"Kamu ingin aku menggandeng tanganmu?" tanya Wat.
Win segera menepis tangan Wat dan bertolak pinggang.
"Bukan seperti itu," ucapnya.
"Lalu?" tanya Wat, melipat kedua tangannya di atas perut.
"Kita perlu bicara … mengenai hubungan kita," jawab Win, mengecilkan volume suaranya.
"Kamu adalah kekasihku," balas Wat dengan santai, tanpa mengecilkan volume suaranya.
"Wat!" tegur Win.
Wat semakin mendekat pada Win dengan melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di hadapan Win, seolah tidak memberikan jarak.
"Kamu kekasihku, Win … kekasih pura-pura," ujarnya kemudian tersenyum.
***
Lin dan Win berjalan menyusuri koridor, yang menjadi penghubung antara gedung jurusan yang satu, dengan yang lainnya.
Diam.
Keduanya hanya diam, seolah tidak ada hal yang perlu disampaikan.
"Hmmm, Win … apa yang ingin kamu bicarakan? J—jika tidak ada … aku ingin kembali ke kelas," ujar Lin, merasa canggung dengan Win.
"Oh … hmmm … perihal Wat."
Lin diam, menghentikan langkah kakinya.
Ia menoleh pada Win, yang kini juga menoleh padanya dengan tatapan penasaran.
"Ada apa?!" tanya Lin dengan nada tidak mengenakkan.
"Jadi benar, kamu ini … pasangan Wat? Semua sedang membicarakan kalian."
Lin membuang pandangannya, seolah ia tidak ingin membicarakan hal tersebut.
"Lin, apa pertanyaanku tadi menyinggungmu?" tanya Win, meraih lengan tangan Lin.
Lin menepis, tanpa menoleh pada Win.
"Lin …."
"Aku harus kembali ke kelas. Ada tugas yang harus aku diskusikan dengan temanku," ujar Lin, kecewa pada Win.
"Lin—"
"Win. Jangan ingin tahu, tolong …."
Lin berlalu, tanpa menunggu respon dari Win.
Lagi-lagi Win hanya diam. menatap punggung Lin yang semakin menjauh.
'Sepertinya mereka memang ada hubungam special. Aku harus mundur … atau bagaimana?' batin Win bimbang.
***
Cklek
Lin membuka pintu kamar twins, melihat anak-anaknya yang terbangun dan menangis. Bukan hanya salah satunya, tetapi keduanya menangis dan itu membuat Wat juga ikut bangun dan membantu Lin menenangkan Pin dan Nas.
"Biasanya tidak pernah bangun, kok sekarang bangun lagi?" gerutu Wat sembari menidurkan kembali Pin.
Sementara Lin yang sedang menenangkan Nas yang sedang sakit, tidak memberikan komentar apapun mengenai gerutuan sang suami.
"Lin … besok aku tidak ada kelas pagi. Kamu berikan saja Nas padaku, Pin sudah tenang dan aku akan menidurkannya di tempat tidur," ujar Wat.
Lin mengangguk dan menunggu Wat selesai membuat Pin kembali tidur dan bergantian untuk menenangkan Nas.
"Kembalilah ke kamar. Aku akan tidur bersama twins di sini," ujar Wat.
Lin mengangguk dengan mata mengantuknya. Ia berbalik badan dan segera keluar dari kamar twins.
***
"Waaat …!!!" seru Tom, ketika mendapati Wat tertidur di kelas.
Wat menegakkan posisi duduknya. Dengan mata yang terlihat membelalak, ia memasang raut tegang yang sangat serius dengan pandangan lurus ke depan.
"Dosennya sudah pergi, Wat. Kamu tadi malam tidak tidur atau tidur terlalu larut? Tidak biasanya tidur di dalam kelas, apalagi saat sedang ada perkuliahan seperti ini," timpal Mario.
Wat masih diam, namun kali ini ia sudah melemaskan tubuhnya yang kaku karena terkejut dan juga melemaskan matanya yang ia tahan untuk terbuka lebar.
"Ngantuk lagi?" tanya Tom.
Wat mengangguk dan kemudian menunduk, menutup kembali kedua matanya.
"Pasti karena terlalu asyik telpon Lin. Atau … chat dengan Lin sampai dini hari. Seharusnya kamu kalau cari pasangan, yang lebih baik dan memberi aura positif, Wat … bukan seperti Lin. Lihat sekarang, karena terlalu kasmaran … kamu jadi tidak konsentrasi kuliah," sahut June.
