webnovel

The Richman - I Want to Know More about You Mr. Rich

Aku berjalan dengan kikuk, entah bagaimana harus bertingkah seolah-oleh seseorang sudah mengambil keperawananku sementara aku tidak mengalami hal apapun kecuali berbaring di sofa bersama dengan pria asing itu. Saat aku sedang berjalan dalam kebingunganku, tak sengaja aku berpapasan dengan Mss. Parrish. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kudeskripsikan, seperti setengah tak suka, lengkap dengan senyum yang dipaksakan.

"Richman sangat menyukai pelayananmu, dia memberikan bintang lima untuk pelayananmu." Katanya sambil berlalu dan aku merasa sangat bersalah pada pria yang entah siapa namanya itu, tapi yang kutahu Mss. Parrish menyebutnya dengan Richman.

Aku menyusuri lorong-lorong itu menuju ruang wardrobe untuk mengganti pakaianku dan melepas semua perhiasan yang kukenakan dibawah pengawasan petugas wardrobe. Jadi masing-masing pekerja akan keluar dan masuk dengan daftar pakaian yang sudah di inventarisir oleh petugas wardrobe, jadi kami keluar dari ruangan itu dan kembali ke ruangan itu semua yang kami pakai harus dikembalikan kecuali pakaian dalam. Kami akan mendapatkan sponsor pakaian dalam dengan brand-brand terkenal demi pelayanan yang memuaskan. Dan setiap kali kami "show" kami akan mendapatkan pakaian dalam dengan brand ternama.

Setiap pekerja hanya akan melakukan "Show " sekali dalam sehari, atau jika permintaan untuk "show" datang dari pelanggan VVIP menjadi pengecualian. Dan kurasa Richman termasuk dalam daftar pelanggan VVIP di tempat ini. Demi menjaga kerahasiaan pelanggan, identitasnya tidak akan disebutkan oleh agensi atau oleh pelanggan itu sendiri. Jadi masing-masing punya nama samaran di sini, dan sialnya wajah, suara, dan tatapan pria bernama Richman itu melekat di kepalaku seolah tak mau lepas.

"Anting, kalung, dua cincin." Petugs menginventarisir perhiasan yang kulucuti.

"Ok, sepatu." Dia memintaku melepas stiletto yang ku kenakan.

"Sekarang ganti pakaianmu diruang ganti." Katanya dan aku mengikuti perintahnya. Beberapa orang sepertiku masuk dengan rambut yang sudah berantakan, atau setidaknya tidak serapi saat mereka keluar dari ruangan ini bersamaku beberapa jam yang lalu. Beberapa meringis menahan nyeri entah disuatu tempat dimana, dan beberapa masih tampak sembab pasca menangis.

Aku hanya memperhatikan sekilas, dan berjalan menuju ruang ganti. Sudah ada beberapa gadis sedang berganti pakaian di sana, dan seorang yang sangat denganku bertanya.

"Show pertama?" Tanyanya dan aku mengangguk.

"Bagaimana rasanya?" Tanyanya dengan senyum yang sulit aku deskripsikan, seperti ingin tahu sekaligus meledek.

"Entahlah." Aku mengangkat bahu, apa yang bisa kukatakan? Aku bahkan tidak melakukan apapun selain mengobrol.

"Untuk harga satu juta dollar tentu kau harus melakukan atraksi sirkus yang diminta pelangganmu bukan?" Katanya sinis dan aku tahu sekarang, dia hanya iri padaku karena nilai tawar yang sangat besar itu. Jika aku mengatakan aku tidak melakukan apapun dia akan mengadukannya pada Mss. Parrish dan 10% itu akan melayang begitu saja karena agensi menganggap aku tidak bekerja jadi persentase itu tidak layak menjadi hakku.

"Aku permisi." Aku menyelesaikan mengganti pakaianku dengan cepat dan bergegas pergi.

"Lihatlah, dia bahkan bisa berjalan sedemikian cepat. Setahuku tidak ada pengalaman pertama yang nyaman, semua akan terasa nyeri." Cletuk seseorang dari kerumunan itu tapi aku tidak mempedulikannya. Ya seandainya benda asing itu sempat masuk kedalam diriku tentu aku akan meringis nyeri dan berjalan pelan-pelan karena pasti tidak akan nyaman, tapi aku tidak merasakan apapun karena pria itu tidak menyentuhku selain hanya menghapus air mataku saja. Sial!

***

Aku meninggalkan ruang wardrobe dan menuju ke kamarku, sebelumnya kamar yang berisi dua ranjang itu hanya kutempati sendiri. Tapi saat aku masuk ke dalam sana sudah ada seorang gadis yang usianya mungkin lebih tua dariku lima atau tujuh tahun tengah dudul dengan kaos oversize dan celana hotpant.

"Hai . . ." Aku sedikit terkejut melihatnya sedang merapikan alis, tapi dia tak tampak terkejut. Dia hanya menoleh sekilas kemudian melanjutkan aktifitasnya.

