webnovel

30. Kata Hati

Hujan menerpa bumi dengan sangat deras, membawa setitik harapan kehidupan bagi beberapa makhluk hidup.

Diantara puluhan orang yang berlari mencari perlindungan dari derasnya hujan, terdapat dua manusia yang berdiri ditengah hujan.

Suara petir manyambar begitu memekakan telinga, membuat Lily terkejut dan tersadar, bahwa Lily belum memaafkan manusia satu itu didepannya.

Lily terlalu dibuat kecewa olehnya, bahkan dengan alasan yang Lily tidak tau pasti. Lily berbalik, berniat mengambil arah berbeda.

Lily kira Angkasa akan berteriak, mencegahnya pergi. Namun saat Lily telah berjalan sedikit jauh, suara yang Lily harapkan tidak juga terdengar.

Tubuh Lily mulai menggigil, menengok kesana-kemari mencari tempat untuk berteduh. Lily berlari kearah halte yang berada di dekat taman, beberapa orang telah menduduki tempat duduk halte, terpaksa Lily berdiri disana.

Lily menggosok-gosokkan kedua tangannya dan menghembuskan nafas untuk menciptakan kehangatan.

Pandangan Lily mulai sedikit kabur, kepalanya mulai terasa berat. Sampai saat seorang anak kecil menarik-narik pakaiannya, mengembalikan kesadarannya.

"Ada apa dek?"

"Ini buat kakak." Lily menatap sekaleng minuman hangat yang diberikan anak kecil itu, kemudian menerimanya.

"Makasih ya dek." Lily membuka minuman itu, meneguk tetes demi tetes hingga membuat tubuhnya lebih menghangat.

"Minumannya dari siapa?"

"Dari kakak itu." Anak itu berlari kembali kepada ibunya yang duduk di halte itu.

Pandangan Lily beralih pada sosok Angkasa yang berjalan mendekat kearah halte. Tunggu, Lily tidak siap menerima sakit yang lebih dari ini. Hari ini sudah lebih dari cukup.

Angkasa semakin mendekat, Lily tak tahu harus bagaimana. Menerobos hujan? Oh, Lily sudah cukup basah dan kedinginan.

"Ly."

"Apa?!"

"Kenapa disini malem-malem gini?"

"Suka-suka gue lah."

"Gak bisa, aku anter pulang sekarang." Lily melepaskan tangan Angkasa yang hendak menariknya pergi dari sana.

"Gak mau! Jangan maksa!"

Angkasa menghela nafas, menarik lengan Lily dengan kuat hingga membuat Lily menubruk tubuhnya. Angkasa merangkul Lily, menuntun Lily berjalan pergi dari sana dan mengarahkan payung yang dibawanya pada Lily, membiarkan bahu sebelahnya kebasahan.

Kemana penolakan Lily yang terlihat keukeuh tadi? Sekarang Lily hanya bisa melangkah, mengikuti kemanapun Angkasa akan membawanya pergi.

Lily mendongak kesamping, menatap wajah yang sudah lama tidak ditatapnya dari sedekat ini. Rupanya Lily tidak bisa menipu hatinya yang telah merindukan Angkasa selama ini.

Angkasa mengeratkan rangkulannya, semakin membawa Lily mendekat. Membiarkan sebagian tubuhnya basah untuk memberi Lily sedikit kehangatan. Angkasa senang bisa mengikuti kata hatinya kali ini, bisa melihat wajah manis Lily dari dekat.

Mereka berjalan dibawah derasnya hujan, sesekali petir bergemuruh mereka akan semakin mendekat satu sama lain, mencari rasa aman.

Bahkan langit hitam itu, seolah membiarkan cahaya bulan menembus awan dan menyinari jalan malam ini.

*

Lily menyeruput coklat panas yang Angkasa siapkan untuk Lily. Badan Lily sudah segar, bahkan sudah berganti pakaian bersih milik Angkasa, kaos coklat bergambar beruang dan celana pendek. Huh, selera Angkasa ternyata masih seperti anak-anak.

Lily melihat ke sekeliling apartemen Angkasa. Untuk seukuran laki-laki apartemennya terlihat sangat rapi. Mungkin ada yang membersihkan apartemen ini setiap hari.

Setelah Angkasa menarik Lily pergi dari halte, Angkasa membawa Lily ke apartemennya, yang letaknya sedikit jauh dari sekolah atau pusat kota, jauh dipinggiran kota yang pemandangan sekitarnya masih sangat hijau.

Untuk apartemen di pinggiran kota, apartemen ini terlihat sangat mewah. Lily bisa langsung tahu saat memasuki lobby tadi.

Angkasa keluar dari kamar mandi dengan tampilan segar sama seperti Lily. Lily menatap Angkasa sambil sesekali menyeruput coklat panasnya.

Jika saja saat ini Lily lupa bahwa dirinya sedang marah kepada Angkasa, Lily akan sangat tergila-gila pada Angkasa yang tampan itu, rambutnya masih basah dengan kaos hitam polos. Lily ingin berlari memeluknya.

Lily! Sadarkan dirimu!

