalah palsu.

"Kalau begitu, kita mulai saja wawanca—"

"Wat …!"

"Wat …!"

"Akhirnya ketemu!"

"Wat, mau ya … aku wawancara …."

"Boleh ya, Wat … aku wawancara …."

"Wat, ikut sebentar yuk! Aku mau wawancara …."

Lin mundur, memasang raut kecewa dan juga cemas, kalau Wat akan kalah dengan sekumpulan kaum hawa yang kini sedang menyerbunya.

"Eeh … maaf, teman-teman …," cetus Tom.

"Tom?" gumam Wat.

"Wat dan Mario … sudah ada yang ingin mewawancarai mereka. Jadi … di sini hanya tinggal aku seorang yang belum mendapat jurnalis untuk diwawancarai. Boleh salah satunya mewawancarai aku," ujar Tom dengan percaya diri, mengibaskan rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya.

"Ah! Kita maunya sama Wat," gerutu salah satu wanita yang kini beraut masam, sangat kecewa.

Mereka menoleh sinis pada Lin yang berada di sudut, sembari menyeringai dan menangkupkan tangannya ke depan dada, seraya meminta maaf kepada para wanita yang menyerbu suaminya.

Tanpa senyum, tanpa sapaan, mereka berlalu begitu saja, tidak menyukai Wat yang masih saja dekat dengan Lin.

Wat menghembuskan napasnya lega. Ia menoleh pada Lin yang terlihat masih memperhatikan para wanita itu berlalu.

Wat tersenyum dan menghampiri Lin, merangkulnya.

"Sudahlah. Kamu yang jadi pemenangnya," tutur Wat.

Lin tersenyum dan menganggukkan kepalanya, membenarkan ucapan Wat.

Lin, Wat, Mario dan Tom memilih untuk pergi menuju ke taman yang terletak bersebelahan dengan kantin. Lin melakukan wawancaranya di sana. Tidak berlangsung lama. Kurang lebih hanya memanak waktu setengah jam saja untuk mewawancarai Wat dan juga Mario.

***

Win baru saja menghabiskan minumannya yang dibeli di kantin, sendiri, tanpa seorang teman.

Ya … sejak kecil Win memang lebih suka menyendiri.

Bahkan hingga saat ini, ia kerap terlihat sendiri.

Jika ia sedang bersama orang lain, itu adalah Lin atau Wat.

"Huft ��," dengusnya masih saja kesal.

Ia terus melihat luka lebam di punggung tangannya akibat pukulannya yang cukup kuat, ketika melihat Wat sedang bersama dengan Lin, begitu akrab.

'Apanya yang dicoba untuk mengerti. Bukan mengerti kalau setiap hari pemandangannya harus dia yang bersama dengan Lin. Semua juga pasti mengira kalau kamu memang tidak bisa melepaskan Lin,' batinnya masih saja menggerutu.

"Maksudmu apa?"

Braaaak …!!!

Nächstes Kapitel