webnovel

Kemarahan

Kota Padang,

Aku sampai dirumah ini lagi. Aku melangkah lunglai masuk kedalam rumah, bukan karena lelah perjalanan, tapi karena ingat bagaimana awal bertemu nenek dan kakek. Masih rumah yang sama, tapi rasanya jauh berbeda karena sudah tidak ada mereka.

"Assalamu'alaikum" salam bang Aang sambil mengetuk pintu.

Beberapa kali mengetuk dan salam, belum ada satupun jawaban dari penghuni rumah. Mungkin masih tidur.

"Assalamu'alaikum" ucap bang Aang semakin mengencangkan suaranya.

"Ya. Waalaikum salam." Terdengar sahutan dari dalam. Itu adalah suara ayah, darahku berdesir kencang.

Suara pintu terbuka. Bang Aang langsung bersalaman dengannya, akupun ikut bersalaman mau bagaimana pun juga dia adalah ayahku. Namun untuk menatap wajahnya, aku tidak sanggup. Takut terbawa emosi.

Setelah masuk ke dalam rumah, aku berjalan menyusuri seluruh ruangan. Dapur tempat biasa nenek memasak, kamar mandi yang masih tidak beratap, kamar nenek yang terlihat rapi dan kosong. Aku masuk memandang ranjang nenek.

"Nimas, kau sudah makan?" tanya ayah.

"Sudah" jawabku singkat. "Boleh saya tidur disini?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.

Ayah terdiam. Aku masih tidak bergerak menunggu jawabannya. "Boleh saya tidur di kamar nenek?" tanyaku sekali lagi lalu berbalik menatapnya tajam.

"Ya" jawab ayah singkat menatapku penuh tanda tanya.

Sudah mendapatkan jawabannya, aku menutup pintu kamar. Pada saat itu ayah masih berdiri di sana. Setelah pintu tertutup aku terduduk di lantai, menangis dengan mulut yang tertutup rapat. Sakit, sedih. Perasaanku yang kecewa, hancur, dan kehilangan orang yang aku sayang.

*****

Keesokan harinya.

Pagi-pagi sekali aku bangun, aku baru ingat kalau ayah habis menikah kan? Dimana istri barunya? Seperti apa wajahnya? Tapi dari semalam aku datang kesini sama sekali belum melihatnya. Apa dia tidak tinggal disini...

"Tok... Tok... Tok... " Seseorang mengetuk pintu. Aku menoleh ke arah pintu tapi belum menjawabnya.

"Nimas, apa kau sudah bangun?"

Oh... Itu ayah. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke langit-langit kamar. Malas menjawab. Namun ayah langsung membuka pintu kamar.

"Kau sudah bangun? Ayah mau pergi keluar untuk sarapan, kau bersiap saja nanti jam 8 kita berangkat"

"Ya" jawabku singkat.

Aku bersiap, masih ada waktu, daripada menunggu di sini aku memutuskan untuk pergi ke tempat saung kakek dulu.

"Saya ijin jalan-jalan sebentar" pamitku pada ayah yang sedang duduk diruang tengah.

"Ya, tapi jangan jauh-jauh ya." jawab ayah.

Jalan kaki sambil menikmati suasana hutan yang masih basah karena embun. Setiap suara tetesannya membuatku tenang, aku menutup kepalaku dengan jamper yang aku kenakan. Akupun sampai di kedai kakek.

Ternyata kedai itu masih sama, aku memberanikan untuk mendekat dan bertanya.

"Permisi"

"Iya, silahkan kakak mau beli sesuatu?" tawar seorang wanita padaku. Ia mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Eum... Saya... "

"Oh, kau anaknya pak Yuti ya?" tebaknya.

"I... Iya. Saya... "

"Silahkan masuk. Mau minum apa kak?" tawarnya dengan sangat ramah. "Oh iya, saya istrinya Almarhum apak Arman. Setelah kakek dan nenek meninggal saya di amanahkan untuk menjaga kedai ini"

"Alhamdulillah" ucapku tersenyum. "Bibi, boleh saya minta ijin untuk main di kedai ini? Saya... "

"Silahkan. Anggap saja seperti milik sendiri. Mau minum apa? Biar bibi siapkan"

"Tidak bi, terimakasih. Nanti jika haus saya ambil sendiri"

"Baiklah" ucapnya tersenyum. "Kalau begitu, bibi bikin kopi dulu ya buat pelanggan. Jangan sungkan kau disini" ucapnya mengelus punggungku dan berlalu.

