webnovel

#Bagian 7 : Initial K.

Iwata mulai serius memikirkan teka-teki mengenai inisial K yang dibaret di telapak pada setiap tangan korban kasus pembunuhan berantai Wolfsbane. Ia yakin pasti ada petunjuk penting dibalik huruf K.

Iwata memikirkan segala kemungkinan, namun tidak ada yang masuk akal dan hanya terkesan dibuat-buat. Berpikir semakin banyak, semakin ia merasa dangkal dengan pemikirannya sendiri yang terlalu asal-asalan.

Satu-satunya yang masuk akal hanya kata, 'Killer.'

"Jika begitu anggap saja itu eksekusi dari alam karena mereka telah melakukan kejahatan."

"Eh?" Kesibukan seluruh syaraf otak Iwata yang sedang berpikiran, teralihkan oleh kalimat Haikal yang tiba-tiba, yang sama sekali tidak ia mengerti apa maksudnya.

"Detektif swasta bilang seperti itu saat saya mengatakan hal yang sama seperti yang Huda sampaikan di kantor tadi. 'Karena sikap pengecutmu akan ada lebih banyak orang lagi yang menjadi tumbal.'" Haikal menjelaskan maksud ucapannya yang tiba-tiba. Menjelaskan kemana arah pembicaraan mereka sebenarnya.

Hening.

Kendaraan mereka baru saja melaju meninggalkan rumah kerabat seseorang yang saat ini masuk dalam daftar baru kasus mereka. Seseorang yang tengah coba mereka temukan keberadaannya. Yang memiliki kemungkinan besar menjadi benang merah penghubung kasus.

Ima Inayah 35 tahun. Seorang janda yang berkerja sebagai buruh pabrik. Ima memiliki seorang anak berumur 9 tahun yang dinyatakan lumpuh seumur hidup oleh pihak rumah sakit setelah jatuh dari beranda rumahnya.

Rumah Ima berada di sebuah rusun sederhanan 5 lantai. Ia hanya tinggal berdua dengan anaknya, sementara mantan suaminya sudah lama kabur dan membebankan banyak hutang kepada mereka.

Ima berhubungan dengan kasus pembunuhan berantai Wolfsbane karena korban pertama adalah orang yang menyebabkan anak Ima jatuh dari beranda rumahnya. Seseorang yang menjadi saksi kejadian itu kemudian melaporkannya.

Sayangnya pengadilan memutuskan bahwa kasus adalah kecelakaan sehingga pelaku tidak dihukum sebagaimana mestinya. Kasus yang Haikal yakin menjadi awal dimulainya pembunuhan berantai Wolfsbane.

Menghilangnya Ima setelah anaknya meninggal kemudian menjadi misteri.

Ima menghilang tiga bulan sebelum Suratman keluar dari penjara. Ada dugaan bahwa Ima membunuh anaknya sendiri dengan cara melepas selang yang membantunya bernafas.

Mungkin Ima merasa harus membebaskan anaknya dari penderitaan yang tidak ada habisnya. Atau hanya alasan yang dibuat-buat karena sebenarnya ia sendiri yang mulai lelah. Lelah berharap, lelah bertahan.

Hidupnya berat dan gaji dari pabrik tidak bisa diandalkan. Dengan semua itu ia harus bertahan demi anak yang sudah tidak memiliki harapan. Putus asa. Kesedihan dan semua yang ia kalkulasi, menciptakan pikiran pintas.

"Saya tahu semacam itulah pemikiran banyak orang saat tahu korban-korbannya adalah orang yang pernah melakukan tindak kejahatan." Haikal berkata lagi setelah berhasil memilih kalimat apa yang tepat untuk ia ucapkan. Setelah cukup merenung. "Mereka semua menilai tindakannya dan bukan pada nyawanya."

Masih tidak menanggapi. Iwata tidak tahu harus berkata dengan kalimat seperti apa.

"Saya melakukan kesalahan," Haikal berkata lagi.

"Apa?"

