Dengan anggukan setujunya, aku menaiki motor bersama Eri untuk menuju ke pusat kota. Pada sekitar jam 10 pagi, setelah upacara kelulusan selesai, kami keluar dari hotel tersebut. Melewati jalanan dengan mobil serta motor lalu lalang. Tetapi jalanan tidak sebegitu ramainya, hanya terdapat sedikit mobil sepanjang jalan kulalui. Sehingga aku bisa membawa motorku perlahan-lahan, tanpa perlu menghindari mobil yang kadang macet panjang. Melintasi setiap tempat yang ada di kota seperti taman kota dengan pohon-pohon rindang serta pancurannya, pusat perbelanjaan yang ramai oleh orang-orang berjalan dari satu toko ke toko lain, atau hanya sekedar menikmati angin yang membelai kami ketika berkendara.
Bahkan tanpa melihat wajah Eri yang ada di belakangku, aku tahu bahwa ia tengah mendongakkan kepalanya kesana-kemari. Karena aku bisa merasakan helmku yang terbentur semenjak tadi oleh gerakannya itu.
"Jadi, kemana kita akan pergi ?"
"Hmm... dari jalan yang kita lewati sekarang. Alun-alun kota... dan stasiun."
Sampailah aku pada jalan utama kota yang lebih lebar daripada jalan-jalan yang kulewati tadi. Di tengah hiruk pikuknya kendaraan, aku berusaha untuk membuat motorku berjalan semulus mungkin. Kami berada di tepat pusat kota Purwokerto. Di sebelah kiriku terdapat sebuah pusat perbelanjaan yang begitu tinggi, dipenuhi oleh banyak toko serta beberapa kafe dan tempat makan di sana. Pusat perbelanjaan tersebut menghadap ke arah utara, serta temboknya sendiri terbuat dari kaca tebal yang dapat membuatmu bisa melihat pemandangan kota Purwokerto dengan jelasnya. Di depan pusat perbelanjaan itu sendiri ada alun-alun kota yang begitu rindang dan hijau. Pada setiap pinggir alun-alun yang berbentuk persegi terdapat pohon beringin besar yang berusia berpuluh-puluh tahun. Pada siang hari yang terik, duduk di bawah pohon beringin yang ada di sana begitu menyegarkan.
"Theo, bangunan dengan tembok putihnya yang ada di kanan itu apa ?"
"Ah, itu ? Itu Pendopo. Tempat bupati tinggal dan bekerja."
Tempat yang ditunjuk Eri merupakan Pendopo Si Panji, bangunan dengan atap kerucut lebar yang ditopang oleh banyak tiang kayu. Kalau tidak salah pendopo itu dibangun pada tahun 1700an, serta biasa dipakai oleh untuk beberapa acara kebudayaan seperti ulang tahun Kabupaten. Aku pernah memasukinya sekali ketika tengah ada kunjungan ke tempat sejarah sewaktu SMP.
Aku kemudian terus melanjutkan perjalananku lewat jalan utama kota, menuju ke stasiun Purwokerto. Sampai Eri menepuk pundakku dan mengatakan untuk berhenti pada jembatan. Di sana aku memberhentikan motorku pada samping jalan, berjalan mengikuti Eri.
"Kalau dilihat dari dekat... rupanya jauh lebih indah."
Begitu aku mendekat ke arahnya yang tengah menyandarkan dirinya pada pembatas jembatan, pemandangan yang tengah ia lihat adalah sungai yang mengalir di bawah. Sungai tersebut mengalir derasnya melewati bebatuan-bebatuan yang ada di sana. Tidak hanya sungai saja, pepohonan hijau nan rindang juga menghiasi pinggiran sungai.
"Pemandangan ini yang pertama kulihat ketika menaiki kereta ke Purwokerto. Aku terpana melihat di tengah kota yang besar seperti ini, masih terdapat pemandangan yang begitu natural. Seakan, kotanya sendiri tidak melupakan alam."
Tidak kusangka kata-katanya itu justru membuatku malu pada diriku sendiri. Aku yang telah berada di kota ini sejak lahir saja tidak sampai menyadari keindahan kotaku seperti yang Eri barusan ucapkan. Padahal aku setiap harinya berangkat lewat sini, tapi tidak pernah meluangkan waktuku untuk berhenti sejenak dan menikmati keindahannya.