"Masuklah." Katanya.

"Aku Cristabell by the way." Aku memperkenalkan diri.

"Semua orang di agensi mengengal siapa dirimu." Dia meletakkan alat pencabut alisnya dan menatapku.

"Apa seburuk itu?" Tanyaku ragu.

Dia menyeringai lebar. "Richman tidak pernah berpaling pada gadis lain sebelum dirimu." Tandasnya.

"Maksudmu?"Aku semakin penasaran dengan pria bernama Richman ini. Jika dia memang pelanggan setia, lalu mengapa dia rela membayar sedemikian mahal untuk anak baru seperti diriku?

Sebelum menjelaskan, kulihat dia menghela nafas dalam. "Dia adalah pelanggan VVIP di agensi dan hanya tertarik pada satu wanita di sini." terangnya terpotong.

"Siapa wanita itu?" Tanyaku penasaran.

Sambarnya. "Gabrielle Zein."

"Aku belum pernah mendengar nama itu."

"Ya . . . dia adalah bintang di agensi dan karena prestasinya maka agensi mengijinkannya tinggal diapartment pribadinya dan hanya datang jika Richman menginginkannya. Beberapa bulan berjalan seperti itu sampai akhirnya Richman membuat kontrak dengan agency dan membayar sejumlah besar uang agar bisa bertemu dengan Gabrielle Zein, sesuai dengan waktu yang diinginkan oleh Richman."

Aku mengerucutkan bibirku, terdengar sedikit aneh tapi bagiku, semua hal yang berkaitan dengan pria misterius berjuluk Richman itu menjadi begitu berarti untuk dikulik lebih jauh. Mengapa dia menjanjikan pembebasan untukku jika dia sudah memiliki pilihannya sejak lama, wanita bernama Gabrielle Zein itu? "Apa yang terjadi kemudian?"

Dia mengangkat bahunya, "Entahlah, menurut rumors yang berkembang Gabrielle menginginkan lebih dan Richman memutuskan kontrak mereka secara sepihak. Bahkan setelah semua itu, Gabrielle Zein tak pernah lagi terlihat di agency."

Aku menautkan alisku. "Mengapa Gabrielle harus mengingkan lebih jika dia sudah memiliki hubungan sedemikian istimewa dengan Richman?" Gumamku lirih.

Dia tergelak. "Naif!" Katanya, sedikit kasar terdengar di telingaku, tapi itu benar. Apakah aku begitu naif hingga mempertanyakan hal itu padanya?

"Sifat asli manusia adalah penuh dengan rasa haus dan lapar, rakus. Bagaimana mungkin wanita seperti kita bisa melepaskan pria sesempurna Richman. Dia butuh kepastian, dia tidak ingin membagi Richman dengan siapapun, itu yang menjadikannya ingin hubungan yang lebih dengan pria itu. Richman adalah pria kaya raya, dia bisa menjanjikan kehidupan yang mewah seumur hidup Gabrielle. Dia juga tidak lagi harus melayani pria gendut, botak, jelek di agency, yang harus dia lakukan hanya menikmati bercinta dengan Richman."

Dadaku mendadak menjadi sesak, udara terasa semakin tipis setelah aku mendengar semua penjelasan yang menyakitkan itu, meskipun itu benar-benar masuk akal.

"Kau juga pernah berhubungan dengan Richman?" Aku bergidik, kemudian mengkoreksi pertanyaanku, karena entah mengapa tiba-tiba di dalam kepalaku terlintas bayangan gadis muda di hadapanku dan Richman sedang bercumbu.

"Kau gila apa? Tidak ada gadis lain yang pernah tidur dengan Richman selain Gabrielle!" Tandasnya tegas. "Dan kau,..." Imbunya ragu saat mengatakan kalimat terakhirnya.

"Mendengar kau menceritakan Gabrielle Zein, membuatku ingin tahu secantik apa dia. " Tanyaku dan gadis di hadapanku berjalan ke arah laci meja kecil miliknya kemudian mengambil ponselnya dan mengulak-alik isinya dengan menyentuh layarnya beberapa kali.

"Ini diambil awal tahun, dia yang memakai gaun berwarna silver itu." Tunjuknya dan aku melihat kesempurnaan dari tubuh gadis dalam foto itu. Kulit pucat, rambut hitam lebat dan panjang juga ditata dengan begitu sexy. Senyumnya lebar dengan bibir penuh, sepenuh dadanya yang membulat sempurna, sebagian menyembul dari sisi gaun berpotongan dada rendah itu.

Aku bertanya dalam hati, apa yang membuat Richman, pria yang mungkin usianya terpaut lebih dari sepuluh tahun denganku itu melakukan hal gila malam ini? Satu juta dollar tanpa menyentuhku? Jika ini soal kemiripanku dengan Gabrielle, kami jelas bagaikan bumi dan langit. Gabrielle terlihat tak tersentuh dengan kesempurnaannya dan aku pantas diinjak-injak dengan berbagai kekuranganku. Reflekku memegang dada kecilku, ini jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan milik Gabrielle yang begitu menantang, bulat dan penuh.