Kali ini Haikal beralih membuka pembahasan lain. "Kesalahan saya, seharusnya saya memikirkannya ribuan kali sebelum mengusulkan surat penahanan Sakhi," ujarnya dengan suara rendah, dalam.

"Semua orang pasti frustasi. Kasus yang kita tangani sudah memberi tekanan terlalu banyak." Iwata akhirnya menanggapi.

Iwata tidak bermaksud menghibur. Tapi kalimatnya memang terdengar menghibur. Begitu pun dengan yang Haikal pikirkan.

"Komandan Iryand yang menyetujui ide itu tanpa berpikir panjang, juga yang memberi izin mengeluarkan surat penangkapan. Semua orang. Kalau tidak, mungkin tim khusus tidak akan dibentuk," tambah Iwata.

Beberapa orang mungkin menganggap dibentuknya tim khusus sebagai harapan baru. Agar ada penanganan khusus yang hanya berfokus pada kasus pembunuhan yang sulit dipecahkan. Memang benar, meski tidak seluruhnya.

Mereka, para petugas di tim khusus yang paling mengerti situasinya dibanding banyak orang di luar sana. Tekanan yang besar, harapan yang menjulang, dan pemecahan yang tidak kunjung ditemukan jawabannya.

Seperti kata Iwata. Semua orang pasti sedang frustasi. Meski frustasi tapi tetap tidak ingin menyerah. Tidak boleh. Karena jika bahkan mereka ikut menyerah, siapa lagi yang bisa diharapkan.

"Turunkan saya sebelum lampu merah simpang empat. Ada tempat yang harus saya datangi." Iwata menunjuk trotoar.

"Oh, oke."

Tempat yang Iwata sebut harus ia didatangi berhubungan dengan janjinya pada Sakhi untuk menyampaikan pesan.

Hari semakin sore dan jalan-jalan semakin padat. Mereka bergegas pulang ke rumah. Para pekerja dengan bertumpuk rasa lelah di pundak mereka, anak-anak yang sudah puas bermain di luar, atau pun para ibu yang berkumpul dengan tetangga-tetangga di teras.

Panti Rumah Kami sudah semakin terlihat jelas dari kejauhan. Dari jarak 100 meter.

Pagar bercat hijau yang tidak terlalu tinggi mengelilingi halaman depannya yang luas. Beberapa anak sedang merapikan mainan di halaman. Dua anak laki-laki berumur 6 tahun dan seorang anak perempuan berumur 8 tahun. Ketiganya bekerja sama mengembalikan mainan yang berhambur ke dalam keranjang merah.

Seorang anak laki-laki tinggi, kurus melempar bola dengan iseng kepada temannya yang sedang serius mengumpulkan banyak mainan di tangannya –anak yang lebih kecil.

Bola yang dilempar tepat mengenai kening anak yang lebih kecil, mainan yang sudah dikumpulkan di tangannya pun jatuh dan kembali berhambur.

"Mbak Hana!!" Anak yang yang lebih kecil berteriak mengadu.

"Ibrahim!" Anak yang perempuan berteriak. "Nanti kubilangin Kak Hania, ya kamu ganggu Hendry terus."

Anak perempuan yang bernama Hana mengejar bola yang lewat di depannya sampai ke luar pagar.

Di sana, seseorang telah mendahuluinya, mengambil bola yang menggelinding di bawah kakinya. Iwata.

Melihat seseorang yang tidak dikenal membuat Hana otomatis mengaktifkan mode waspadanya. Orang asing. Jaga jarak.

"Ah! Bapak, polisi yang waktu itu bongkar-bongkar kamar Kak Sakhi, 'kan. Bapak orang yang bikin Kak Hania sedih!" Hana menemukan wajah Iwata dalam ingatannya yang masih tajam, diakhiri dengan tatapan sinis.

"Maaf, ya kalau sudah bikin Kak Hania sedih." Iwata tersenyum dan menyodorkan bola yang ada di tangannya pada Hana.

Tatapan Hana berubah menyelidik. "Terima kasih," katanya saat menerima bola.