"Lalu, rumahmu sendiri ada di sebelah mana, Theo ? Kamu sudah tahu kostku bukan. Tidak adil kalau kamu tidak membawaku ke rumahmu juga."
"A— Rumahku ?!"
Tidak tidak, aku tidak bisa membawanya ke rumahku. Akan timbul banyak masalah jika aku membawanya ke rumah. Selain menjadi perbincangan besar di keluargaku karena aku tiba-tiba membawa gadis secantik Eri, aku juga agak minder dengannya. Rumahku tidaklah besar dan bagus.
"Mu-Mungkin lain kali, sekarang sedang tidak bisa... Ahahaha. Tapi, rumahku tidak begitu jauh dari sini kok. Sebelah barat laut, dekat stasiun."
"Ya sudah. Dekat stasiun katamu, apa tidak berisik setiap harinya ?"
"Berisik sih, aku bisa merasakan getaran kereta yang tengah melintas setiap waktunya. Juga mendengar lagu ketika kereta akan berangkat, sampai-sampai aku hapal lagunya."
"Hm..."
Tiba-tiba, aku mendengar suara perut keroncongan dari arah kananku. Aku melirik ke sana, terlihat Eri yang berusaha mengalihkan wajahnya dariku serta menaruh kedua tangannya pada perut. Di jam tangan yang kupakai telah menunjukkan waktu makan siang juga, pantas dia merasa lapar.
"Apa kamu lapar, Eri ?"
"Sedikit..."
Sebaliknya perutmu tadi berkata lain. Omong-omong, perutku ikut lapar juga.
"Bagaimana jika makan ramen ? "
"Boleh."
Setelahnya aku melesat menuju ke tempat makan ramen yang biasa kusambangi. Berada di daerah pusat perbelanjaan lama, tempat tersebut agak sepi dibandingkan daerah lainnya meski masih berada di pusat kota. Terdapat banyak gedung toko terbengkalai dari peninggalan jaman dulu, sehingga daerah ini disebut sebagai kota tua oleh beberapa orang. Aku meliuk-liuk melewati beberapa gang kecil, lebih cepat untuk sampai apabila aku melewati gang-gang kecil karena jalan kota sendiri terlalu banyak kelak-kelok dan lampu lalu lintasnya, mengingat kami sudah lapar juga. Hingga tidak begitu lama, sampailah aku di depan toko ramen tersebut. Parkirannya sendiri tidak terlalu ramai dari biasanya.
Saat kami berjalan menuju ke pintu masuknya, aroma khas dari kaldu yang kukenal tercium, benar-benar mengundangku untuk segera masuk ke sana. Eri terus mengikuti di belakangku sambil menundukkan kepalanya, menghindari kontak mata dengan beberapa pengunjung yang tengah menikmati makanan mereka di dalam.
"Silahkan mas, mau pesan apa ?" sapa perempuan dengan celemek merahnya.
"Erm..."
Aku menengok pada arah kiriku, di atas tembok terdapat sebuah papan kayu menunjukkan bermacam-macam menu yang disajikan pada toko. Ada sekitar 5 set ramen dengan jenis berbeda serta dua ukuran yaitu single dan double. Tidak hanya ramen saja, di sini juga terdapat makanan Jepang lainnya berupa sushi, bento, karaage, curry rice, serta okonomiyaki. Meski aku tergiur untuk memesan curry rice yang menjadi makanan favoritku di sini, tujuan awalku datang kemari adalah makan ramen bersama Eri.
"Kamu ingin pesan apa ?" tanyaku pada Eri yang masih menunduk di belakangku.
"Aku tidak terlalu paham ramen, ikut sepertimu saja."
"Kamu tidak alergi makanan laut kan ?"
"Tidak, asalkan itu bukan ikan asin."
Ma-Mana ada ramen dengan topping ikan asin, Eri ?! Aku malah penasaran jadinya kenapa dia baik-baik saja dengan makanan laut lain tapi tidak dengan ikan asin.
"Ramen set B 2 mba."
"Pedas gk mas ?"
Aku menengok kembali pada Eri.