Seperti biasa, June tidak menyukai Lin dan akhirnya menjatuhkan Lin.
"Bukan salah Lin. Aku memang ingin terbangun dini hari untuk bermain game," jawab Wat, terdengar nadanya sangat mengantuk.
"Pergi ke klinik saja, Wat. Berpura-pura sakit dan segera tidur. Daripada mengganggu konsentrasi kamu," ujar Mario memberikan saran.
Wat mengangkat wajahnya, membuka lebar kedua matanya. Ia menoleh pada Mario dan mengumbar senyum dengan lebar.
"Idemu boleh juga … nanti kalau ada dosen, tolong izinkan aku, ya. Aku pergi dulu," ujarnya tanpa membawa tasnya dan berlalu dari kelas, meninggalkan teman-teman dan juga perkuliahan di sesi berikutnya.
***
"Istirahat saja dulu. Setelah baikan, kamu boleh pulang. Dan sebaiknya, ada yang menjemput kamu,Win …," ujar dokter yang bertugas sebagai dokter jaga di kampus.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar jelas.
Bukan hanya sang dokter yang menoleh, tetapi Win juga ikut menoleh.
"Ada perlu apa?" tanya dokter perempuan yang masih muda itu, dengan berjalan menghampiri mahasiswa tertampan di kampus. "Apa ada keluhan?" tanya dokter itu lagi, kini sudah berdiri tepat di hadapan mahasiswa tampan –Wat-.
"Eu … s—saya … pusing. Tidak tahu kenapa, pusing dan sedikit mual," ujar Wat, asal sebut.
"Kamu hamil?" tanya sang dokter dengan mata yang membesar.
Terdengar gelak tawa yang tertahan dari balik tirai pembatas di klinik.
Wat menoleh, dengan memajukan langkahnya, untuk memastikan siapa orang yang juga sedang berada di klinik.
"Win?!" seru Wat, kemudian berjalan dengan perlahan, menghampiri Win yang terlihat sedang duduk di atas ranjang dan menutup mulutnya dengan tangan kanan, sembari membelalak melihat Wat yang semakin mendekat padanya.
Win perlahan menurunkan tangan kananya. Sementara tangan kiri ia kepal begitu kuat.
"Win … k—kamu … sedang apa di klinik?" tanya Wat.
"Win tergelincir di tangga dan tangannya terkilir," jawab sang dokter yang kini menghampiri mereka.
"Apa?! Yang benar, Win?" tanya Wat membesarkan matanya.
Win mengangguk, menunjukkan raut seolah ia sedang begitu terluka.
Tangan Wat meraih kepala Win. Ia mengusapnya pelan dan tersenyum.
"Sebentar lagu juga sembuh kok," ujar Wat.
"I—iya … terima … kasih," jawab Win, dengan pipinya yang terlihat berubah menjadi ranum.
"Wat … selahkan berbaring. Saya akan memeriksamu," ujar sang dokter.
"Dok. S—saya … hanya perlu menyandarkan kepala saja kok. Beri saja obat maag untuk saya," balas Wat, tidak ingin diperiksa karena sakitnya hanya pura-pura saja.
Wat segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang bersebelahan dengan Win.
Tetapi Win tidak berbaring. Ia hanya duduk dan menyandarkan pungunggunya pada dinding.
"Win?" panggil Wat.
"Hm? Ada apa?" tanya Win.
"Apa ka—"
"Maaf menyela, Wat. Kemarin aku bertemu dengan Lin," ujar Win memotong omongan Wat.
"Lin? Lalu?" tanya Wat dengan sorot mata yang kini tertuju pada Win.
"Aku bertanya … karena ingin tahu," jawab Win.
"Jangan ingin tahu, Win," balas Wat, kini sudah kembali menatap langit-langit dan memjamkan matanya.
"Bukan begitu … aku hanya penasaran dengan informasi yang beredar dengan kenyataan yang sepertinya … baik-baik saja," ujar Win.
"Hm."
Win mendengus, melihat Wat yang masih memejamkan matanya.
"Wat … meskipun kamu dan Lin memintaku untuk jangan ingin tahu, tetapi aku juga butuh kejelasan yang sebenarnya. Bukankah aku ini kekasihmu?"