Iwata ikut membantu ketiga anak merapikan mainan mereka. Ibrahim yang pada dasarnya memang anak yang jahil, melempar bola ke arah Iwata sesekali. Tanpa rasa takut. Meski tubuh Iwata jauh lebih besar dan lebih tinggi darinya.

Iwata menangkap lemparan bola Ibrahim beberapa kali dan sekali mengenai mata kirinya. Ibrahim dan Hendry yang tergelak bersamaan langsung diteriaki Hana.

"Nanti kulaporin Kak Hania, ya main-main terus!"

"Pelapor!" sungut Ibrahim.

Tidak hanya membantu merapikan manian yang terhambur di halaman, Iwata juga membawakan keranjang mainan masuk ke panti.

Selesai dengan ketiga anak itu, Iwata segera menyampaikan maksud kedatangannya. Menemui Kak Alan dan Kak Hania. Kedua tuan rumah menjamu Iwata dengan hangat, berkata dengan kalimat-kalimat ramah.

Tidak banyak yang bisa Iwata katakan, meski seperti itu ia meminta pada keluarga Sakhi untuk tidak khawatir. Mengatakan semua yang Sakhi minta disampaikan pada keluarganya tanpa kurang satu katapun. Titik, koma, dan bagian Sakhi mengambil nafas untuk memberi jeda juga Iwata tiru dengan sempurna.

"Sakhi sangat jarang menangis," Kak Hania berbicara. "Sejak masuk SMP sama sekali tidak pernah lagi terlihat sedih atau menangis. Sakhi menyembunyikan perasaannya dengan baik. Seorang diri." Suara Kak Hania bergetar.

Hening cukup lama menyerang sebelum akhirnya diisi suara azan magrib dari masjid yang berjarak paling dekat dari panti.

"Tolong segera tangkap pelakunya agar Sakhi bisa segera bebas, cepat pulang." Kak Hania memohon untuk terakhir kalinya sebelum Iwata benar-benar pergi.

"Jangan khawatir, kami pasti akan menangkap pelakunya," janji Iwata.

Sembari menunggu angkutan umum, Iwata menelpon orang tuanya. Kekeluargan yang ia rasakan di panti membuat rindunya pada ayah dan ibunya tidak terbendung pada titik ini.

Iwata sudah semakin jarang menghubungi orang tuanya yang tinggal terpisah sejak ditempatkan di tim khusus.

Beberapa kali ibunya pernah menelpon dan Iwata terlalu sibuk sehingga tidak sadar ada panggilan masuk. Ketika akan menelpon balik, ia sadar hari sudah terlalu larut.

Sebagai anak satu-satunya, Iwata sangat beruntung memiliki orang tua yang selalu memberi dukungan penuh terhadap pilihan hidupnya. Ekonomi keluarganya juga bukan berasal dari kalangan elit. Usaha mebel kecil-kecilan yang dibangun sang ayah adalah satu-satunya penopang ekonomi keluarga.

Setelah resmi masuk di kepolisian, Iwata telah dua kali berpindah tugas.

Sebelumnya Iwata di pernah tempatkan di kota kelahirannya, berharap akan bisa tinggal dalam waktu lama dengan orang tuanya. Tapi kemudian surat pindah tugas keluar lagi dan di sinilah ia sekarang. Terjebak tugas menangani kasus rumit pembunuhan berantai Wolfsbane.

***

Sama seperti sebelumnya, Sakhi diantar seorang sipir wanita memasuki ruang besuk. Hanya bedanya kali ini ada dua petugas yang menunggunya. Iwata dan Haikal.

"Ada seseorang yang bilang merasa bersalah," ucap Iwata tanpa memandang siapa pun. Tatapannya berkeliaran ke segala arah sembari bersiul pelan.

Sakhi duduk di depan keduanya.

Haikal yang merasa dipermalukan dengan kalimat yang baru Iwata ucapkan, mendelikinya dengan tajam. Bola matanya seperti akan melompat ke luar.

Tidak merasa takut atau terteror, Iwata hanya memasang wajah polos dan mengalihkan pandangannya ke langit-langit. Berpura-pura tidak mengerti. Siulannya terdengar semakin keras.

