webnovel

Bagian XVI ( Aku : Keberadaan )

Dian Lubna, 24 tahun. Yatim piatu, tinggi 155,5 cm. Kulit sawo matang.

Aku percaya dengan hal-hal ghaib. Aku percaya bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika di dunia ini. Manusia memiliki akal dan kecerdasan sehingga bisa menilai banyak hal. Tapi manusia juga memiliki keterbatasan dengan akalnya.

Apa kamu percaya dengan firasat?

Aku yakin segala hal memiliki tanda-tanda. Hanya saja karena terlalu banyaknya dosa yang dilakukan manusia membuat kesensitifan perasaannya berkurang.

Apa kamu pernah merasa mengenal seseorang yang baru pertama kali kamu jumpai? Apa kamu pernah merasa melihat sesuatu yang belum terjadi? Perasaan yang seperti mimpi atau semacamnya.

Bisa jadi kamu memang pernah mengenal orang yang kamu rasa baru pertama kali kamu jumpai, atau bisa jadi itu hanya sebatas ilusi semata. Bisa jadi memang kamu pernah merasa melihat hal yang belum pernah terjadi, bisa jadi itu hanya mimpi. Entahlah.

Hal-hal seperti itu bisa saja tidak ada, atau mungkin benar-benar tidak ada. Tidak ada yang tahu.

Sebuah misteri mampu bermain dengan caranya sendiri. Satu misteri akan tertutupi dengan misteri yang lain.

Bagaimanapun kamu berusaha mencari tahu, kamu tetap tidak akan menemukan jawabannya. Jika kamu tetap bersikeras, kamu akan terlihat tidak normal. Mereka akan berpikir kamu memiliki gangguan. Mereka akan memberimu banyak obat dan mengisolasimu.

Tidakkah manusia terlalu mudah memutuskan bahwa seseorang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak. Padahal ilmu kejiwaan sendiri masih terbatas. Padahal mereka hanya melihat hal itu dari sudut pandang mereka sendiri dan menganggapnya tidak masuk akal.

Padahal dalam otak manusia sendiri masih memiliki banyak misteri yang belum mampu dikupas tuntas.

*****

Aku baru saja selesai membaca sebuah novel keluaran terbaru. Bukan novel hits dan best seller. Bukan juga novel dengan genre romantis yang bisa membuat pembacanya meluluh dan mengharu biru. Tapi novel yang membuatku terus menerus berpikir setelah selesai membacanya. Membuatku berimajinasi tentang sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Genre misteri.

Aku suka misteri karena segala hal di dunia ini penuh dengan misteri. Hanya sebatas suka, tidak sepenuhnya percaya. Aku terus berpikir seperti itu sampai aku berjumpa dengan seorang teman yang sudah tidak pernah terdengar lagi kabarnya.

Hari itu aku tidak merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Memang tidak terjadi padaku, tapi seorang teman yang sebenarnya sangat berat jika harus bertemu lagi dengannya, mengalami hal buruk. Seorang pria kasar nyaris saja membuat nyawanya terengut. Genggamanya yang besar dan kuat melingkar di leher Salwa. Pemandangan mengerikan pertama yang kusaksikan.

Semua tidak berhenti di hari itu. Bahkan mungkin takdir baru saja dimulai. Misteri-misteri yang awalnya hanya hidup dalam buku dan imajinasiku, merangkak, semakin mendekatiku.

Ibu Salwa datang menemuiku keesokan harinya. Bercerita panjang lebar mengenai senandung pilunya. Segala hal tentang Salwa. Tentang kecelakaan, tentang memori yang hilang, tentang desas desus yang mulai menyebar di antara para tetangga, dan tentang kekhawatiran yang kuendus dengan jelas.

Kecelakaan tahun lalu, aku mengingatnya dengan jelas. Duka yang teramat karena kehilangan teman. Rasa sakit dan penyesalan. Amarah yang terkulum. Cukup lama aku bergelut dengan dukaku hingga akhirnya bisa kembali melangkah tegak.

Saat orang lain memiliki yang lainnya untuk berbagi kesedihan, aku hanya memiliki sajadahku untuk bersujud.