"Tidak." Jawabnya seakan tahu apa yang hendak kukatakan padanya.
"Lalu minumnya... apa es teh tidak apa-apa, Eri ?"
"Umm. Gk papa."
Setelah mengatakan semua pesanannya, kasir pun mengatakan jumlah yang harus kami bayar dan memberikan kami nomor mejanya. Beruntunglah di jam ini masih banyak kursi yang kosong, jadi kami tidak perlu mencari-carinya hingga naik ke lantai 2.
Berselang sekitar 15 menit, makanan kami pun tiba. Semangkuk ramen lengkap dengan topping berupa ebi furai, potongan wortel tipis, setengah telur rebus, dan tidak lupa narutomaki di tengahnya. Kulepas jas hitamku, melipatnya dan menaruhnya pada belakang kursiku agar tidak kotor terkena cipratan kaldu ramen. Karena jas hitam ini bukanlah milikku, aku meminjamnya dari tetanggaku karena harga jas sendiri sangat mahal. Setelah menaruhnya, dengan cepat, aku segera memakan ramen yang panas-panas hangat itu. Kulihat Eri juga menikmati makanannya, bersyukur karena ia menyukainya.
"Selama ini aku memakan ramen, aku baru mengetahui ada tempat yang memiliki rasa sebeda ini. Padahal tempatnya tidak terlalu mencolok."
"Aku pun sama terkejutnya denganmu. Tidak menyangka ada toko ramen enak di tempat yang agak menyeramkan karena banyak gedung-gedung terbengkalainya. Semenjak mengetahui keenakan makanan di sini, aku menjadi langganan tetapnya sejak kelas 3 SMP."
"Hee... lalu, Theo. Kamu tahu banyak soal Jepang kan ? Apa kamu tahu nama ini apa ? Sejak dulu aku menemukannya di ramen tapi tidak pernah tahu namanya."
Ketika aku tengah menyeruput mie pada mangkokku, Eri mengangkat sesuatu menggunakan sumpitnya. Sebuah makanan kecil berwarna putih, berbentuk lingkaran yang bergerigi dengan garis spiral merah muda seperti pusaran air di tengahnya.
"Ah, itu namanya naruto."
"Naru... to ?" Dia nampak bingung.
"Aku tahu kalau ramen itu identik dengan Naruto, Theo."
"Itu namanya memang naruto kok. Atau kepanjangannya, narutomaki. Sejenis kue yang terbuat dari ikan laut yang digiling dan dihias pola pusaran air berwarna merah muda. Penulis manga Naruto yaitu Masashi Kishimoto terinspirasi memberi nama Naruto dari ramen juga, yaitu Narutomaki."
Begitu aku menyelesaikan penjelasan panjangku padanya, dia terdiam, menunjukkan wajah kaget seperti otaknya tengah mengepul. Menatap pada narutomaki yang masih berada di sumpitnya.
"Se-Selama ini aku memakan... naruto ?"
Aku tertawa melihat ekspresinya, dia tidak tega untuk memakannya setelah mendengar penjelasanku tadi, menyisihkannya di pinggiran mangkuk. Selesai makan, aku merasakan seluruh tenagaku kembali penuh. Bersantai sejenak sambil mendengarkan musik, menunggu agar makanan tersebut turun di perut.
"Hei, Theo. Apakah baik-baik saja ?"
Sambil menikmati es teh dan bersender di dekat jendela, aku mendengar Eri yang mengatakan sesuatu barusan. Membuka bibirku yang tertutup.
"Baik-baik saja apanya ?"
"Itu.. Anu.. Kamu menghabiskan waktu kelulusanmu denganku. Tidakkah kamu ingin menghabiskan waktu kelulusanmu dengan teman-temanmu ?"
Hm, aku berhenti sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. Menghabiskan waktu dengan teman-temanku... kah. Yuda setelah upacara kelulusan langsung pulang karena harus bersiap untuk UTBK, Akmal sendiri tadi tengah bersama teman-temannya sehingga aku tidak berani mengajaknya main, dan kalau aku tidak bertemu Eri tadi... palingan aku langsung pulang ke rumah untuk tidur.
"Tidak apa-apa kok. Malahan aku beruntung bisa pergi denganmu."
