webnovel

MORNING

Sadewa duduk pada sofa, mengamati Liffi yang masih tertidur lelap di atas kasur. Akal sehatnya masih membuat Sadewa bingung, seorang manusia bisa merubah dirinya, membangkitkan kekuatannya sampai ke titik paling tinggi. Transformasinya kini sempurna.

Sadewa sudah terjaga sejak subuh tadi, menghubungi packnya. Ia menceritakan pengalamannya bertarung dengan seorang werewolf dengan kekuatan yang berasal dari serum —yang sama dengan manusia serigala buatan. Sadewa menyuruh mereka menyelusuri sungai di sepanjang air terjun. Kini dia hanya tinggal menunggu hasilnya.

🎶 Trrriiinggg...

Nada dering telfon terdengar.

"Bagaiamana Emily?" Sadewa mengangkat telfon dari Emily.

"Sisa pertarungan Anda sudah dibereskan sehingga nampak seperti hasil badai semalam, Tuan."

"Lalu Serigala itu bagaimana? Apa kau menemukannya?"

"Saya sudah mengutus beberapa warrior untuk menyusuri hilir dan hulu sungai, Tuan. Tapi..."

"Tapi apa? Kalian tak menemukannya?"

"Menemukannya, Tuan. Tapi kepalanya sudah terpisah dengan tubuhnya."

"Siapa?"

"Ada aroma Black, Tuan. Mungkin dia yang membunuhnya."

"Naku?"

"Iya, Tuan."

"Baiklah, kau bawa dulu mayatnya pulang. Kita harus memeriksanya."

"Baik, Tuan."

"Ah, Naku lagi, Naku lagi ... kenapa sih kau selalu membunuh mereka?!" Sadewa frustasi, tak ada yang bisa ditanyai sekarang, kasusnya kembali mentok.

Sadewa terus mengusap dagunya untuk berpikir. Sebenarnya apa tujuan mereka? Untuk siapa mereka bekerja? Siapa Alpha mereka? Apa, Gin Ayahnya mengetahui sesuatu tentang mereka?

Tak berapa lama Sadewa melamunkan masalahnya, Liffi bangun, ia merenggangkan tubuhnya yang pegal. Matanya masih terlihat mengantuk, malam yang mendebarkan begitu menguras tenaganya.

"Kau sudah bangun?" Sadewa bangkit dan mengelus punggung Liffi.

Wajah Liffi berseri saat melihat Sadewa, bibirnya membentuk sabit, tersenyum hangat. Sadewa sangat menyukainya, ia langsung mengecup lembut bibir ranum itu.

Liffi melirik turun pada dada bidang Sadewa, tubuh sempurnanya membuat wajah Liffi merona. Oh semalam dia telah menyentuhnya, otot-otot abs dan lengannya yang kencang, ditambah dengan wajah tampannya itu.

Oh Jantungku berasa ingin meledak. Pikir Liffi, ia berusaha menyembunyikan ketertarikkannya pada Sadewa saat ini.

"Kenapa wajahmu merah? Kau sakit? Bagian mana?"

"Harusnya aku yang bertanya padamu tentang hal itu, Sadewa. Kau yang terluka parah semalam." Liffi bangkit dan meraba tubuh Sadewa, semua lukanya telah menutup tak berbekas.

"Waw!!!" Liffi kagum.

"Yes, thanks to you my love." Sadewa mengulum senyuman manis.

"Ah, aku lapar." Liffi memegang perut rampingnya, mengiba pada Sadewa.

"Ayo kita makan!!" Sadewa menggandeng Liffi bangkit.

Liffi duduk pada kursi kayu di teras belakang rumah Sadewa. Menikmati teh hangat yang baru saja diseduhkan oleh kekasihnya. Ia memandang sekeliling bangunan dengan kagum. Padang rumput membentang sangat luas, ditumbuhi oleh bunga-bunga liar berwarna kuning. Sungguh lukisan alam yang sangat indah.

"Ini toast dan sunny egg. Aku hanya bisa memasak ini." Sadewa memberikan sebuah piring pada Liffi.

"Wah, hebat!! Kelihatannya sangat enak." Liffi menelan ludahnya, tak sabar untuk segera menyicipinya.

"Bagaimana?"

"Enak sekali." Liffi menggigit rotinya lagi.

"Baguslah kalau kamu suka." Sadewa menyandarkan dagunya pada telapak tangan.

"Kau nggak makan?"

"Nggak. Nanti saja. Aku ingin memandang wajahmu lebih lama."

Bluuussshhh...

Rona merah langsung menyembur pada tulang pipi Liffi.

"Ahahaha.. a-apaan, sih.?" Liffi tak berani menatap mata Sadewa, takut kembali hanyut pada pesonanya.

"Hahaha." Sadewa tertawa geli.

"Hei, pemandangan di sini bagus sekali. Apa ini semua milikmu?"