Aku berkeliling mengitari kedai, setiap detailnya aku teringat kakek dan nenek. Kadang aku tersenyum kadang juga menahan air mata. Kamar yang biasa ditiduri oleh kakek. Sesak rasanya, tapi aku mencoba ikhlas. Aku berjalan menuju halaman belakang, mataku tertuju pada sebuah tumpukan batu.

"Apa itu?" aku mendekati batu batu yang bertumpuk di bawah pohon rindang. Aku masih ingat, tempat ini adalah tempat favorit kakek untuk duduk santai disiang hari. Biasanya beliau istirahat disini setelah memotong kayu bakar.

Pelan pelan, satu persatu batu itu aku bongkar. Awalnya tidak ada yang aneh, tapi di batu terakhir yang aku angkat semakin terlihat apa yang ada di bawah batu itu. Aku mengamatinya sejenak pecahan benda putih yang bagiannya sudah hancur. "Apa ini?" aku menyentuh.

Sreeettt... Tubuhku terasa tersetrum hebat, disaat itulah aku melihat bayangan kakek yang memukul benda itu berkali-kali sampai hancur.

"Gangsing Tengkorak! " pekik ku langsung terpental mundur. Bergegas aku segera mengembalikan tumpukan batu seperti semula lalu pergi meninggalkan tempat itu.

"Loh kak. Ada apa kok ketakutan begitu?" tanya istri almarhum Arman.

"Tidak ada apa-apa bi, saya cuma harus segera pergi karena sudah ditunggu ayah"

"Tidak sarapan dulu?"

"Tidak Bi, terimakasih" jawabku tersenyum sambil berlalu.

"Kakek, meskipun kau gagal tapi kau tetap orang baik. Kau memutuskan untuk menghancurkan gangsing itu... Mungkin memang cara yang terbaik. Aku merindukanmu" bisikku dalam hati.

Aku berjalan lagi dan akhirnya sampai dirumah, disana sudah ada ayah, bang Aang dan apak Dek yang sudah menungguku di teras.

"Darimana?" tanyanya.

"Saung kakek." jawabku singkat. Ayah terdiam.

"Ya sudah, ayo kita pergi sarapan" ucapnya lalu menyalakan sepeda motor.

Kamipun pergi ke sebuah kedai makanan khas padang. Aku dibonceng ayah, dan bang Aang dibonceng apak Dek. Selama enam bulan aku tinggal di Pekanbaru, aku jadi bisa mengerti bahasa mereka. Setidaknya mengerti ucapan mereka meskipun kadang aku masih susah mengucapkan.

Sesampainya di kedai kamipun sarapan dengan menu masing-masing.

"Apa anakmu ini tau kalau kau sudah menikah lagi? " tanya apak Dek.

Ayah terdiam menatapku. Sedangkan aku pura-pura sibuk dengan sarapanku, meskipun sebenarnya dadaku serasa mau meledak.

"Sepertinya sudah" jawab ayah.

"Jelaskan saja alasan kenapa kau menikah. Gadis itu tidak akan waras jika tidak kau nikahi kan"

Aku terkejut dengan ucapan apak, aku berhenti mengunyah lalu menatap apak Dek tajam. "Apa?" tanyaku meminta kejelasan.

Sedangkan apak Dek terlihat terkejut ketika aku mengerti bahasa pembicaraan mereka.

"Nak... Maksudnya apak... "

"Jelaskan padaku, apa maksud dari gadis itu tidak akan waras jika tidak dinikahi oleh ayah?" tanyaku bernada tegas.

Apak terdiam, ayah terdiam, bang Aang menatapku seksama. "Biar ayah jelaskan nanti sekarang kita sarapan dulu"

"Saya sudah selesai" ucapku, pembicaraan itu membuatku hilang selera.

"Nimas!" Ucap ayah bernada tegas.

"Apa?!" jawabku juga tegas.

Ayah menghela nafas panjang menatapku kecewa. Aku sadar, mungkin dinilai aku sudah tidak sopan. Tapi disisi lain aku juga tidak sanggup menahan, apalagi jika harus berpura-pura manis dihadapan mereka yang jelas telah membohongi ku.

