Lily berlarian di lorong rumah sakit. Beberapa pasang mata menatapnya aneh karena Lily hanya mengenakan piyama yang dibalut sweater.
"Ly tunggu, bicara dulu sama aku." Lily berhenti berlari, saat Doni menghentikannya. Lily masih memiliki rasa kemanusiaan kepada Doni yang barusaja terluka.
"Ly, maafin gue ya. Gue banyak salah sama lo. Tentang kemaren pas gue pukul lo. Gue minta maaf, gue merasa malu sebagai cowok yang mukul cewek. Juga foto itu gue bakal hapus. Gue janji. Gak bakal nyebarin foto itu." Doni merasa Lily tidak memperhatikannya, mengikuti arah mata Lily melihat Angkasa yang baru saja keluar dari ruangannya.
"Ly." Belum sempat Doni menahan tangan Lily. Lily sudah lebih dulu berlari menghampiri Angkasa dan memeluknya.
Doni rasa cukup sampai disini saja dirinya memperjuangkan Lily. Doni melihat, Angkasa lebih tepat untuk Lily.
Doni berlalu, membiarkan dua anak manusia melepaskan rasa satu sama lain.
*
Lily terduduk di kursi samping ranjang pasien Angkasa. Lily baru sadar penampilan bodohnya. Piyama dan sweater? Sudahlah, sudah terlanjur juga.
"Lo luka Sa. Duduk aja." Lily geram melihat Angkasa mengambilkan Lily sebotol air mineral dari kulkas kecil yang tersedia di kamar mewah itu.
"Lukanya cuma ditangan kok. Gak dikaki." Angkasa dengan bangga menunjukkan luka bakar ditangan kanannya yang dibalut perban.
Setelah memberikan air mineral pada Lily, Angkasa mengambil tempat seharusnya Ia berada. Duduk diranjang.
"Kok kamu khawatir sih Ly? Kamu suka ya sama aku? Sampe peluk gitu." Lily gelagapan tak tahu harus menjawab pertanyaan Angkasa bagaimana. Bisa-bisanya Angkasa membalik omongannya saat itu.
"Kan aku masih punya utang sama kamu, jadi kalau kamu mati, utang aku gak bisa lunas. Terus aku masuk neraka." Lily memberengut kesal, perkataannya malah jadi bomerangnya. Angkasa terkekeh melihat Lily kesal.
"Yang lukanya agak parah itu Doni. Kamu malah kesini?" Lily melipat tangannya, Angkasa benar-benar sangat menyebalkan saat ini.
"Yang lain pada satu ruangan. Kok kamu sendirian disini?" Lily berbalik bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Memang benar, Lily melihat beberapa anak dirawat di kamar yang sama, tapi Angkasa mendapat kamar mewah untuk dirinya sendiri.
"Sini deh." Lily menatap Angkasa aneh saat Angkasa menepuk-nepuk ranjang didekatnya, meminta Lily duduk disana. Kenapa juga Angkasa melepas penampilan culunnya saat masuk ruangan, membuat Lily ingin khilaf.
Lily duduk disamping ranjang, menghadap Angkasa malu-malu. Tanpa aba-aba Angkasa memeluk Lily. "Biar bisa gini."
Angkasa dalam penampilan manapun, mampu membuat Lily berdebar. Sampai sekarangpun Lily masih mempertanyakan alasan Angkasa selalu merubah penampilannya.
Lily melonggarkan pelukan Angkasa. "Cerita." Angkasa menatap Lily bingung. Cerita tentang apa? Kejadian kebakaran?
"Cerita kenapa kamu berpenampilan jelek disekolah?" Angkasa tertawa, jadi hanya itu yang dipikirkan Lily sedari tadi?
Angkasa menggeleng.
"Sebelum itu ceritakan dulu, bagaimana foto ini bisa ada?" Lily membulatkan matanya sempurna. Itu foto yang Doni tunjukan kepada Lily saat dikantin. Foto yang membuat Doni terkena tumpahan es teh.
Foto itu menunjukan dengan jelas, Doni yang berusaha memaksa Lily membuka seragamnya.
Lily bergetar hebat, traumanya kembali lagi. Lily kesulitan mengambil nafas. Angkasa yang terkejut akan reaksi Lily, cepat-cepat membuang foto itu.
Angkasa membawa Lily kembali kedalam pelukannya. Lily merasa sesak dan keringat dingin menghampirinya.
"Ly, tenang." Angkasa mengelus punggung Lily. Memberikan Lily rasa aman. Nafas Lily berangsur mambaik.
"Kamu gak perlu cerita, jika memang berat untukmu Ly. Aku akan dengarkan jika kamu sudah siap." Angkasa terus mengusap Lily, masih berusaha menenangkan Lily.
Lily melepaskan pelukan Angkasa. Lily menggeleng, Lily harus ceritakan sekarang. Atau cerita itu akan terus membekas sebagai luka dihatinya.