"Yeah, aku membeli bukit dan hutan di sekitar sini, mungkin sekitar 50 hektar luasnya."

"Apa???! 50 hektar?"

"Iya, kami butuh tempat untuk latihan dan berburu."

"Kalian berburu?"

"Rusa, beruang, moose."

"For dinner???" Liffi sedikit ngeri.

"Hahahaha... yes for dinner."

"Owh." Liffi mulai mual. Membayangkan serigala memakan buruannya utuh-utuh.

"Cooked first, don't worry." Senyum Sadewa geli.

"Ah, aku kira kalian memakannya mentah-mentah!!" Liffi melemparkan pandangan sebal karena Sadewa menggodanya.

"Bisa sih, kalau terpaksa. Tapi aku lebih suka dipanggang terlebih dahulu."

"Kau tinggal di sini sendiri?"

"Yup. Aku kemari kalau sedang suntuk, karena pemandangannya sangat indah. Di utara tempat ini juga ada sebuah air terjun." Sadewa menunjuk jauh ke Utara.

"Waw!! Hahaha, orang kaya memang beda." Liffi menyeruput tehnya.

"Kalau sehari-hari bagaimana? Di mana kau tinggal?"

"Mansion keluarga West. Semua pack-ku berkumpul di sana. Ada Ayah-ku juga." Sadewa bangkit.

"Mau ke mana?"

"Apa kau tak mau menikmati indahnya pagi?" Sadewa mengulurkan tangannya.

"Mau." Liffi menyambut uluran tangan Sadewa.

Sadewa mengajak Liffi mengitari padang rumput yang membentang luas. Terlihat cantik dan begitu berkilauan, embun berubah menjadi butiran kristal air dan membasahi bunga-bunga. Bunga liar dengan dominasi warna kuning membuat perasaan Liffi menjadi semakin nyaman.

"Kau lelah?" Sadewa menghentikan langkah kakinya dan menyisir rambut Liffi ke belakang telingan. Angin lembut membuat rambutnya kacau.

"Tidak." Liffi bergeleng.

"Kita berjalan cukup jauh, aku takut kau kelelahan."

"Saat bersamamu aku tak pernah merasa lelah." Liffi tersenyum pada Sadewa.

Senyuman Liffi memang sebuah keindahan tersendiri di mata Sadewa. Ia begitu mencintai wanita ini sampai rela mati untuknya.

"Waaahhh." Liffi berlari sambil mengangkat lengannya. Menikmati hembusan angin pagi yang bercampur dengan hangatnya mentari. Menikmati hidupnya, setelah pertarungan semalam Liffi terus bersyukur dalam hatinya kalau dia masih boleh hidup sampai saat ini.

"Hei jangan berlari, Liffi. Nanti jatuh!!" seru Sadewa.

"Kau pikir aku anak kecil?" Liffi mencibirkan bibirnya sebal, ia masih berjalan mundur ke belakang dengan cepat.

"Ahh...!!" Liffi tersandung sebuah batu.

"Awas...!!" Dengan cepat Sadewa menangkap tubuh Liffi agar tak terjatuh.

"Kau tak apa kan, Sadewa?" Liffi memandang cemas, Sadewa kembali memberikan tubuhnya sebagai perisai untuknya.

"Kau membuatku kaget, Liffi!! Sudah ku bilang jangan berlarikan!!" Sadewa terlentang, Liffi masih menindih badannya.

"Maaf... aku terlalu gembira." Liffi terkikih.

"Kemarilah...!" Sadewa memeluk tubuh Liffi dan membuatnya ikut terlentang pada hamparan rumput hijau.

"Cuacanya sangat cerah, padahal semalam hujan deras."

"Iya, langit birunya menyilaukan." Liffi menyipitkan sedikit matanya, menahan agar sinar matahari tak terlalu menyilaukan pengelihatannya.

"Cantik."

"Apanya? Langitnya?"

"Dirimu, cantik." Sadewa menoleh, Liffi ikut menoleh, rona merah kembali menyemburat jelas pada wajahnya.

Sadewa menahan tubuhnya dengan lengan dan mencium bibir Liffi. Melumatnya lagi dan lagi. Liffi melingkarkan tangannya pada leher Sadewa, begitu manisnya setiap tetesan air yang tertukar di dalam mulut mereka.

Geliatan tubuh semakin jelas terasa saat hasrat dan gairah kembali memenuhi keduanya. Hamparan bunga yang melambai tertiup angin menjadi saksi bisu keindahan yang mereka rasakan.

"Ah, Sadewa!!" lirih Liffi panas di telinga Sadewa.

"Yes, I'm yours baby." Sadewa berbisik dan mencium lekat telinga Liffi.

Degupan jantung kembali menderu..

Peluh kembali menetes.

Gesekan kembali terasa panas dan perih.

Dan geliat cinta pun kembali terulang.

ooooOoooo

Nächstes Kapitel