Aku dan ayah sampai dirumah terlebih dahulu. Aku lebih banyak menghindar dari ayah untuk mengalihkan perasaanku, motor sudah terparkir di halaman rumah, aku turun dan masuk kedalam.

"Sejak kapan kau bersikap tidak sopan pada ayah? Beginikah kelakuanmu Nimas?! " ucap ayah mulai kesal padaku.

Langkahku terhenti. Tanganku mengepal erat, bisa-bisanya ayah bertanya sejak kapan aku begini tanpa rasa bersalah.

"Sejak kapan? Sejak ayah membohongiku!" ucapku menatapnya tajam. Geram, marah, kecewa yang aku pendam dari beberapa hari ingin aku luapkan.

"Kau membawaku kemari apa tujuannya? Menyekolahkan aku kan!" aku mulai pembicaraan berbalik menatap ayah.

"Kau menitipkan aku ke kak Wiwin dengan alasan apa? Berusaha mencari biaya untuk aku sekolah kan! Disana aku sering lapar, disana aku dituduh, apa yang aku lakukan selalu salah dan jadi bahan sindiran. Apa kau peduli? Aku menunggu janjimu dengan cita-cita dan penuh harapan atapi apa yang aku dapat? KEBOHONGAN! OMONG KOSONG! Kau malah menyibukkan diri dengan menikahi gadis yang patutnya pantas menjadi anakmu!"

"DIAM! " bentak ayah mengangkat tangan kanannya. Aku agak terkejut dengan itu, ayah akan menamparku.

"Tampar" ucapku melangkah maju ke hadapannya. "TAMPAR KALAU MEMANG KAU MAU MENAMPARKU!"

Wajah ayah merah padam. Tapi tangannya mengepal lalu turun dan membuang muka.

"Jika ayah keberatan dengan keberadaanku, seharusnya bilang dari awal. Jangan membuat janji dan mengajakku ke sini."

"Kau tau kenapa ayah menikah lagi? Itu karena mamamu sudah tidak bisa menjadi istri yang baik. Harusnya kau bisa menilai dari sisi itu"

"Bukankah selama ini mama cukup bersabar menghadapi ayah? Mama berontak karena mungkin dia sudah tidak sanggup lagi dengan kelakuan ayah"

"Tau apa kau anak kecil! "

"Ya. Aku memang anak kecil. Tapi aku juga saksi dari kehidupan kalian."

Ayah terdiam. Saat itu juga apak Dek datang bersama dengan bang Aang. "Assalamu'alaikum"

"Waalaikum salam" jawab ayah.

Mereka ragu untuk masuk, mungkin tau saat itu suasananya sedang tidak enak. Apak memandangku. Aku mengusap air mata lalu membuang muka.

"Maaf kak, kalau aku ikut campur. Nimas, ada apa? " tanya apak dek.

"Jelaskan padaku pak, apa maksudnya ucapanmu tadi? Apa yang dinikahi ayah adalah seorang gadis yang tidak waras?" tanyaku menatapnya seksama.

"Ya, awalnya gadis itu menghina ayahmu. Kau tau kan, ayahmu orang terpandang disini. Beraninya dia menghina ayahmu! Dia gila, tidak waras karena perbuatannya sendiri. Dan demi membantunya sembuh ayahmu rela menikahi gadis itu, terbukti sekarang dia sudah lebih baik. Ayahmu menikahi gadis itu karena tujuan mulia!" jelas apak Dek dengan yakin.

Dari kejelasan itu bukannya membuatku meredam, tapi malah semakin membuatku terbakar. Sesuatu yang ada dalam diriku menyeruak keluar, tenagaku seperti bertambah berkali lipat. Suasana menjadi hening.

"Tujuan mulia? Hahahahahaha! " suara tawaku menggelegar di ruangan yang tiba-tiba terasa senyap. Bang Aang, ayah, apak, terkejut menatapku penuh tanya. Ayah yang tadinya diam terduduk kembali berdiri.

"Orang terpandang?! Hahahahaha." ucapku lagi terlihat apak Dek bergidik meraba tengkuknya.

"Nimas?!" tanya ayah merenyitkan alisnya. Menatapku seakan ia tidak mengenaliku.

Aku sadar saat itu. Sadar sepenuhnya, aku juga masih ingat dengan jelas. Hanya saja, mungkin karena emosiku sangat meluap maka dari itu aku terlihat berbeda. Cara bicaraku berbeda, bahkan suaraku terasa berat.

Nächstes Kapitel