webnovel

BAB I Desir Ombak Samudra Hindia

1629, Samudra Hindia.

Bersama suara deru ombak seorang anak laki-laki terpanah melihat kerumunan sirip ikan yang berrenang bebas di sebelah kapal mereka.

"Woah!! Apa itu ayah, apa itu!!"

Ayahnya yang melihat sang anak kegirangan, tersenyum ringan, lalu ia letakan kedua tangannya pada pinggang anak itu dan mengangkatnya di atas punggungnya.

"Bagaimana Edward, apakah sekarang sudah terlihat hewan apa itu?"

Tak menjawab, Edward terpanah pada hewan air yang berrenang bergerombol dengan indahnya di bawah permukaan lautan biru, yang gemerlapan terpantuli sinar matahari.

"Woah!!!"

"Hmm? Bagaimana... hebat bukan, lautan?"

Edward benar-benar terpanah dengan pemandangan yang ia lihat, seakan-akan pemandangan itu baru ia lihat untuk pertama kali. Padahal bagi Edward, pengalaman menaiki kapal laut sudah dua kali ia lakukan.

Sekitar setahun lalu, bersama kedua orang tuanya Edward berangkat dari kota megah Batavia setelah mendengar raungan mencekam sang salamander pada malam itu. Malam di mana kabar tentang sang gubernur jendral yang meninggal segera terkabar di seluruh kota.

Meninggalkan kota megah yang menyimpan kenangan mencekam. Edward dan kedua orang tuanya berlayar kembali ke Amsterdam, Belanda untuk urusan pekerjaan sang ayah dan tinggal di sana selama beberapa bulan.

Lalu tepat sekitar tiga bulan kemudian, ayah Edward yang berprofesi sebagai nahkoda mendapatkan berita dari salah satu kenalannya bahwa sebuah kapal baru dengan arsitektur indah telah dibangun dan siap berlayar. Yang mana kapal itu adalah kapal istimewa pesanan serikat dagang terbesar masa itu, dan bersamaan dengan kabar itu ia mendapatkan tiket untuk menaiki pelayaran perdana dari kapal baru tersebut bersama keluarganya.

Matahari bersinar terang di hadapan Edward dan sang ayah. Terserang sinar ultra violet, Edward pun menutupi matanya dengan salah satu lengannya.

"Akh!! turunkan aku, matahari sungguh menyilaukan ayah!"

"Wha ha ha, maaf-maaf ayah tak cepat menyadarinya!��

Selagi menurunkan Edward, tawa ringan sang ayah ternyata membuat Edward sedikit cemberut.

"Jangan tertawa!~"

Wajah Edward memerah di atas kedua lengan yang tersilang.

Sang ayah tersenyum melihat ekspresi lucu anaknya itu, namun ia berusaha menahan tawanya saat melihat wajah anaknya yang semakin memerah saat di perhatikan olehnya.

"Baiklah kalau begitu, untuk menebus kesalahan ayah yang telah tak sengaja menertawakan Edward, ayah akan kenalkan Edward pada seseorang yang hebat di kapal ini!"

Edward mulai memberikan perhatiannya pada sang ayah saat mendengar kata 'hebat' dalam ajakan sang ayah. Sungguh kesempatan yang langkah baginya, Edward kecil yang mengidolakan berbagai kisah kepahlawanan yang mana sang tokoh pahlawan dapat melakukan banyak hal hebat, membuatnya tertarik dengan kata hebat lebih dari apapun.

Mengagumi dan mencita-citakan kehebatan, baginya itu seakan-akan kesempatan berharga untuk mengenal dan mempelajari lebih, akan makna kehebatan yang sesungguhnya dari narasumbernya secara langsung.

Di samping wajah merahnya, mata Edward mulai berbinar saat menurunkan lengan yang menyilang dan mulai meraih tangan ayahnya yang kembali harus menahan tawa melihat ekspresi wajah Edward.

Berjalan mereka menapaki dek kayu kapal megah yang mereka tumpangi. Kapal baru yang merupakan pesanan istimewa dari perusahaan dagang terbesar di dunia saat itu, VOC.