Aku sangat mengingatnya. Saat gemericik kesedihan tumpah dengan ruahnya, saat isak kehilangan mengiang dengan kuatnya, di sana, di sebuah kamar dalam rumah sakit.

Aku melihat tatapan yang tak lagi hidup. Dia bernafas, jantungnya berdetak, bahkan seluruh anggota tubuhnya masih berfungsi normal. Hanya saja semangat hidupnya telah terengut. Dia hanya menatap persendian di lengannya kirinya yang terlilit perban. Tatapannya datar. Tidak ada apapun yang matanya gambarkan. Kesedihan sekalipun. Nanar.

Setelah sempat sadar, keadaan Salwa justru dengan cepat memburuk sampai akhirnya jatuh koma.

Aku masih perlu merenung sebelum akhirnya membulatkan keputusan. Aku juga berduka, aku juga masih mengecap pil pahit kehilangan. Berada dekat dengan Salwa menjadi tidak mudah. Aku tidak ingin menyalahkannya, tapi sebagian dari diriku masih saja menjadi begitu sedih saat melihat Salwa.

Meski Salwa kehilangan dunianya dan begitu menderita, aku juga kehilangan hal terakhir yang aku miliki. Tempat dimana aku bisa membagi segalanya. Tempat aku bersandar sekaligus berkeluh kesah. Mia.

Meski tidak mudah membulatkan keputusan, aku tetap menemui Salwa. Sekarang dia adalah teman satu-satunya. Aku pikir aku memang perlu melakukan sesuatu.

Cara terbaik menyembuhkan luka adalah dengan menghadapinya. Aku bisa membantu Salwa sekaligus mengobati lukaku. Aku juga menerima kesepakatan Ibu Salwa agar tidak mengungkit prihal kecelakaan.

Sebenarnya aku tidak setuju dengan cara Ibu melindungi Salwa. Masa lalu sebetapa pun menyakitkannya, ada dan benar-benar ada. Tidak lantas menyakitkan kemudian dilupakan. Jika mudah membuang masa lalu dan melupakan rasa sakit, maka manusia akan menjadi rentan terjerat dalam kesalahan yang sama.

Aku tinggal di rumah Salwa, menjadi teman sekamarnya. Dia benar-benar telah menjadi manusia yang berbeda. Tidak ada senyum ataupun tawa seperti Salwa yang sebelumnya kukenal.

Salwa sangat suka menyendiri dan menjauh dari orang-orang. Bahkan saat mengajar. Salwa hanya berinteraksi dengan muridnya, tidak dengan sesama pengajar. Salwa yang supel, bersemangat, dan ceria, berubah pendiam dan kaku. Kadang-kadang kasar. Semua sifat dan kepribadiannya berubah seolah dia bukan lagi dirinya.

Beberapa hari bersama Salwa kenyataan mengenai desas desus dan kekhawatiran Ibu terbukti. Salwa memperlihatkan tanda-tanda mencengangkan.

Beberapa kali Salwa terlihat memandang tempat yang kosong, seolah ada sesuatu di sana. Berbicara saat sendiri. Terlihat gelisah dan panik tanpa sebab.

Beberapa kali Salwa nyaris membuat hidupnya berakhir. Seperti bertindak tanpa memperhitungkan apapun. Bahkan keselamatannya sendiri. Menjadi susah ditebak karena tak seorangpun tahu apa yang dipikirkannya. Apa yang dilihatnya.

Benakku rancuh ketika kudapati kebenaran tentangnya. Salwa masuk dalam pusaran kehancurannya. Dia benar-benar membenamkan dirinya ke tempat paling dasar. Hidup dengan imajinasi dan rasa bersalahnya.

Dokter memfonisnya mengidap skizofrenia. Penyakit otak dimana penderitanya akan berhalusinasi. Mendengar atau melihat sesuatu yang hanya mereka yang bisa merasakannya. Tidak bisa membedakan dengan dunia yang nyata.

Itu mengerikan. Bagaimana bisa manusia hidup dengan halusinasi yang dianggap nyata. Bagaimana Salwa tidak bisa membedakan apa yang ada dan tidak.