Gelak tawa gadis di hadapanku membuatku terseret dari lamunanku. "Oh ya . . . aku Amellia." Ujarnya memperkenalkan diri pada akhirnya. "Kau tidak perlu membandingkan dirimu dengan Gabrielle." Imbuhnya.

"Oh... aku hanya merasa dia begitu sempurna." Timpalku.

Dia mengerucutkan bibirnya. "Meskipun milikmu kecil, tapi tangan Ricman pernah menyentuhnya. Dan mulutnya pasti pernah mendarat di ujung payudara milikmu, untuk apa kau memikirkan dada Gabrielle Zein?" Selorohnya ditutup dengan gelak tawa.

Bagiku itu tidak lucu, justru membuatku bergidik merinding membayangkan bagaimana rasanya jika Richman benar-benar menyentuhku seperti yang dikatakan oleh Amellia.

Aku menghela nafas, kurasa Amellia bisa menjadi narasumber paling jujur untuk mengumpulkan banyak informasi soal Gabrielle Zein.

"Berapa usia Gabrielle?" Tanyaku mendadak, karena aku harus tahu apakah yang dikatakan Richman soal prinsip itu benar atau hanya bualan.

"Tiga puluh tahun, more or less." Jawab Amel singkat, dia juga tampak mengangkat bahunya, seolah mengukuhkan bahwa jawabannya itu bukan sebuah hal yang pasti.

"Tidak terlalu muda, tapi mengapa Richman memilih wanita seusianya jika banyak yang jauh lebih muda?" Tanyaku dan Amel justru tertawa geli.

"Entahlah, tapi semua hidung belang suka gadis muda yang masih sangat mudah dirobek." Tawanya lagi. "Richman memiliki selera yang unik mungkin." Imbunnya.

"Dirobek?" Tanyaku bingung dan Amel mengerutkan alisnya.

"Apa kau tidak robek?" Tanya Amel kemudian dan aku seperti baru saja tertampar, apanya yang robek? Aku tidak robek?

"Em . . . aku hanya tidak ingin membahasnya." Aku jelas tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu.

"Bagaimana Richman? Apa dia sangat perkasa?" Telisik Amel penasaran dan aku hanya bisa membual.

"Tentu saja . . . dia sangat bergairah." Jawabku penuh dengan kebohongan. Gairah apa yang ku bicarakan, dia bahkan tidak menyentuhku. Mungkin penyesalan terbesar dalam hidurp Richman adalah membuang satu juta dollar demi mengobrol dengan gadis ingusan cengeng yang memohon untuk disetubuhi.

"Jika Richman menyukai pelayananmu dia pasti akan kembali dalam waktu dekat. Biasanya begitu."

"Oh ya?" Aku menghela nafas dalam, dia jelas tidak akan pernah kembali untukku. Dia mungkin kembali, tapi untuk gadis lainnya.

"Amel, aku sedikit lelah. Aku akan mandi dan tidur kurasa."

"Tapi ini malam rabu, biasanya Mrs. Morrison akan berbaik hati pada gadis-gadis yang selesai bertugas, kita akan di ijinkan untuk datang ke klub malam dan berpesta, tentu saja dalam pengawasan orang-orangnya."

"Aku tidak berminat."

"Ok, mungkin kau merasa sedikit bersalah untuk apa yang baru saja terjadi. Itu normal untuk pengalaman pertama." Dia membesarkan hatiku dan aku mengangguk. Ini bukan soal pengalaman pertama, tapi rasa bersalahku karena aku tidak sempat merasakan keperkasaan Richman yang melegenda itu. Dia bahkan termasuk type setia karena tidak berganti-ganti pasangan meski banyak sekali penawaran. Ya meskipun pesona Gabrielle tentu saja tidak mudah di patahkan oleh gadis lainnya.

"Ok, aku akan pergi ke klub, ini jarang bisa kita nikmati. Beritahu aku jika kau berubah pikiran. Aku akan mendaftarkanmu dalam list."

"Tidak, terimakasih. Kurasa lebih baik aku tinggal dan istirahat."

"Mungkin kau masih merasakan sisa-sisa Richman di dalamtubuhmu ya?" Goda Amell dan itu menyakitkan, tapi aku hanya bisa tersenyum. Membohongi semua orang bahwa aku pernah merasakan keperkasaan Richman padahal tidak sama sekali. Aku hanya meraskan sisi kemanusiaannya dan bukan keperkasaannya.

Cerita ini untuk 18+ dan berharap kalian bijak dalam memilih bacaan yaaa. Semoga suka dan kasih bintang lima. Thank you

Queenerricreators' thoughts
Nächstes Kapitel