"Kamu tahu malam pertama kali kita bertemu?" Angkasa mengangguk.
"Sudah setahun sebelum malam itu Doni selalu mengejarku. Aku tolak berkali-kali. Hingga malam itu, aku gak tau kalau Yuli ninggalin aku setelah selesai kerja harian, dan Doni sudah ada disana buat nganter aku pulang. Karena udah malam aku ikut." Lily menghela nafasnya dengan berat. Angkasa masih menyimak dengan baik.
"Lalu, malam itu Doni membawaku ke rumahnya. Dia berusaha.." Nafas Lily tercekat. Lily tidak bisa mengambil nafas dengan lancar. Angkasa mengangguk paham, kembali memeluk Lily untuk menenangkannya.
"Sudah cukup. Aku paham. Kamu hebat, berhasil keluar dari masalah itu."
Angkasa akhirnya tahu penyebab Lily berjalan jauh malam itu. Penyebab Lily terlihat begitu berantakan malam itu.
Malam itu Angkasa melihat Lily berjalan, saat Angkasa hendak pulang kerumahnya dari gedung tempatnya bekerja. Yang membuat Angkasa tertarik adalah seragam yang dikenakan Lily, sama dengan seragam sekolah barunya.
Angkasa memutuskan mengikuti Lily berjalan jauh. Apa gadis ini tidak lelah? Apa gadis ini tidak memesan ojol saja? Ataukah gadis ini baru saja melewati hal yang buruk? Pikiran itu terus berputar di fikiran Angkasa.
Angkasa terus mengikuti Lily, sampai Lily berhenti depan gang gelap. Angkasa berniat menghampirinya untuk mengajaknya berjalan bersama, karena Lily terlihat ketakutan. Belum sempat Angkasa berbicara, Lily sudah melemparinya pasir.
"Berkat kamu, malam itu tidak lagi jadi malam yang menakutkan." Ucap Lily meyadarkan Angkasa dari pikirannya yang melayang, membayangkan malam itu.
Angkasa mencabut selang infusnya. Turun dari ranjangnya, membiarkan Lily yang sudah kehilangan kesadaran menempatinya.
Jika Lily sampai seperti ini, berarti ada kejadian lain yang membuatnya sangat trauma. Tak masalah bagi Angkasa jika Lily belum siap menceritakan yang lain, menurutnya Lily sudah cukup berani membuka diri dengan menceritakan masalah ini padanya.
Dengan Lily bercerita, Angkasa tahu Doni tidaklah berbohong. Jika Doni berbohong, entah apa lagi yang lebih buruk dari kematian untuk Doni.
*
Angkasa sedang menyusun formula bersama kelompoknya. Sambil memperhatikan penjelasan Bu Wahyu.
Saat semua anak dipersilahkan mencoba, tiba-tiba Doni duduk disamping Angkasa sambil menunjukkan foto. Yang membuat Angkasa terkejut adalah Lily ada di foto itu.
"Apa ini?"
"Apa lagi? Jelas banget kalau ini gue sama Lily. Jadi lo gak usah deketin Lily. Lily itu gampangan." Setelah mengatakan itu Doni kembali ketempatnya. Angkasa menggenggam gelas laboratorium yang terbuat dari kaca yang tebal. Jika Angkasa melempar gelas itu ke kepala Doni sekarang apakah salah?
Angkasa menemukan cara yang brilian. Angkasa sengaja menukar cairan yang seharusnya tidak digunakan dalam praktik ini, ketika Angkasa melewati meja Doni untuk maju kedepan.
"Bu saya mau izin ke toilet." Belum sempat Bu Wahyu menjawab Angkasa, sebuah ledakan kecil yang memercik api keluar.
Dalam sekejab api menjadi sangat besar. Jas lab bagian lengan Doni terbakar dan beberapa siswa lain juga ikut terkena api.
Membuat banyak siswa berhamburan lari keluar dan menimbulkan keributan satu sekolah. Luka Angkasa? Didapatkannya saat mencoba menolong Doni. Jika Angkasa ikut terluka tidak akan ada yang mencurigainya bukan? Bahwa Angkasa menukar cairan berbahaya tersebut.
*
Angkasa naik ke ambulance yang dinaiki Doni. Duduk disamping Doni berhadapan dengan perawat, begitu pintu ditutup ambulance berangkat.
Angkasa mendekatkan mulutnya ke telinga Doni yang sedikit mulai tidak sadar. Membisikan beberapa macam kata yang harus Doni cerna.
"Iya, aku bakal minta maaf sama Lily. Aku juga bakal hapus foto itu. Janji." Ucap Doni segera setelah Angkasa selesai dengan apa yang ingin dikatakannya pada Doni.
Tidak ada yang tahu apa yang dikatakan Angkasa kepada Doni, kecuali mereka berdua dan Tuhan.
