Desi memasuki kamar anaknya yang sudah terlelap. Desi membenarkan posisi selimut Lily, kemudian mengelus-elus anaknya sayang.
"Maafin mama ya nak." Lily membuja matanya perlahan.
"Mama udah pulang?" Desi mengangguk sambil menahan tangisnya.
"Maafin mama, gara-gara mama kamu jadi seperti ini. Gara-gara mama terlalu sibuk kamu harus mengalami hal mengerikan itu nak. Mama fikir dengan bertahan bersama papa, kamu akan diperhatikan. Ternyata mama salah."
"Papa kamu malah menjadi sumber penderitaan baru buat kamu." Tambah Desi dengan air mata yang sudah tidak terbendung.
"Kalau mama sedih Lily juga ikut sedih. Lily gak apa-apa, kata dokter Lily cuma harus banyak bersabar supaya Lily gak cepat marah." Desi memeluk anaknya erat. "Lily gak apa-apa ma kalau mama mau pisah sama papa. Lily mau kita bahagia." Desi mengangguk antusias dalam pelukannya, sesekali mengelus rambut panjang anaknya.
Lily melepaskan pelukan mamanya kemudian menyeka air mata mamanya yang tak kunjung berhenti. "Ma, sejak kapan mama tahu papa selingkuh?"
"Saat kamu mengalami kejadian mengerikan itu, mama jadi lalai untuk jaga kamu dan Aster karena masalah papa selingkuh. Mama benar-benar menyesal mama gak ada disana saat kamu butuh Ly." Lily tersenyum, meyakinkan mamanya bahwa saat ini dirinya benar-benar sudah baik-baik saja.
"Mama udah makan?" Desi menggeleng lemah. "Makan dulu ma. Lily mau lanjut tidur."
Desi berjalan keluar menuruti anaknya, memberikan senyuman hangat sebelum akhirnya menutup pintu.
*
Desi menatap makanannya nanar. Sudah semenjak suaminya jarang berada dirumah dan anak pertamanya yang mengalami kejadian buruk, membuatnya tidak lagi bisa bersantai.
Desi tahu bahwa suaminya sudah lama selingkuh darinya. Desi bersikeras mempertahankan pernikahan ini demi kedua anaknya yang masih butuh sosok papa.
Desi tak tahu jika Lily akan mengetahui papanya berselingkuh dengan cara seperti itu. Apakah sudah saatnya mengakhiri hubungan dengan suaminya?
Desi bimbang. Padahal secara materi, Desi lebih dari cukup untuk membiayai kedua anaknya.
BRAK!
Desi terlonjak kaget mendengar suara pintu depan terbanting. Desi segera melihat siapa pelakunya. Itu suaminya. Suami yang sudah satu dekade tidak pernah menginjakkan kaki dirumah ini.
"Mas."
"Ini semua salah kamu Des, karena kamu gak mau ceraikan aku saat aku mulai mencintai orang lain dan sekarang aku dipecat gara-gara Lily yang mengira aku selingkuh." Desi terkekeh.
"Memang pantas dipecat dan kamu memang selingkuh dari awal." Arya menampar pipi Desi keras.
Jujur Desi masih mengharap suaminya kembali, tapi ternyata dia sudah tidak bisa mengharapkan apapun.
"Lily mana?"
"Kenapa?"
"Lily mana?!" Desi menahan tangan Arya agar tidak keatas, menemukan Lily.
"Kamu mau apa sama Lily? Ha?" Arya menghempaskan tangan istrinya dengan mudah, namun Desi tidak pantang menyerah menahan suaminya untuk menyakiti anaknya.
"Jangan, kumohon. Mental Lily sedang lelah. Kumohon pergilah. Aku akan tanda tangan surat cerai sekarang juga."
"Gak semudah itu." Arya mendorong Desi kuat hingga terjatuh.
"Apa salah kita?"
"Salah kamu, yang gak mau ceraikan aku dan sekarang seolah-olah aku yang jadi penjahat dimata anak-anak. Aku muak sama kalian."
Desi segera bangkit dan berlutut dikaki Arya. Memohon agar tidak melakukan apapun yang ada difikirannya. Seakan kasih sayang untuk keluarga yang telah menghilang sepenuhnya, Arya menendang tubuh Desi hingga Kepala Desi terkena meja dari kaca.
"Aster!" Desi memanggil anaknya disisa kekuatannya.
Aster segera keluar kamar, melihat mamanya sudah tergeletak dengan luka dikepala. Sedangkan papanya dengan langkah lebar menuju kearahnya, ke lantai dua.
