webnovel

37. Pandai Besi

Upacara hukuman mati telah usai sebelum matahari tepat berada di atas kepala. Para pejabat kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing sedangkan para tamu undangan diarahkan untuk beristirahat di kompleks Wisma Tamu. Sebagian lainnya memilih pulang ke tempat asalnya dengan alasan kesibukan. Masyarakat kota membubarkan diri. Pasar Kotaraja kini kembali dipadati orang-orang yang melakukan aktivitas seperti biasanya.

Di pasar Kotaraja, Senopati Citra Wayang sedang mengunjungi tempat pembuatan senjata. Dia didampingi oleh dua orang pengawal pribadinya. Pakaian dinas kerajaan beserta simbol-simbol kepangkatan serta Lencana Anugerah membaluti tubuh idealnya sehingga menambah kesan gagah bagi siapapun yang melihatnya. Citra Wayang dikenal sebagai Komandan Perang paling ramah terhadap rakyat jelata. Seringkali di sela-sela kegiatan perondaan, dia menyempatkan diri untuk menyambangi rumah-rumah penduduk untuk sekadar bertukar cerita. Umurnya masih muda, belum sampai menginjak 30 tahun. Kulit sawo matang dengan tatapan mata yang tajam, alis tebal, hidungnya mancung dan bersinar ketika terkena pantulan cahaya, bentuk dagu agak runcing dan bibirnya kemerahan tak pernah luput senyum ketika bersapa dengan masyarakat. Para gadis banyak yang mengaguminya, bahkan mereka menganggapnya lebih tampan dari Pangeran Mahkota.

Seorang pengrajin senjata alias 'Empu' tengah sibuk menempa besi-besi panas seraya membakarnya secara berulang-ulang. Dengan penuh perhitungan dia mampu dengan perkasa melakukan pekerjaan berat itu meskipun umurnya sudah hampir menginjak setengah abad. Ada dua orang pekerja yang membantunya dalam menciptakan senjata. Satu orang bertugas sebagai pemompa bara api, seorang lagi bertugas sebagai tukang ukir. Kedatangan Senopati membuat Sang Empu terkejut dan sedikit kikuk. Spontan saja ia menghentikan kegiatannya itu sejenak untuk memberi hormat kepada Sang Komandan Perang Muda itu.

"Gusti Senopati...!" sapa Sang Empu.

"Bagaimana kabarmu, Empu Margi?" ucap Senopati.

"Baik, Gusti...!"

"Syukurlah kalau begitu, silakan lanjutkan pekerjaanmu...!"

"Laksanakan, Gusti...!" Empu Margi kembali melanjutkan pekerjaannya menempa besi panas yang hendak dijadikannya sebilah keris. Senopati melihat-lihat sekeliling sambil sesekali memegangi beberapa hasil karya Sang Empu. Ada banyak senjata ciptaan Empu Margi yang terpajang di tempat itu diantaranya ada Pedang, Keris, Celurit, Kujang, Pisau, Golok, Cakra, Bumerang, dan Kapak.

"Sampeyan tahu, Empu? Pekerjaan seorang pembuat senjata itu memiliki pengaruh besar dalam percaturan dunia," ujar Senopati sembari mengelus-elus keris yang dia perhatikan.

"Benar, Gusti," ucap Empu Margi. "Dari tangan hambalah tercipta benda yang menambah kekuatan si pemakainya, terutama bagi para prajurit dan perwira. Yah meskipun sebagian besarnya hanya senjata biasa yang kopong tanpa diberi kekeramatan apa-apa."

"Kalau begitu sampeyan pantas berbangga diri karena punya andil dalam kewibawaan Kerajaan Galuh, Empu."

"Entahlah, Gusti. Terkadang hamba sering mengalami perang batin di dalam diri hamba. Seringkali seolah merasa sedang mengabdi kepada keegoisan. Sebab dimana-mana buah karya hamba digunakan untuk menyakiti, menganiaya, juga membunuh."

"Itu bukan sepenuhnya salahmu, Empu." Senopati Citra Wayang meletakan keris yang semula dipegangnya kemudian menepuk pundak Empu Margi. "Lihatlah kedamaian ini, tidak perlu sampeyan mencoba memahami, tetapi cobalah rasakan."

Senopati mencoba mengajak Empu Margi untuk memperhatikan suasana pasar yang ramai dimana banyak orang berlalu lalang, diantaranya para wanita yang memanggul wakul, seorang pria tua yang memikul kendi dan gerabah terbuat dari tanah, gerobak berisi hasil pertanian yang ditarik oleh dua ekor sapi, dan beberapa warga berlalulalang menyibukan diri.

"Iya Gusti, tentu kedamaian ini tercipta dari banyaknya perjuangan keringat dan darah, hamba sangat mensyukuri anugerah ini."

"Kalau begitu tidak ada alasan bagi sampeyan untuk merasa bersalah, sebab nilai benar dan salahnya pertempuran bukan diukur dari senjata yang dia gunakan, tetapi dari niat dan tujuan si pemegangnya."

"Iya, Gusti. Terima kasih sudah memberikan petuah kepada hamba."

"Tidak, Empu. Ini bukan petuah, karena tidak elok aku menasehati orang yang umurnya lebih tua dariku. Ini hanya usahaku untuk mencoba membuatmu merasa tenang."

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dari arah seberang jalan. Semua pengunjung pasar berlarian, sebagian berteriak histeris karena ketakutan. Asap putih menyebar dari pusat ledakan sehingga mengurangi jarak pandang. Ditambah debu-debu semakin tak karuan beterbangan dihasilkan oleh langkah kaki dari banyaknya warga yang panik berlarian menyelamatkan diri.