Sebenarnya Haikal tidak tahu kalau Iwata akan mengajaknya ke tahanan wanita sementara untuk menemui Sakhi.

Ketika Haikal baru tiba di kantor, Iwata sudah buru-buru menariknya untuk pergi menyelidik, katanya. Belum sempat Haikal bertanya mereka akan kemana, tahu-tahu mobil sudah berhenti di parkiran khusus pengunjung tahanan sementara.

Haikal yang duduk tepat di depan Sakhi menghela nafas. "Kami akan segera menangkap penjahat yang sebenarnya dan membebaskanmu secepatnya." Haikal berbicara canggung. Tidak seperti sebelumnya yang bisa berteriak dan membentak.

"Tidak ada permintaan maaf atau kalimat perasaan bersalah seperti yang kamu katakan pada saya. Kema..." –Buk.

Haikal menyikut dada Iwata. Cukup kuat untuk membuat mulut teman satu timnya yang menyebalkan terbungkam seketika.

"Ini bukan sesuatu yang bisa selesai dengan permintaan maaf, 'kan." Sakhi menanggapi. Berusaha mengerti. "Untuk benar-benar bisa bersih dan terbebas satu-satunya cara hanya dengan menangkap pelaku sebenarnya."

"Iya. Kami pasti akan segera menangkap pelakunya," ucap Haikal yakin. "Tidak lama lagi."

Situasi kembali kikuk ketika keduanya terdiam.

Di keheningan ruang besuk, tiba-tiba Sakhi tersenyum. "Maaf, saya teringat waktu seorang polisi masuk ke ruang introgasi, memelototi saya kemudian berkata, 'baik'." Sakhi berusaha mencairkan suasana. "Aneh saja. Seperti..." Sakhi tidak berani melanjutkan kalimatnya. Ia menahan senyum.

Ingatan Sakhi dibawa kembali ke saat ia masih dikurung di ruang introgasi. Melihat Iwata yang tiba-tiba masuk awalnya membuat terkejut dan takut. Spontan Sakhi menjaga jarak, waspada. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Sampai sebelum Iwata datang membesuk sebenarnya Saki masih tidak yakin dengan apa yang didengarnya ketika itu. semakin ia pikirkan semakin ia merasa ada yang salah pada pendengarannya.

"Seperti orang bodoh, iya, 'kan." Haikal menimpali cepat. Ini kesempatan untuknya melayangkan serangan balasan karena sebelumnya sudah membuatnya malu.

"Bodoh?!" Iwata meninggikan suaranya tidak terima.

Sakhi tertawa kecil.

"Bodoh, 'kan, Sakhi juga berpikir seperti itu, 'kan. Saya juga. Iwata memang sering begitu." Haikal cengengesan. Sangat menikmati saat-saat memojokkan temannya. "Dia pikir ini dalam drama-drama televisi yang akan terlihat keren dengan mengatakan itu. Tapi di dunia nyata bicara seperti itu justru terlihat konyol. Apaya..." pikirnya sesaat "Norak."

Dalam waktu singkat Haikal bisa menjadikan Sakhi sebagai sekutunya. Keduanya tergelak, menertawakan Iwata habis-habisan. Sangat berisik. Seandainya mereka bukan petugas dan ada pembesuk lain, mungkin sudah ditendang keluar oleh sipir penjaga.

Meski menahan diri dan hanya sesekali tertawa karena sengan, Sakhi juga menikmati candaan Haikal dan merasa tergelitik melihat ekspresi Iwata saat tidak bisa membalas. Saat menahan malu. Iwata terlihat sangat manis.

"Ah!" Sakhi teringat sesuatu. Hal penting yang telah semalam suntuk ia pikirkan sebelum akhirnya menyerah dan jatuh tertidur. "Bisa pinjam ponsel."

"Untuk apa?" Iwata bertanya namun ia tetap memberikan ponselnya sebelum mendapat jawaban. Ia percaya Sakhi tidak akan mengirim pesan rahasia atau melakukan kontak dengan orang-orang mencurigakan menggunakan ponselnya.