Lily memperhatikan kegiatan Angkasa yang menggosok-gosokan handuk ke kepalanya untuk mengeringkan rambutnya, kemudian meracik kopi dengan mesin kopi. Lily baru tahu, kalau Angkasa menyukai kopi racikan sendiri, bukan yang instan.

Dengan cepat Lily mengalihkan pandangannya pada gelas berisi coklat panas miliknya ketika Angkasa berbalik dan mengambil tempat didepannya.

Hening, canggung, seharusnya Lily tidak mengikuti Angkasa kesini. Kedinginan di pojokan halte, membayangkannya membuat bulu kuduk Lily berdiri, merinding kedinginan.

Lily buru-buru menyeruput coklat panasnya, mengembalikan kehangatan yang sempat memudar.

"Kenapa hampir tengah malem kamu gak pulang?"

Lily hampir tersedak, mendengar Angkasa berbicara. Lily hanya bisa terdiam menatap coklat panasnya yang hanya tersisa sedikit.

Lily tidak bisa menceritakan masalahnya karena tidak bisa lupa begitu saja, apa yang terjadi padanya dan Angkasa belakangan ini.

"Gak papa kok, makasih, habis ini aku pulang."

"Gak, kamu tidur sini malam ini. Udah malem, aku capek gak mau anter."

"Aku bisa pulang sendiri."

"Gak bisa. Kamu cewek."

"Terus aku tidur dimana? Kamarnya cuma ada satu kayaknya."

"Aku tidur sofa."

"Aku mau pulang, gak mau ngerepotin kamu."

"Aku bilang tidur sini!"

Lily tidak berani menatap Angkasa. Angkasa yang seperti ini benar-benar menyebalkan, Lily tidak akan berani melawan.

Dengan kesal Lily melangkah menuju kamar satu-satunya yang ada di apartemen ini. Menjatuhkan diri di ranjang besar itu, memberantakan tatanannya.

Biarkan sikap Lily dinilai kurang ajar atau tak tahu malu. Lily tidak peduli.

Angkasa memasuki kamarnya, mendapati Lily menutup matanya, tidak benar-benar tertidur. Angkasa tersenyum miring, jika dirinya tidak ingat telah menyakiti Lily akhir-akhir ini mungkin dia sudah dengan gemas mencubit hidung Lily.

Angkasa mendekat, membenarkan posisi selimut yang Lily gunakan. Andai Angkasa bisa menjelaskan alasannya bersama Sindi di cafe sore tadi, namun Angkasa tidak bisa, karena bukan hanya itu kesalahan yang diperbuatnya pada Lily.

Angkasa mengelus pelan kepala Lily, mencium kening Lily dengan lembut. Entah keberanian dari mana Angkasa dapatkan.

"Maafin aku ya Ly."

Angkasa bangkit, mematikan lampu kamarnya dan keluar dari sana. Angkasa menata bantal sofanya, kemudian tidur disana.

Menghidupkan tv-nya menonton acara malam, namun tak bertahan lama. Karena setelah itu rasa kantuk mulai menyerangnya. Membiarkan tv yang menontonnya.

Tiba-tiba rasa nyaman menyeruak pada matanya, seperti cahaya lampu dan tv telah lenyap. Merasakan dua tangan kurus memeluknya dan sebagian tubuh bawahnya menghangat.

Lily mengambil tempat di samping Angkasa, merebahkan dirinya di sofa sempit itu. Lily meringsek masuk kedalam pelukan Angkasa, menyembunyikan wajahnya di dada Angkasa. Menarik selimut yang di bawanya dari kamar Angkasa, menyelimuti kakinya dan Angkasa.

Lily memandang wajah tampan Angkasa yang sepertinya belum tidur sepenuhnya. Namun Lily tidak peduli, Lily butuh Angkasa saat ini.

Angkasa membuka matanya, tak bisa melihat raut kesedihan Lily yang sedang disembunyikannya, entah bagaimana Angkasa bisa mengetahuinya. Yang Angkasa tahu bahwa dirinyalah salah satu penyebab kesedihan Lily.

Angkasa tak bisa meminta Lily menceritakan apa yang baru saja dilaluinya setelah apa yang telah dilakukannya pada Lily. Mengabaikan Lily beberapa hari ini, jujur, sebenarnya itu sangatlah berat untuk dilakukan.

Angkasa hanya bisa membiarkan Lily melakukan apapun yang diinginkannya.

Lily terisak, mengeratkan pelukannya. Tolong biarkan Lily menyalurkan kesedihan ini, setidaknya sampai perasaannya menjadi lebih baik dan menjadi kuat untuk menghadapi hal lain esok hari.

Angkasa menaruh tangannya dibawah kepala Lily, untuk dipakai Lily sebagai bantal, sebelah tangannya lagi mengelus rambut pendek Lily. Menyalurkan ketenangan.

Mereka tidak berbicara secara lisan. Namun saat ini, hati mereka sedang berbicara. Meninggalkan ego mereka, membiarkan hati yang menuntun mereka.

Biarkan mereka berbicara tanpa ada suara. Biarkan mereka saling berbagi tanpa harus mengingat permasalahan mereka.

Terkadang hatipun, ingin dituruti sekali saja.

*

Nächstes Kapitel