Empu Margi pun terbatuk-batuk karena debu dan asap dari ledakan menyebar begitu cepat memasuki tempat kerjanya. Senopati Citra Wayang mencoba mencabut pedang dari sarungnya, diikuti oleh dua orang pengawal pribadinya melakukan hal yang sama. Suasana yang semula damai berubah menjadi serba tidak karuan.

Tatkala asap mulai menipis, terlihatlah beberapa kios dan toko sudah porak poranda. Ledakan besar itu telah menghancurkan sebagian besar bangunan pasar. Tidak ada korban jiwa, tetapi tiba-tiba seseorang muncul dengan penampilan serba semrawut, rambut acak-acakan, muka cemang-cemong, serta pakaian yang compang-camping. Dia tampil seorang diri terlihat menunjukan ekspresi marah.

Salah seorang prajurit penjaga menghampirinya, "Siapa kamu? Berani-beraninya membuat kerusuhan di Kotaraja...!" kata seorang prajurit.

"Mana panglima mu? Suruh dia kesini untuk melawanku!"

"Orang Gendheng...! Lancang sekali mulutmu...!"

Pria berpenampilan seperti orang gila itu langsung menyerang prajurit hingga merobohkannya. Tiba-tiba datang satu kompi prajurit lain hendak mengeroyoknya. Ditusukannya beberapa tombak dan pedang ke arah si pria gila. Namun, dengan mudah orang gila itu mementahkan seluruh serangan dari para prajurit.

Jayendra yang kebetulan berada di tempat itu datang untuk menghentikan kekacauan.

Dengan sigap dia mendaratkan lompatannya tepat di depan si pria gila.

"Aku bukan orang yang suka ikut campur, tetapi kamu telah membuat kerusuhan di tempat orang-orang kecil mencari makan. Apa mau mu?" tanya Jayendra melotot.

"Aku ingin menemui punggawa kerajaan yang telah menangkap dan membunuh separuh anak buahku di Lembah Gampit."

"Jadi kamu yang namanya Ki Menyawak? Pantas saja kelakuanmu bringasan seperti biawak...!" seru Jayendra. "Jangan bermimpi menghadapi para punggawa istana, hadapi dulu aku...!"

Orang berpenampilan gila yang ternyata adalah Ki Menyawak itu, langsung menghunuskan pedang ke arah Jayendra. Dengan cekatan Jayendra menghindari setiap serangan yang diterimanya. Murid dari Sutaredja itu bukanlah lawan yang sebanding. Meskipun Ki Menyawak merupakan seorang kepala rampok, tetapi kapasitas ilmu kanuragan yang dimilikinya masih jauh lebih cetek dibanding kesaktian Jayendra. Pada pertarungan ini, Jayendra bahkan tidak sampai menggunakan separuh ilmunya. Hanya jurus-jurus kecil dan gerakan pertahanan diri tingkat sedang yang dia pakai.

Pertarungan itu ditonton oleh banyak masyarakat yang berada di Pasar Kotaraja. Termasuk Senopati Citra Wayang yang sedari tadi memperhatikan.

"Pengawal, kau kenal siapa pria itu?" tanya Senopati kepada pengawal pribadinya.

"Yang mana, Gusti? Kalau pria berpakaian pendekar itu namanya Jayendra, murid dari Mahaguru Sutaredja, tapi yang berpenampilan seperti orang gila itu, hamba tidak mengenalnya."

Pertarungan berlangsung tidak terlalu lama. Jayendra berhasil memukul kedua paha Ki Menyawak hingga lunglai tidak kuat menahan badannya sendiri untuk berdiri. Tubuhnya langsung roboh tak mampu bangkit.

Senopati menghampiri mereka dan langsung membelenggu kedua tangan Ki Menyawak dengan rantai. "Prajurit, Masukkan dia ke ruang tahanan...!" perintah Senopati kepada salah satu Prajurit Penjaga.

Ki Menyawak pun diringkus tak berdaya menuju ruang tahanan. Senopati mendekati Jayendra kemudian menyapanya.

"Ki Sanak ini murid Mahaguru Sutaredja?" tanya Senopati ramah.

"Benar, Gusti Senopati...! Nama hamba Jayendra...!" jawabnya sambil segera menyarungkan pedang dan memberi hormat.

"Aku takjub akan kehebatan ilmu kanuragan yang kamu miliki. Memang murid-murid Mahaguru Sutaredja sepertinya tidak ada yang tidak hebat."

"Maaf Gusti, Aku rasa Gusti terlalu melebih-lebihkan. Kami dilatih layaknya perguruan pada umunya."

Senopati melirik ke arah sebuah benda yang sedang Jayendra bawa. "Apa yang kamu bawa itu?" tanya Senopati.

"Ini lukisan Saga Winata, kebetulan ada seseorang yang mengetahui secara persis bagaimana rupa dan wujud buronan itu, dan kami mencoba untuk melukisnya."

"Kami?"

"Iya, aku datang bersama ketiga kawanku. Sekarang mereka berada di wisma tamu bersama Mahaguru."

"Mau kamu bawa kemana lukisan itu, Jayendra?"

"Hendak dipajang di pohon besar tengah perempatan Kotaraja supaya semua orang bisa mengetahuinya. Aku sudah mendapatkan izin dari Walikota."

Kemudian Senopati memperhatikan dengan seksama lukisan itu. Dia merasa seperti mengenalnya. "Jayendra, kamu yakin dia Saga Winata?" tanya Senopati meyakinkan.

"Hamba yakin, Gusti."

"Baiklah, ayo...! biar aku temani kamu."

"Terima kasih, Gusti Senopati."

***

Nilai benar dan salahnya pertempuran bukan diukur dari senjata yang dia gunakan, tetapi dari niat dan tujuan si pemegangnya.

Sigit_Irawancreators' thoughts
Nächstes Kapitel