Mengetahui bagaimana Salwa lebih menderita dibanding semua orang, membuatku tidak bisa berhenti. Tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Setiap aku memikirkannya, aku selalu merasa Salwa berada dalam bahaya. Setiap aku mengaalihkan pandangan, selalu Salwa dengan pandangan kosongnya yang kutemukan.

Meski harus menghadapi kedua orang tua Salwa yang menganggapku terlalu menekannya, meski harus berselisih, meski aku terlihat jahat, aku tidak akan berhenti. Aku tidak akan membiarkan mereka hidup dalam kepura-puraan. Menganggap Salwa baik-baik saja.

Mereka mengetahui keadaan Salwa lebih baik dari aku. Bagaimana bisa hal seperti itu dianggap baik-baik saja.

Terus, dan lagi. Aku berusaha meyakinkan Salwa bahwa apa yang dilihatnya tidaklah nyata. Bahwa tidak semua yang didengarnya perlu didengar. Aku mendapat penolakan namun aku tetap tidak berhenti. Salwa membutuhkan pertolongan.

Aku menunjukkannya blog yang berisi cerpen dunia Bakal Manusia yang dia tulis. Aku memintanya membaca lagi cerita pendek itu, bertukar pandangan. Berharap dia akan segera sadar dan mengerti.

Sampai pada hari itu.

Jam telah menunjukkan pukul 11.00 namun langit masih gelap. Awan hitam menyembunyikan matahari yang akrab dengan teriknya. Langit sudah terlalu lama berubah gelap namun titik-titik air tidak kunjung juga dimuntahkan. Masih tertahan. Sesekali angin berhembus kuat. Sesekali matahari mencoba mengintip. Namun tetap tidak juga terlihat langit biru dan awan putih yang berarak.

Hari itu, Salwa menceritakan banyak hal yang dia sebut untuk terakhir kalinya. Awalnya aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Aku ingin bertanya ini, itu, namun mulutku tak kunjung mengeluarkan suara.

Ketika mulai mendengarkan cerita-ceritanya seluruh tubuhku merinding. Ada satu hal yang membuatku meragukan diriku sendiri, yaitu ketika Salwa menyebut ada satu Bakal Manusia yang selalu berada di sekitarku.

Sebelumnya aku sama sekali tidak menganggap nyata cerita mengenai Bakal Manusia. Sama sekali tidak. Itu hanya imajinasi.

Tapi, saat Salwa menyebut bahwa aku juga pasien, bulu romaku meremang. Aku meneguk ludahku. Rasanya jadi berbeda.

Mengetahui aku salah satu pasien dari Bakal Manusia membuatku merasa seperti bisa melihat sisi tergelap dari diriku sendiri. Sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut 'paling dalam'.

Aku menjadi banyak bertanya pada Salwa. Mengenai tipe pasien seperti apa aku, mengenai Bakal Manusia seperti apa yang berada di sekitarku. Ini... seperti aku mulai mempercayai keberadaan mahluk yang bernama Bakal Manusia itu. Adanya kehidupan sebelum manusia terlahir dari rahim seorang ibu.

Aku merasa bagian yang kosong tidak benar-benar kosong. Seolah ada yang mengikuti jejakku dengan pijakan lain. Aku tidak benar-benar yakin dengan yang aku rasakan. Ini mungkin sebuah sindrom yang Salwa tularkan padaku. Kepercayaannya tentang makhluk yang tidak benar-benar ada.

Hingga di suatu minggu ketika aku hendak menyeberang.

Tubuhku berpijak di tanah, namun jiwaku seakan melayang di awang-awang. Sibuk berkonfrontasi dengan diriku yang lain. Sebuah Honda jaz merah melaju dengan ugal-ugalan. Tepat ketika itu sebuah suara memekik begitu nyaring, memanggil namaku.

Sontak aku tersadar dan menjauh dari jalan. Suara itu, aku seperti mengenalnya. Tapi aku tidak tahu siapa. Terasa begitu dekat namun tidak terjangkau. Kemana pun pandanganku menyapu, kepalaku mengubah sudut, tidak kutemukan asal suara. Hanya ada beberapa orang yang tengah sibuk dengan ponselnya, atau berbicara dengan temannya.

Misteri, kini aku terjebak dalam tanda tanyanya. Semakin jauh aku memalingkan wajah, semakin aku diperlihatkan dengan jelas.

