webnovel

Soto Ayam

Selamat membaca

°•°•°

Aneh, suasana SMA Devout masih lumayan sepi. Padahal bel tanda dimulainya proses belajar mengajar akan segera menggema ke penjuru sekolah. Saat aku menaruh tas di kelas tadi, Alin juga belum memunculkan diri. Kuputuskan untuk pergi ke perpustakaan karena di kelas XI ini, aku ingin berjuang lebih giat lagi dari sebelumnya. Tak ada salahnya untuk mengasah diri dan otak, kan?

Sesampainya aku di ruang penuh tatanan buku yang rapi ini, netraku mulai menjelajah dan mencari buku-buku penting di jurusanku seperti Kimia, Fisika, Biologi, dan terakhir aku tertarik dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi, sebelum kakiku benar-benar ke meja petugas, aku tertarik dengan satu buku yang berbau tentang kreativitas. Kuambil saja buku bercorak bentuk-bentuk garis dan pola tak beraturan itu.

Dengan semangat dan senyum cerah, aku melewati beberapa adik kelas, dan akhirnya sepatu tali yang kupakai ini membawaku ke kantin. Sepertinya perutku memang butuh gizi yang cukup pagi hari ini. Aku pun memutuskan untuk memesan roti isi dan air mineral saja. Itu sudah cukup.

"Terimakasih mbak Dea. Semoga hari ini sekolahnya lancar ya..." ucapnya begitu menerima uang dua puluh ribu yang barusan kusodorkan. Mungkin karena memang di jam saat ini kantin masih sepi, ibu kantin berinisiatif mengantar makanan. Beliau sudah berdiri di sampingku yang tengah duduk menunggu pesananku sampai.

"Iya Buk, sama-sama. Berkat saya kebetulan ada Ibuk, sampek sisa-sisa kayaknya..." kataku sembari melempar sedikit tawa. Tidak ada salahnya kan berbagi? Daripada uangku aku gunakan untuk foya-foya.

Si ibu memahami dan beliau merespon dengan anggukan serta senyum lebarnya. "Lancar juga ya hubungannya sama Mas Sean...."

Aku tahu kalau beliau mendoakan yang positif untuk hubunganku sama Sean, tapi beliau tidak tahu kalau kita berdua dekat bukan karena hubungan pacaran. Cuma aku yang merasakan ya kan? Dan aku sadar cintaku memang bertepuk sebelah tangan, haha. Yah, meskipun aku belum sempat menyatakan perasaanku secara langsung ke orang yang bersangkutan. Tapi bukti jadian antara Sean dengan Elisa sudah cukup memberikan jawaban bahwa aku memang sebatas teman, paling mentok sahabat sejalan.

"Aku sama dia temen doang Ibuk, lagian dia-nya kan udah punya pacar..." ujarku usai menatap beliau lagi. "...nggak enak nanti kalo didenger murid lain, Buk... Dikirain Dea gimana-gimana sama Sean."

Seketika itu juga, wanita berumur di sampingku membelalak tak percaya. Raut wajahnya berubah. "Ya ampun Mbak Dea, saya ndak tau... Maaf ya Mbak, Ibuk ndak tau."

Aku masih tersenyum, bahkan aku mengangguk berkali-kali karena merasa tak enak juga kalau melihat raut wajahnya yang seperti merasa bersalah. "Nggak papa, Buk... Dibawa santai aja... Ibuk kan emang nggak tau."

"Iya, Mbak. Ya udah, saya balik ke kerjaan lagi. Permisi Mbak Dea, sekali lagi saya minta maaf."

Lagi-lagi kuberikan senyuman seraya membalas "iya Buk... silahkan, semangat pagi ya, Buk!"

"Siap Mbak Dea." beliau lantas memutar tubuh dan berjalan cepat untuk ke tempatnya mengolah masakan. Apalagi di sana banyak juga yang mengantre di bilik beliau, kira-kira lebih dari lima siswa.

Lantas aku mulai menggigit roti isi buatan ibuk kantin yang biasa kusapa dengan Ibu Tin. Tapi jarang juga aku memanggilnya dengan sebutan itu, karena aku sudah terlanjur nyaman dengan memanggil beliau 'ibuk' dan begitupun dengan Sean yang ikut-ikutan aku saja. Sesekali aku mengecek jam tangan putih yang ada di tangan kiriku saat ini. "Aneh deh, jam segini kenapa belum dibel..." padahal lima menit lagi, jarum jam akan menunjukan pukul tujuh tepat. Sedangkan bel sekolah, seharusnya berbunyi tak lama kala aku keluar kelas untuk ke ruang perpustakaan tadi.

"DEAAA...!" aku menoleh dan mendapati Alin tengah berlari menuju lokasiku. "Huuuh... Aku cariin dari tadi!"

Aku jadi bingung dengan tingkah dan perkataannya. Perasaan, dia sendiri yang enggak dateng-dateng. "Kamu kenapa, Lin? Harusnya aku yang nyariin kamu." ucapku setelah mengunyah. "Ini juga belnya nggak bunyi-bunyi. Makanya aku makan di sini."