Kapal kayu dengan lebar lebih dari seribu meter itu merupakan kapal besar yang mampu memuat seribu orang penumpang dan ratusan ton muatan di dalamnya. Berlayar dari Tanjung Harapan di Afrika Selatan, kapal itu mengambil jalur lurus untuk menuju kota tujuannya yang bernamakan sama dengan kapal tersebut, yaitu Batavia.

Perlahan menaiki dek kapal bersama sang ayah, Edward menolehkan pandanganya ke kiri dan ke kanan. Gaya khas arsitektur Napoleon melekat tegas pada dinding dan berbagai bagian dari kapal tersebut. Namun bagi Edward yang saat itu masih baru berumur tujuh tahun, segala yang ia lihat hanyalah seperti hiasan kayu yang sering ia temukan di kampung halamannya.

Lalu mereka sampai pada sebuah pintu kayu lebar dengan jendela kaca bundar yang posisinya jauh dari jangkauan tinggi badan Edward.

Dadanya berdegup kencang selagi senyumnya berseri.

Kemudian sang ayah mulai mendorong pintu itu.

Kreeeeeektt ... !!

Langit biru cerah membentang sejauh mata memandang, bersama dengan udara lautan yang asin tercium di hidung. Sebuah dek lebar terhapar di depan mata Edward. Dek lebar yang di penuhi puluhan kru kapal yang terlihat selalu sibuk akan sesuatu.

Berbinar matanya, Edward tak henti-hentinya terpesona dengan hal yang ada di depan matanya itu. "Sungguh hebat!!" pikirnya, berbagai pekerjaan terkait pelayaran kapal itu yang dilakukan sekaligus dalam suatu dek lebar oleh puluhan kru kapal yang bekerja berkesinambungan.

"Lihat Edward, hebat bukan para kru bekerja?"

"Woaaahh, aku tak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya ayah!!"

"Begitukah!! Begitu ya ha ha ha, baiklah kalau begitu sekarang ayah akan kenalkan kau pada seorang yang tak kalah hebatnya dari semua ini, seseorang yang memegang kendali atas seluruh kapal ini!"

Tangan sang ayah yang terangkat ke depan, seakan membukakan pandangannya pada sesosok pria paruh baya berjas ungu gelap di sana. Pria paruh baya yang sedang memegang sebuah kemudi logam berwarna perak selagi memandang ke hadapan lautan luas.

Bak melihat sebuah konser musik klasik yang di pimpin oleh seorang komposer. Mata Edward terkunci pada sosok seorang kapten, yang terus memberikan arahan pada awak kru di sekitarnya yang mondar-mandir membawa kertas dan pena mereka.

"Pelsaert!!"

Sang ayah melambaikan tangannya pada sosok itu.

"Hoo, Angel!! Kau menerima surat ku!!"

"Tentu saja, Pelsaert"

Keduanya tersenyum riang selagi berpeluk dan berjabat tangan.

"Bagaimana, apa kau menikmati pelayaran ini?"

"Luar biasa, rupanya kau berani juga mengambil jalur tengah di samudra lebar ini!!"

"Ha ha, tentu saja, dengan kapal sebesar ini!... Samudra Hindia pun, bukan apa-apa! bukan apa-apa!!"

Pelsaert mengulang kata itu, seakan pelayaran itu benar-benar pelayaran yang mudah.

"Hmm, begitukah wa ha ha ha!!"

Keduanya tertawa riang terhadap topik bahasan mereka, namun bagi Edward kedua orang di depannya terlihat sangat konyol karena tertawa tanpa alasan.

"Konyol ya, ha ha dasar mereka memang selalu seperti itu!"

Suara itu muncul dari samping Edward.

"Whaaa!!"

"Aha ha, aku mengagetkan mu ya, maaf-maaf. Perkenalkan, aku adalah wakil kapten dari kapal ini, J.J. Torrentias!"

Seorang pria muda berpakaian rapi dengan rambut lurus terkuncir ke belakang berdiri dari di samping Edward, selagi tersenyum di bawah kaca mata kotaknya.