Angkasa tersenyum kemenangan, melihat Doni pasrah dan tidak berdaya.
*
Lily keluar dari taksi diikuti oleh Angkasa. Lily mengamati daerah ini, sangat familiar bagi Lily.
Lily menengok kearah kanan. Lily melihat rumahnya berada disana.
"Ini rumah lo?" Angkasa hanya tersenyum miring, segera masuk ke rumah besar disamping rumahnya.
Setahu Lily rumah ini milik keluarga Sean, mahasiswa tampan salah satu pujaan hati Yuli, yang membuat Yuli betah main kerumahnya.
Lily mengikuti Angkasa masuk kedalam rumah itu. Lily terkejut melihat Sean yang sedang duduk santai di ruang tamu.
"Kak Sean!" Lily berhambur memeluk Sean. Angkasa melihat interaksi itu tidak suka.
"Kok udah pulang aja ih." Setahu Lily Sean ada tugas penelitian di Universitas luar negeri. Hebat memang. Sean menyentil dahi Lily.
"Udah dari kemaren tahu. Tadi juga Aster udah main kesini, tapi gak balik lagi tuh anak." Sean sudah seperti kakak bagi Lily, jangan salahkan Lily jika dirinya terlihat sangat dekat dengan Sean.
"Ada siapa Yan? Kok ribut amat?" Nyonya Ida keluar melihat keributan yang ditimbulkan Lily.
"Angkasa udah pulang nak?" Angkasa menyambut tangan Ibu dari Sean hangat. Lily mengerutkan dahinya bingung. Lily sudah mengenal Sean sedari kecil dan Sean adalah anak tunggal sampai sekarang. Tidak lucu kalau ternyata Angkasa adalah adik Sean.
"Astaga, tangan kamu gak apa-apa nak?" Nyonya Ida melihat tangan kiri Angkasa khawatir.
"Biasalah Bun. Pasti si Angkasa jahil lagi." Angkasa melempar tas berisi buku besar ke arah Sean dengan kekuatan penuh. Nyonya Ida menepuk bokong Angkasa gemas.
"Sok tahu." Angkasa masuk kekamarnya, berniat mengganti pakaian. Sudah dapat luka fisik sekarang Angkasa mendapat luka hati karena melihat Lily dekat dengan Sean.
"Kamu kok masuk bareng Angkasa Ly?" Tanya Sean tapi langsung menepuk dahinya. "Oh iya, kan kamu satu sekolah ya?"
"Tapi kok kamu pakai piyama?" Otak Sean memang cemerlang untuk keahliannya, tapi untuk hal seperti ini adalah nol besar.
"Iya Ly, kamu udah kenalan belum sama Angkasa?" Tambah Nyonya Ida.
"Udah Tan, disekolah. Tadi Lily gak berangkat, eh katanya ada kebakaran di sekolah. Lily nyusulin Angkasa deh." Lily mengikuti Nyonya Ida menyiapkan makanan untuk kedua anaknya.
"Udah deket nih berarti?" Nyonya Ida menaik-turunkan alisnya bersamaan. Menggoda Lily.
"Gitu deh. Oh iya tan, Angkasa itu siapa tante?" Bibirnya terlalu gatal untuk menunggu, mengetahuinya secara alami.
"Sepupu gue." Lily menatap malas Sean. "Gak tanya sama lo." Sean malah menjulurkan lidahnya. Untung ada emaknya.
"Angkasa itu anak kakaknya tante. Lagi dititipin disini. Biasalah Ly sibuk." Lily ber-oh ria, mengabaikan Sean yang menirukannya.
"Angkasa kok aneh sih tan? Kalau di sekolah penampilannya cupu, tapi pas gak ada anak-anak lain, kayak di rumah ganteng gitu?"
"Angkasa itu super model. Namanya Sky Flower. Cari aja, pasti ketemu." Kali ini Sean lagi yang menjawab. Nyonya Ida hanya bisa menggeleng saat anaknya selalu menyelanya saat akan berbicara.
"Bagus loh Ly. Itu berarti Angkasa mau membuka diri ke kamu." Saat Nyonya Ida akan melanjutkan kata-katanya, Angkasa datang dengan penampilan yang bersih.
Nyonya Ida meminta Lily memanggil Aster untuk makan bersama, karena memang Sean dan Angkasa baru pulang jam tiga sore ini jadi Nyonya Ida baru menyiapkan makanan sekarang.
Lily menolaknya, memilih pamit dengan fikiran berkelit bagai benang kusut. Lily beralasan dirumahnya pasti masih setia bertengger dua tamu, Yuli dan Rena.
Lebih baik Lily memanaskan makanan yang dimasak mamanya tadi pagi, mengajak adiknya dan kedua temannya makan.
Sedekat apapun kamu dengan seseorang. Tetap saja ada rahasia yang tidak bisa saling dibagi.