"Kakakmu." Aster segera mencegah papanya masuk kekamar Lily, namun tenaga orang dewasa memanglah lebih kuat. Aster terjatuh saat papanya menarik tangannya kuat-kuat.
Aster melangkah cepat mendahului papanya yang sudah mendekati tempat tidur Lily.
"Pa, kak Lily barusan tidur. Kita bicara baik-baik besok pagi ya?" Tak mengindahkan perkataan anak lelakinya, Arya justru menarik kuat Aster dan menghantam Aster dengan benda keras membuat Aster terjatuh pingsan.
Arya menarik paksa Lily bangun dari tidurnya.
"Papa." Pandangan Lily masih buram, namun Lily bisa dengan jelas melihat Aster yang sudah tidak sadarkan diri di kamarnya.
"Papa apain Aster." Arya tidak menggubris dan menarik Lily keluar dan turun ke lantai satu. Lily terkejut melihat mamanya sudah tidak sadarkan diri dengan darah segar yang mengalir di dahinya.
Lily melepas cengkraman papanya dan menghampiri mamanya. Lily menangis melihat kondisi mamanya. Bagaimana bisa papanya tega melakukan ini.
Lily memeluk mamanya erat, memperhatikan luka yang didapat mamanya. Lily berharap hari-hari berat seperti ini segera berlalu.
"Papa seperti monster." Arya menarik Lily kasar. Melepaskan pelukan Lily pada mamanya.
Arya menarik Lily menuju dapur, mengambil pisau. Arya menarik separuh rambut anaknya dengan kuat.
"Lepas!" Tarikan yang lebih kuat Lily dapatkan. Tak menunggu waktu lama, Arya memangkas rambut anaknya yang panjang.
"Papa balas dendam ke aku cuma karena selingkuhan papa? Aku anak papa. Papa jahat banget sama kita. Apa gak ada sedikit rasa sayang yang tertinggal di hati papa?" Lily menangis, bukan karena rambutnya yang berantakan. Tapi karena melihat sikap kejam papanya padanya, mama dan Aster.
Tanpa ragu Arya mencekik leher anaknya tinggi-tinggi. Sekarang terjawab sudah, alasan papanya tidak pernah berada dirumah. Papanya benar-benar selingkuh dari mamanya. Lily sangat kecewa.
"Kamu yang monster. Kamu buat papa dipecat gara-gara video direstoran waktu itu." Buliran air mata membasahi pipi Lily, namun bibirnya tetap menyunggingkan sebuah senyuman miring.
"Bagus dong. Papa memang papa aku karena kita sama-sama monster." Arya menguatkan cekikannya pada leher Lily. Membuat Lily mulai tidak bisa bernafas, wajah Lily mulai memerah.
"Ini semua gara-gara mamamu yang gak mau ceraikan papa dengan alasan kamu yang masih sakit." Lily benar-benar kehabisan nafas sekarang, pandangannya mulai kabur.
"Tante!" Seseorang berteriak diluar dapur. Arya terkejut seketika melepaskan Lily dari cengkramannya, berlari cepat menuju pintu belakang yang ada didapur.
Lily terbatuk-batuk hebat, Lily kira dia akan mati muda. Lily menghirup oksigen sebanyak mungkin dengan cepat.
Lily berjalan keluar menuju ruang tamu dengan tubuh yang bergetar hebat. Rasanya Lily akan kehilangan kesadaran, namun Lily harus melihat kondisi mamanya dan Aster dulu.
Lily bertumpu pada dinding, melihat orang tua kak Sean dan beberapa warga sedang membantu mama Lily untuk segera dibawa kerumah sakit.
Sean yang menyadari kehadiran Lily segera menghampirinya. Hampir saja Lily limbung jika Sean tidak segera menangkapnya.
"Ly rambut kamu."
"Kak Sean, Aster ada dikamar aku." Sean langsung memberi aba-aba pada beberapa warga untuk menolong Aster. Sean membawa Lily duduk, kemudian Nyonya Ida memberikan Lily segelas air putih.
"Ly, kamu gak apa-apa? Aku denger keributan langsung kesini dan ternyata bener dugaan aku. Aku langsung panggil warga kesini."
"Aku gak apa-apa kak. Makasih udah nolong aku untuk yang kesekian kalinya."
"Kamu yakin Ly? Leher kamu lecet semua." Perkataan Sean membuat Lily sadar ada rasa perih menjalar disekitar lehernya. Mungkin tergores kuku papanya.
Lily menyingkap rambutnya yang tidak ikut terpotong. Lily meraba belakang lehernya yang perihnya luar biasa.
"Darah."