"Oh jadi kau wakil kapten baru yang Pelsaert bicarakan itu!! kenalkan aku Angel D. Dekker, teman dari Pelsaert dan ini adalah anak ku Edward, ayo berikan salam mu Edward!"

Sapa sang ayah pada pria bernama Torrentias itu, dan Edward pun segera menyambung dengan salamnya yang polos.

"Salam, nama ku Edward, senang bertemu dengan kalian"

"Hoo ho, jadi kau Edward! Biar ku beri tahu Edward, dahulu aku dan ayah mu pernah bekerja sebagai kru kapal pada satu kapal yang sama, lho!!"

"Heee...., benarkah itu ayah!"

"Ya itu benar, ayah dan paman Pelsaert ini telah lama berteman!! Bukan begitu Pelsaert"

"Benar sekali, benar sekali wah ha ha ha ha"

Mereka tertawa bersama lagi, membuat Edward memiringkan kepalanya.

Pertemuan mereka itu pun berlangsung lama, mulai dari pembicaraan yang menurut Edward membosankan hingga berbagai hal luar biasa yang ditunjukan sang kapten pada Edward, yang membuatnya tak henti-hentinya takjub.

Jauh dari segala sesuatu yang telah ia temui, Edward belajar banyak hal dari sang kapten. Kehebatan yang ia cari selama ini, mungkin inilah saatnya ia temukan di sini. Demikian pemikiran Edward saat itu, lalu malam pun datang menjelang.

§

Kreeeek... kreeeek...

Kayu kapal yang di ombang-ambingkan ombak samudra terdengar, membangunkan Edward dari kasurnya. Kedua orang tuanya masih tertidur lelap di sampingnya, namun kantuk telah meninggalkan mata Edward.

Lilin di ruangan itu masih menyala dalam lentera kaca yang melekat di dinding kapal dengan suatu logam kuning. Edward pun mulai turun dari tempat tidurnya menuju pintu kamar.

Berjalan mendekati pintu, samar-samar Edward merasakan ada suatu suara. Rasa penasarannya pun tak mampu ia tahan, membuatnya mulai membuka pintu kamar yang gagangnya masih dalam jangkauan tinggi badannya.

Remang-remang lorong dek kapal itu Edward lewati, namun suara itu masih saja ia dengar mengelitik rasa ingin tahunya. Hingga sampailah ia pada pintu yang menghubungkannya menuju dek tengah kapal yang terhubung dengan langit malam terbuka.

Perlahan Edward membukanya, namun tak ada siapapun yang dapat ia lihat. Suara itu samar-samar pun mulai memudar, namun Edward masih ingat dari arah mana suara itu datang.

Edward pun mengikuti arah itu, berjalan melewati tong-tong dan kotak-kotak kayu di pinggiran dek, akhirnya ia sampai pada sebuah tangga yang dapat menghubungkannya menuju dek yang lebih rendah.

Ombak yang menggoyang sedikit membuatnya sulit berdiri, Edward pun terhenti. Namun tak lama kemudian ia segera menapakan kakinya lagi. Menapaki anak tangga satu persatu, bersama bunyi deritan kayu yang tergoyang ombak.

Hhheeesssshhh....

Sambil menoleh kearah embusan itu, Edward mengusap matanya di akhir anak tangga kayu itu.

Hhheesshhh....

Chapp!! Chapp!!

Ia mengusap matanya lagi, namun gelapnya malam masih tak mengijinkannya melihat sosok yang terlihat berdiri beberapa langkah di hadapannya.

Plap....

Kakinya yang melangkahkan satu langkah itu menginjak suatu cairan, kental dan sedikit lengket ia menarik lagi kakinya dengan keluhan "Ugh!!".

Keluhan yang cukup keras terdengar oleh sang sosok di depannya. Pandangan mata Edward pun segera bertemu, melihat langsung tatapan mata merah di atas gerigi tajam yang mengembuskan abab tipis.

RAARRRRGHHH!!!!

Monster yang memiliki tinggi dua kali lipat dari tinggi ayah Edward, dengan bulu lebat yang menutup tubuhnya. Ia mengaum selagi menggenggam mayat seorang wanita di tangan besarnya.

Bulan bersinar bulat.

Nächstes Kapitel