"Sebentar…" Sakhi meminta Iwata untuk membuka ponselnya yang dikunci.

Tangan Sakhi bergerak-gerak cepat di atas layar sentuh smartphone yang dipinjamnya, juga mengetikkan beberapa kata kunci untuk mulai melakukan pencarian.

Sembari menunggu hasil pencariannya keluar, Sakhi menceritakan sedikit hasil pemikirannya setelah kemarin mendengar dari Iwata gambaran singkat kasus yang secara langsung telah melibatkannya.

"Kamu menceritakan hasil penyelidikan pada orang luar?" Haikal tidak menyangka, menyalahkan tindakan Iwata yang seharusnya menyimpan hasil penyelidikan tim sebagai rahasia.

"Maaf."

"Sudah sejauh apa kamu ceritakan?" Haikal menuntut penjelasan.

"Lihat!" Sakhi memutus bisik-bisik dua petugas di depannya, yang sedikit-banyak bisa ia dengar inti pembahasannya.

Sakhi menyerahkan ponsel Iwata dan memperlihatkan hasil googling yang baru saja ia lakukan.

Haikal merapat, melihat apa yang ada di ponsel Iwata. Sebuah penelusuran mengenai inisial K. Bukan. Yang ditampilkan adalah bagian dari cerita sebuah komik Jepang.

"K... Kira? Apa maksudnya?" Haikal yang pertama kali bertanya.

"Tapi kenapa Kira?" Iwata menambahkan pertanyaan lain yang harus Sakhi jawab.

"Kalian tidak tahu Death Note?" Sakhi balik bertanya. "Ini sangat populer bukan hanya di negara asalnya. Ada serial komiknya, animenya, movie, dan tahun lalu serial doramanya juga dirilis," kata Sakhi antusias.

"Tapi apa hubungannya?" Iwata kembali bertanya.

"Darimana kamu tahu K itu Kira, siapa tahu cuma kebetulan berawalan huruf yang sama." Kali ini Haikal yang menambah daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh Sakhi.

"Jadi bapak-bapak polisi ini benar-benar tidak tahu, ya."

"Maaf saya belum terlalu tua untuk dipanggil bapak-bapak." Haikal mengintrupsi bagian yang tidak penting.

Sakhi mengubah duduknya, bersiap memberikan penjelasan.

"Karena korbanya adalah orang-orang yang memang pantas... ah," Sakhi menggeleng dan dengan cepat, meralat kalimatnya yang belum selesai diucapkan. "Maksud saya orang-orang yang pernah melakukan tindak kejahatan. Kira membunuh orang-orang melalui Death Note yang didapatkannya dari Shinigami. Dia sebut itu menghukum. Pokoknya, Kira membunuh orang-orang yang pernah melakukan tindak kejahatan. Inti utama yang menjadi kesamaan dengan kasus ini."

"Jadi... intinya pelakunya kemungkinan seorang Japanese freak." Iwata membuat kesimpulan sendiri yang lebih mudah ia pahami dibanding jalan cerita komik yang belum pernah ia sentuh sekali pun.

"Hm." Yang ditanya mengangguk.

"Apa-apaan ini." Iwata mengerang, mengacak-acak rambutnya yang memang sudah cukup panjang. Merasa kesal.

Hening.

Iwata dan Haikal tidak bereaksi lagi. Keduanya sedang berpikir, mempertimbangkan.

"Tapi ini tidak mungkin, 'kan?" Haikal meminta pendapat Iwata.

Iwata tidak langsung menjawab, balik menatap Haikal, "Iya, sepertinya mustahil."

Keduanya kemudian menatap Sakhi, mengharapkan jawaban lain. Sakhi mengangkat kedua bahunya bersamaan sebagai sebuah jawaban. Ia hanya menyampaikan hasil pemikirannya. Tugas selanjutnya terserah mereka berdua.

Kening-kening berkerut dalam. Otak-otak semakin dipaksa berpikir keras.