"Eh ?"
Ah... secara tidak sadar kata-kata tersebut langsung keluar dari mulutku. Apa yang telah kukatakan tadi ?! Aku tidak percaya langsung mengatakannya begitu saja ! Apakah itu karena efek kekenyangan sehingga mengendorkan konsentrasiku ?!
"Seharusnya... aku yang berterimakasih padamu, Theo. Bukanlah dirimu."
"Walau pertemuan kita terbilang singkat, kamu telah meyakinkanku saat sebelumnya ragu untuk mengikuti program ke Jepang. Hingga dirimu pun ikut bersamaku mengikuti programnya. Kamu juga telah mengizinkanku untuk menghabiskan waktu istirahat siang di koperasi walau aku bukan anggotanya. Meski... meski kita bertemu di akhir, aku berharap kita bisa bertemu sebelumnya, jauh sebelumnya."
Dengan ekspresi yang berbeda dari bagaimana keadaan sebelumnya, dia menatap lurus kepadaku. Selama hampir sepuluh detik kami, saling memandang satu sama lain. Aku terpikat oleh mata hitamnya. Aku tidak terbiasa ditatap oleh seorang wanita, maupun saling menatap seperti sekarang ini, sehingga membuatku gugup. Seperti diriku tengah dijerat olehnya, tidak bisa kabur dari pandangannya. Bagai kelinci yang terpojok oleh serigala.
"Ka-kamu bilang apa sih, Eri. Masih terlalu cepat untuk berterima kasih padaku, tahu. Aku belum mengajarimu banyak hal tentang Jepang bukan. A-Apaan sih berbicara seperti ini perpisahan saja, kita masih bertemu nanti sewaktu di pelatihan bukan."
Aku melarikan diri darinya. Sungguh, begitu pengecut bukan, diriku. Tetapi, aku tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi untuk kedua kalinya.
Sambil memikirkannya, tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku hampir membuatnya mengganggu kedamaian yang telah kumiliki, semua ini adalah salah seseorang sehingga diriku menjadi separanoid sekarang. Kami hanya baru berkenalan beberapa bulan, janganlah berharap terlalu banyak.
"Terimakasih banyak hari ini, Theo."
Puas menikmati waktu seharian kami, aku mengantarkannya kembali ke kostnya. Berdiri di depan gerbang bangunan berlantai duanya, dengan tulisan besar Kost Putri terpasang di tembok.
"Sama-sama. Padahal aku hanya mengajakmu berkeliling kota dan makan ramen saja, tidak perlu berterima kasih."
"Tetap saja, itu menyenangkan bagiku. Mungkin, lain kali, kita bisa pergi bersama lagi."
Eri yang berbalik dariku mengatakan hal tersebut kepadaku. Aku agak bingung bagaimana merespons, tetapi pada akhirnya, aku menjawabnya dengan jujur.
"Setelah kita lolos interview nanti, akan kutunjukkan tempat menarik lainnya."
"Ah... aku sampai lupa kita ada interview setelah lulus."
"Jangan lupa loh, di hari Sabtu besok."
"Aku lupa tadi karena terlalu bersenang-senang."
Sejujurnya, aku juga hampir melupakannya karena merasa senang. Itulah yang kurasakan sekarang. Aku tidak memiliki begitu banyak teman, kebanyakan temanku pun terkadang memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak bisa bepergian bersama. Jadi, aku terlalu menikmatinya lebih dari yang kukira.
Tiba-tiba saja dia membuatku terkejut saat berputar menghadapku kembali, dan setelahnya menatapku, dengan senyumnya seperti biasa.
"Semoga kamu berhasil di interview besok, Theo. Aku mendoakanmu."
Dengan senyumnya yang menyaingi matahari terik pada siang hari, dia mengatakannya dan lalu berjalan memasuki gerbang. Seperti biasa, tiba-tiba tersenyum padaku tanpa alasan yang begitu jelas. Paham akan kelemahanku.
"Begitu juga denganmu, Eri."
Aku pun berbalik darinya, kembali menaiki motorku untuk menuju ke rumah. Melalui jalan yang sama... dan menjalani keseharian yang sama.
Hingga di hari nanti, kita akan bertemu lagi.