"Kamu nggak online sih! Jam pelajaran di kelas kita itu mulainya jam sembilan nanti."

"Loh, kok si Diya nggak bilang?"

"Mungkin kelasnya masuk seperti biasa."

Aku mendengus. "Tau gini mending di rumah aja. Berangkat sama kamu aja, kan..."

Alin geleng-geleng kepala. "Salah sendiri kamu enggak buka grup!" oke. Sabar, gini-gini aku juga salah. Tapi bisa kan wali kelas mengabari sebelum kita pulang sekolah kemarin? Dasar. "Kamu mikir apa?" Alin meraih botol mineralku sambil duduk dan kemudian meneguknya hingga setengah botol. "Jam pelajaran kita diundur, soalnya ada rapat dadakan. Katanya ada rapat yang dilibatin sama beberapa guru dari mapel tertentu, terus sama beberapa wali kelas dari kelas sepuluh sampek dua belas. Rapatnya dihadirin juga sama pemilik yayasan, jadi bukan kepala sekolah yang mimpin. Udah jelas? Intinya, rapat dadakan yang melibatkan banyak guru dan orang-orang penting. Paham?"

"Iya-iya, paham..." aku menggigit lagi roti isiku. Begitu makananku habis dan usai minum air mineral yang tinggal setengah, aku kembali menatap Alin yang malah sibuk membaca buku kreativitas pinjamanku. "Loh, kalo gitu kita pulang jam berapa, Lin?"

"Mungkin jam limaan. Aku juga enggak tau, enggak dikasih tau dan enggak ada yang nanya juga sih."

"Ya bener... sampek sore pasti..." aku menjentikan jari, ingat tugas. "Ah iya Lin, kemarin tugas kita juga belum selesai loh. Mau dikerjain nanti sore lagi nggak?"

"Aku terserah sih, tunggu saran cowok-cowok juga. Apalagi si Nino, dia kan boro-boro mau mikir." balasnya dengan raut muka kesal, lucu.

"Tapi kalo nanti sampek sore, mending kita tuntasin besok aja. Pengen istirahat dari tugas dulu aku... Kayaknya otakku butuh pencerahan." cengiran lebar kupastikan sudah terbingkai di wajahku.

Gadis berjepit putih itu menggeleng seraya mengangkat sudut bibirnya. "Kayaknya bukan cuma otakmu deh, De... Hati juga perlu."

Aku mendelik. "Jangan bahas di sini!"

"Eh, eh iya... Maaf, keceplosan. Tapi kan enggak nyebut nama." jawabnya tak enak dengan suara yang lebih pelan.

Aku mengangguk saja. "Lin... Ngomong-ngomong, warna jepitmu sama jam tanganku samaan ya... Aku baru ngeh."

Terlihat, arah mata Alin langsung jatuh ke pergelangan tangan kiriku. "Haha, iya juga. Padahal ini aku langsung asal ambil jepit loh... Gara-gara tau kalo kamu terakhir dilihatnya kemarin sore. Jadi aku buru-buru ke sini."

"Oh... Lah, terus kenapa kamu sampek lari-larian?"

"Pertama, aku takut di kelas, enggak tau kenapa aku merinding gitu... terus dari jauh aku udah liat kamu duduk di sini, ya udah aku samperin."

Aku terkikik, penakut sekali si polos itu. Padahal aku tadi di kelas bermenit-menit lamanya. "Alay kamu! Mana ada setan, perasaan kamu kalik!"

"Ya, mungkin." lirihnya dengan muka yang tak yakin.

"EH DI SINI...!" teriak laki-laki tak punya sopan santun dari arah samping kananku dan dari sebelah kiri Alin. "Dicariin Sean kalian... Kamu bawa laptop Lin?"

"Bukannya nyapa dulu malah dateng-dateng ngagetin!" protesku yang diangguki Alin.

"Ya, maaf... Sengaja. Jadi, bawa laptop gak si jepit?"

"Bawa." balas Alin singkat dan jelas.

"Ya udah." ucap Nino sembari berbalik. "Kuy ke kelas." langsung jalan dengan langkah lebar.

"Tengil memang." komentarku sambil mengangkut buku-buku, sedangkan Alin membawa botol minumku yang kosong. Mungkin akan dibuang di tong sampah nantinya.

"Sinting ples gila!" cibiran dari pemakai hiasan rambut pita itu tak mau kalah.

"Tapi Lin, mau-maunya si Nino nyariin kita. Disuruh Sean lagi...."

"Entah, mana aku tau."

"Eh, pasti karna kamu." ujarku yang sudah jalan di sampingnya.

"Ngarang!" bentaknya tepat menghadap ke wajahku dan langsung lari ninggalin aku. Tunggu, ada yang berwarna merah tadi. HAHAHA!!!

"Alin!!!" oke, karena sadar kalau kakiku lemah dalam berlari kencang, aku jalan santai aja... sendiri.

°•°•°

See You

God Bless You

Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan membaca dengan serius

Karena dukungan kalian sangat berarti :)

See You

God Bless You :*

kocakajacreators' thoughts
Nächstes Kapitel