Death Note adalah komik bergenre supranatural suspense karya Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata. Telah diterbitkan sejak 2003.Tokoh utama sekaligus antagonisnya benama Light Yagami. Light adalah pembunuh yang menggunakan Death Note untuk menghabisi korbanya.

Awalnya Light hanya membunuh orang-orang yang melakukan kejahatan. Berambisi untuk menciptakan dunia baru tanpa kejahatan. Light mulai dipuja dan julukan Kira yang berasal dari kata killer pun muncul. Sehingga, siapapun yang coba menghalangi akan dibunuhnya. Siapapun. Bahkan pacar dan ayahnya. Light menyebutnya sebagai pengorbanan.

Beralih pada Iwata dan Haikal. Tujuan selanjutnya setelah meninggal lapas adalah mencari seorang pria bernama Prima. Orang yang dicurigai terkait dengan hilangnya Ima Inayah.

Seorang tetangga mengatakan, pria tidak dikenal pernah memasuki rumah Ima pada malam hari.

Pria tidak dikenal kemudian keluar dengan membawa tas besar yang berisi barang-barang Ima. Identitas si pria selanjutnya bisa diketahui karena wajahnya tertangkap CCTV tengah membeli beberapa keperluan di sebuah swalayan. Tepat beberapa menit setelahnya. Prima.

Tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan, Prima diminta memberi kesaksian secara sukarela. Haikal yang bertugas mengajukan pertanyaan, sementara Iwata mengaktifkan fungsi dirinya sebagai detektor.

Tidak ada yang mecurigakan, tidak ada yang ditutup-tutupi. Kesimpulan dari penglihatan Iwata mengatakan Prima jujur.

Sekembalinya ke kantor, Iwata dan Haikal meminta ketua tim dan Huda untuk berkumpul. Mengadakan rapat. Membahas perkembangan penyelidikan dari bahan-bahan yang telah mereka kumpulkan.

Haikal memulai membuka pembahasan lebih dulu. Ia menyampaikan perkembangan penyelidikan mengenai pencarian keberadaan Ima. Penyelidikan yang akhirnya berujung pada Prima.

Prima adalah teman laki-laki Ima. Usianya dua tahun lebih muda. Mereka sudah mulai dekat jauh sebelum anak Ima masuk rumah sakit.

Menurut pengakuan Prima, setelah anaknya meninggal, Ima datang padanya. Prima tidak yakin Ima membunuh anaknya, meski kemungkinan seperti itu ada. Ia mengakuinya karena melihat gelagat yang tidak biasa pada Ima.

Malam itu Ima datang ke rumahnya dengan tubuh gemetar dan tidak henti-hentinya menangis. Keduanya berencana memulai hidup baru dan meninggalkan kota.

"Padahal anaknya baru meninggal. Secepat itu?!" Huda memekik di sela-sela penjelasan Haikal.

Prima kemudian pergi ke rumah Ima untuk mengemasi barang-barangnya, sementara Ima tetap menunggu di rumah Prima sembari menenangkan diri. Tidak banyak barang yang Prima bawa karena memang sudah tidak ada lagi barang-barang berharga.

Setelah berkemas, Prima mampir ke swalayan untuk membeli beberapa keperluan. Termasuk obat-obatan dan makanan ringan. Mereka akan melakukan perjalanan jauh. Meski mendadak, semua rencana telah tersusun dengan baik.

Saat Prima kembali ke rumahnya, ia menemukan pintu rumah dalam keadaan terbuka dan ruangan tempat terakhir kali ia tinggalkan berantakan. Kekasihnya sudah tidak ada di tempatnya. Tidak ada dimana pun.

Awalnya Prima akan melaporkan hilangnya Ima ke kantor polisi tapi laporan mengenai orang hilang sudah lebih dulu masuk. Karena takut dicurigai jika sesuatu yang buruk tiba-tiba terjadi, Prima akhirnya memilih diam dan bersembunyi.

Menurut pengakuan Prima, itulah terakhir kalinya ia melihat Ima, tiga tahun yang lalu. Tidak ada keraguan dari nada bicaranya.

Nächstes Kapitel