*****

"Aku ingin bertemu dengan wanita itu, pertemukan aku dengan wanita itu!!!"

Seorang petugas berkata padaku, menyampaikan pesan Fahim.

"Kenapa orang itu ingin menemui Salwa?" Aku bertanya tidak mengerti. Petugas itu mengangkat bahu. "Aku ingin menjenguknya. Aku ingin tahu apa tujuannya mencari Salwa."

"Lebih baik berhati-hati. Emosinya akhir-akhiri ini sedang tidak stabil." Petugas yang berpangkat sebagai komandan mengingatkan. Aku pernah melihatnya berbicara dengan Salwa.

Fahim. Pria itu jauh lebih kurus dan pucat dibanding terakhir kali aku melihatnya. Tulang pipinya lebih menonjol, ada garis hitam tebal di bawah matanya. Tatapan matanya yang semula penuh kepercayaan diri, hari itu menyimpan keputus asaan yang dalam.

"Pertemukan aku dengan wanita itu!" katanya dengan suara serak ketika kami telah bertatap muka. "Aku mohon, pertemukan aku sekali saja," tambahnya.

"Enggak bisa," jawabku singkat dan jelas.

"Sekali saja, aku tidak akan melukainya, aku tidak akan mengancamnya." Fahim meminta, nyaris memelas.

"Tetap enggak bisa. Salwa sedang dalam masa pengobatan. Dia mengalami gangguan..." aku menghentikan kalimatku.

Fahim tampak terkejut, tidak lama kemudian menggebrak meja. Mungkin mengira aku sedang berbohong. Aku mulai menjaga jarak. Dua orang sipir yang tengah berjaga bersiap menggiring Fahim kembali ke selnya.

"Enggak mungkin... Enggak mungkin. Bagaimana bisa orang sesehat dia sedang dalam masa pengobatan. Bagaimana mungkin..."

Fahim sangat terpukul. Bola matanya mulai menunjukkan pendar kepanikan. Fahim mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya tepat saat kedua sipir telah berada di sisi kanan dan kirinya.

"Kalau begitu tanyakan bagaimana dia bisa tahu kalimat itu? Siapa yang memberitahukan kalimat yang seharusnya hanya kami yang tahu. Tanyakan... tanyakan!!" Fahim memekik semakin keras saat para sipir memaksanya meninggalkan ruang besuk.

Satu lagi. Satu lagi kebenaran yang Salwa sebutkan yang memperlihatkan keberadaan Bakal Manusia ditunjukkan tepat di depan mataku.

Salwa menceritakan dalam pengakuannya bagaimana dia bisa tahu kalimat yang sangat ampuh untuk mengguncang emosi Fahim ketika itu. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Mantra terkutuk bagi Fahim yang dibisikkan Zeis.</span>

Untuk lebih meyakinkan diriku sendiri, aku bahkan sempat berpikir untuk menemui perawat yang berada di pusat rehabilitasi tempat Salwa dirawat.

Eis. Salwa juga menyebutnya sebagai Bakal. Aku berencana menyemprotkannya dengan parfum yang sangat menyengat.

Salwa bilang Bakal Manusia tidak memiliki aroma tubuh. Walaupun bermandikan puluhan liter minyak wangi sekalipun. Aroma itu akan menghilang layaknya tidak pernah ada.

Tapi tidak! Itu konyol. Jika aku terus menuruti keingintahuanku, itu tidak akan ada habisnya. Bisa-bisa aku menjadi pasien selanjutnya menggantikan Salwa di pusat rehabilitasi.

Aku harus berhenti mencari tahu pada titik ini. Aku percaya bahwa ada hal-hal yang bersifat misteri dan jauh lebih baik jika tetap menjadi misteri. Ada sesuatu yang cukup hanya dipercayai bahwa itu ada tanpa harus melihatnya.

«[ 20150831 ]»

Terima kasih yang sudah menyempatkan untuk mampir dan membaca sampai habis.

Harusnya sudah selesai, karena belum bisa move on aku tambahin bab bonus tentang dunia Bakal Manusia.

Selamat membaca, semoga suka.

NurNurcreators' thoughts
Nächstes Kapitel