webnovel

Amarah

"Nimas. Ada apa? " ucap kak Wiwin menatapku heran.

"Eum... Ga ada apa-apa Kak. Kak, apa tadi Kakak atau Uda pulang ke rumah? " tanyaku memastikan.

"Enggak. Dari tadi kami disini, ga ada yang pulang" ucap kak Wiwin yakin.

Berarti, yang aku lihat tadi.... Argh... Aku menyeka wajah dengan kedua tangan.

"Emang ada apa Nimas? " tanya Uda.

"Ga ada apa-apa kok Uda, aku kira salah satu dari kalian pulang tadi. Hehe"

Aku kembali menutup masalah ini, cukup aku saja yang tau. Melupakan kejadian barusan dan fokus dengan apa yang sekarang aku lakukan.

*****

Sekian bulan aku tinggal disini. Kak Wiwin yang tadinya baik, semakin lama semakin berbeda. Entah dia dapat hasutan dari siapa tapi kini perlakuannya padaku sangatlah berbeda jauh. Ga segan juga ia menghinaku dan berlaku sombong.

Waktu jagaku di kedai semakin panjang, dari pagi sampai jam 10 malam. Bahkan sering pulang jam 12 malam dan jam 6 pagi aku sudah disuruh ke kedai lagi. Setiap harinya aku cuma dikasih uang jajan 5000 rupiah, juga masih dituduh mencuri uang kedainya.

Jujur, aku tidak pernah mencuri uang kedainya, aku hanya mengambil 5rb rupiah sesuai jatahku. Kecuali jika roti, aku memang sering mengambilnya karena aku lapar. Karena kadang aku tidak memiliki waktu untuk sarapan, dan sering makan telat.

Aku mencoba menghubungi ayah menceritakan semuanya, tapi jawabannya selalu menyuruhku untuk sabar. Tidak ada kepastian kapan ayah akan menjemputku. Sampai di bulan yang ke enam aku tinggal disana, akhirnya Etek Jay (Adik ayah) datang mengunjungiku ke rumah kak Wiwin.

Seorang gadis datang ke arah kedai, wajahnya sudah tidak asing lagi seperti pernah bertemu dengannya. Semakin dekat ia berjalan ke arahku. Aku baru ingat kalau gadis itu anak pertama dari Etek Jay.

"Hay" Sapanya.

"Kakak? Sama siapa kesini? " tanyaku menatapnya seksama. Apa ayah juga datang? Aku harap ayahku datang.

"Aku datang sama Mama" jawabnya.

"Ayah? Apa ayahku juga datang? Aku menelponnya tapi dia sering sekali sibuk" tanyaku penuh harap.

Kakak terdiam, ia menatapku sejenak lalu tertunduk. "Ayahmu... Tidak ikut bersama kami"

"Kemana dia?" tanyaku bernada dingin.

"Nimas. Apak Yuti baru menikah, mungkin dia masih sibuk dengan urusannya"

"Menikah??? " bagai tersambar petir di siang bolong.

"A... Apa kamu belum tau? Ayahmu sudah menikah beberapa minggu lalu, bahkan dia dapat seorang gadis yang harusnya pantas menjadi kakakmu" ucapnya.

Mendengar kabar itu tubuhku langsung gemetar, nafasku sesak, tanganku mengepal erat.

"Nimas apa kau baik-baik saja? " ucapnya memegang pundakku.

Tidak ada suara lagi yang aku dengar. "Ayahmu sudah menikah beberapa minggu lalu, bahkan dia dapat seorang gadis yang harusnya pantas menjadi kakakmu" hanya itu yang terngiang di kepalaku. Terngiang, berdengung kencang sesuai detak jantungku.

"Nimas.... Nimas! " ucap anak etek Jay. Aku terus berjalan meninggalkan kedai, berjalan melintasi jalan raya tanpa alas kaki. Panas, perih yang menerjang kaki, tidak aku rasakan. Hati ini lebih sakit daripada kaki yang tertusuk kerikil atau serpihan beling.

Aku terus berjalan, ingin sekali rasanya berteriak. Beberapa kendaraan di sana membunyikan klakson dan mengerem mendadak karena aku melintas sembarangan. Aku tidak peduli, aku ingin segera bertemu etek Jay untuk menjelaskan padaku.

Pintu kontrakan kak Wiwin sudah terlihat, aku harap aku bisa mengendalikan amarahku.

"Braakkk!!! " suara pintu terbanting keras. Entah seberapa kuat aku menendangnya.

Etek dan kak Wiwin yang sedang berbincang langsung berdiri, terkejut melihat ke arahku. Juga Uda, ia terkejut lalu keluar dari kamarnya juga menatapku dengan mata ngantuknya.

"Dimana Ayahku" ucapku menggertakkan gigi dan bergetar.

"Nimas... Ayahmu. Tidak ikut bersama etek. Tapi... "

"Suruh dia datang kesini! Jemput aku! Aku mau pulang! " ucapku dengan keras memotong ucapannya.

"I... Iya. Etek akan menyampaikannya pada ayahmu. Nimas... Tenanglah... "

"Tenang? Aku bertanya tolong jawab dengan jujur etek Jay. Apa benar ayah sudah menikah lagi?" ucapku menatap tajam.

Etek meremat jemarinya dan tertunduk. Aku tidak tau apakah wajahku terlihat seperti monster sampai semuanya takut melihatku. "Jawab Tek" ucapku lemah.

"Iya" ucap etek membendung air matanya.

Cukup. hanya itu yang ingin aku mendengar. Aku melangkah mundur beberapa kali, setelah itu berlalu dengan perasaan yang hancur.

Menunggu disini dengan segala impian, aku dituduh, aku kelaparan, aku capek, demi menanti sebuah janji. Tapi semua hanya omong kosong. Katanya sedang berusaha keras supaya aku bisa sekolah lagi tapi semua hanya kebohongan belaka. Egois, Jika tidak niat kenapa dia memberi keluargaku sebuah janji manis yang berujung sakit seperti ini.

Aku terus berjalan menuju kedai, tapi langkahku mulai melemah. Aku kehilangan tenagaku. Di tepian jalan ada sebuah kedai yang tutup, aku duduk di sana lalu menangis sepuas puasnya. Melampiaskan segala emosi dan kekecewaan yang membuat sesak nafasku.

"Jika kamu mengetahui kebenaran tentang ayahmu kelak, tolong jaga emosimu Kakek tau kau anak yang cerdas, kuat dan pemberani. Bimbinglah keluargamu"

Suara kakek terngiang ditelinga. Tangisku terhenti, masih ingat dengan jelas kakek berkata seperti itu.

"Hah... Hahaha. Jadi inikah maksudmu Kek? Kau sebenarnya sudah tau kan? Tapi dengan rapih kalian semua menyembunyikannya dariku! " aku berbicara sendiri seperti orang gila. "Seperti tidak berdosa kalian mempermainkan permainan yang menjijikkan! Aku memang anak kecil tapi jangan kalian pikir aku tidak punya perasaan" tangisku kembali pecah.

*****

Keesokan harinya, aku tetap masih melakukan kegiatan seperti biasa. Menjaga kedai, membantu beres-beres, hanya saja aku lebih banyak diam. Kak Wiwin yang tadinya cerewet selalu menyuruh ini itu, selalu menyindirku sambil banting-banting barang juga ikut terdiam. Dia tidak berani memerintah seperti bos, kak Wiwin berubah menjadi ramah dan sungkan padaku.

Aku sudah muak dengan semua ini, terserah apa kata kak Wiwin, mulai hari ini aku tidak lagi pergi ke kedai. Aku ingin pulang.

"Aneh. Padahal hari ini banyak sekali orang, bus juga banyak yang turun di persimpangan. Tapi dagangan kita hanya laku beberapa saja" keluh uda pada istrinya.

Aku menyimak perbincangan mereka sambil mengemas barang-barangku.

"Masa sih? Dagangan kita hampir habis, tapi kok uangnya tidak bisa balik modal?" ucap kak Wiwin sambil menghitung uang hasil dagangannya. "Bagaimana ini? Kalau begini terus bisa bangkrut kita" ucapnya lagi.

"Yang sabar ya, semoga besok dagangan kita bisa laris lagi" ucap Uda dengan sabar.

"Iya, sabar sih sabar Tapi kan aneh" ucap kak Wiwin. "Nimas kau mau kemana?" tanya kak Wiwin sambil merenyitkan alisnya.

"Aku mau pulang" jawabku singkat.

"Tunggu kabar dari bapak dulu, tadi kakak sudah menghubungi bapak dan katanya Aang yang akan menjemputmu"

Aku hanya terdiam. Usai merapikan barang-barangku, aku kembali ke kamar untuk istirahat.

Oh iya, biar aku jelaskan lagi. Ayahku dengan istri pertamanya memiliki 7 anak. Bang Aang adalah anak ke 4 dari Almarhumah istri pertamanya ayah. Aku belum terlalu mengenalnya, tapi yang aku dengar bang Aang juga belajar tentang ilmu kebatinan. Sial.

Nächstes Kapitel