Ketika membuka mata keesokan harinya, aku tidak sepenuhnya ingat di mana aku berada sampai dengkuran lembut Yuju yang tertidur di sampingku terdengar.
Kupejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Kuyakinkan diriku tentang lembaran hari baru yang akan kulewati di kota ini, kemudian, kehampaan yang memenuhi diriku segera tergantikan oleh rasa gelisah yang mencemaskanku.
Gelisah oleh apa? Aku pun tidak tahu. Banyak hal baru yang kulewati menjadi sumber napas sesakku. Sulit sekali mencoba hidup saat kau baru saja mati dan tersesat. Aku tak bisa menyingkirkan rasa putus asa dan kehilangan harapan yang sebelumnya memenuhi benakku.
Perlahan-lahan, kuseret tubuhku turun dari ranjang dan berjalan di bawah pancuran kamar mandi. Aku mandi sebentar dan berpakaian, kemudian turun ke bawah. Di dapur yang terletak bersisian dengan ruang tengah, Yuju menyiapkan makanan di dapur. Aku hendak membantunya, tetapi temanku itu malah menyuruhku menonton televisi di sofa ruang tengah.
Tanpa berniat menonton, sebentar-sebentar kujelajah ruangan dan kutemukan beberapa foto Yuju yang tertata dalam rak kaca. Ada foto keluarganya, foto kelulusan SMA-nya bersamaku, lalu berdiri di tengah pigura yang lain, ada fotonya yang sedang berpose bersama seorang laki-laki.
"Yuju, siapa laki-laki yang ada di foto?"
"Dia pacarku," ujarnya, ikut melihat foto yang kutunjuk. "Namanya Kim Namjoon Bagaimana menurutmu?"
"Hebat, dia kelihatan pintar," kataku menilai. Dengan kacamata dan pakaian musim dinginnya yang rapi, Namjoon tampak seperti pria yang serius dan punya pemikiran panjang.
"Apa pekerjaannya?" Aku bertanya kepadanya.
"Dokter umum. Ah, dan juga … dia mengelola perpustakaan milik keluarga," kata Yuju yang datang dari arah belakang, membawa nampan berisi mangkuk-mangkuk nasi dan mulai menatanya di meja. "Aku selalu khawatir dia bekerja terlalu keras dan melupakan kesehatannya. Bisa kauambilkan sisanya di dapur?"
Aku mengambil lebih banyak makanan di dapur. Ada sup labu kuning dan rebusan daging yang berbau seperti campuran ginseng dan madu, semangkuk kecil sawi kimchi, ikan panggang, sayur-sayuran hijau, tumis lobak putih dan nasi hangat yang dicampur potongan-potongan jamur.
"Kau harus makan banyak, Ji," kata Yuju dengan ceria, menambah piringku dengan banyak sekali lauk.
"Aku akan makan semuanya pelan-pelan," kataku.
Sarapan berlangsung santai, diselingi obrolan kami mengenai rasa masakan dan komentarnya mengenai penampilanku. Tetapi, di tengah pembicaraan, Yuju mulai membuatku risih sebab mulutnya tak berhenti melempar kritikan tentang betapa tidak cocoknya aku berambut panjang. Dia bilang rambut lebat bergelombang membuat kepalaku tampak besar, dan bentuk wajahku yang kecil membuatnya kelihatan buruk lagi. Lama-lama aku tidak tahan dan langsung mengalihkan pembicaraan pada topik lain.
"Aku bertanya-tanya," kataku pada Yuju yang sedang memisah-misahkan ikan dari durinya, "tentang rumah baru yang kaujanjikan kepadaku, apakah ... tempat itu aman untuk ditinggali?"
Yuju tiba-tiba bergeming, melirikku sambil memasang tampang yang mengindikasikan apakah aku bercanda mengatakan hal itu.
"Memang kau berharap aku merencanakan sesuatu dengan menyewakanmu rumah yang tidak aman?" kata Yuju, mendengkus tidak percaya.
Aku cepat-cepat menunduk dan menghindari tatapannya.
"Lagipula, apa yang kaumaksud dengan kata-katamu barusan, Ji? Kau curiga agen propertinya sedang menjebakmu karena dia memasang harga sangat murah, begitu?"
Aku tidak bisa memikirkan alasan lain sebab yang dikatakan Yuju memang menjadi satu dari sekian kegelisahan yang kualami.
"Ya," gumamku terus terang, "aku juga jadi makin curiga semenjak kau bilang bahwa penyewa terdahulu dari rumah itu sudah meninggal."
"Bukan begitu, Jia," kata Yuju, mendesahkan napas panjang. "Itu tidak ada hubungannya. Maksudku, antara harga rumah sewa dan penyewa yang terdahulu. Agen propertinya sudah memasang harga murah jauh sebelum almarhum penyewa itu menyewanya. Untuk alasannya, jujur saja aku tidak tahu, tetapi, sungguh, ini sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan."
"Begitukah?"
Yuju menyipitkan mata kepadaku.
"Oh, Jia, tidak ada yang aneh dari rumah itu, percayalah kepadaku. Mengapa kau mendadak cemas seperti ini?" Dia berkata terheran-heran. "Dari kemarin aku sudah menahannya, tetapi sepertinya ini sudah kelewatan. Ditambah sikapmu yang keras kepala itu, kini kau jadi semakin lemah dan penakut. Apakah ini karena kematian Seokjin? Kau belum bisa merelakan...."
"Hentikan, Yuju!" potongku dengan dingin.
Yuju tersentak dan bergeming, sementara aku melempar kekesalan pada sepotong daging yang kubenamkan dalam-dalam di mangkuk nasi.
"Siapapun pasti merasa ada yang aneh bila rumah itu ditelantarkan tanpa sebab yang jelas!" sambarku panas. Yuju tercengang menatapku dan aku melanjutkan tanpa terpengaruh sorot matanya. "Apa kau tahu bagaimana penyewa itu mati? Apa kau tahu sejarah rumah itu sebelumnya? Kau bahkan tidak tahu alasan mengapa agen propertinya menyewakan dengan harga sangat murah. Kurasa justru aneh bila kau tidak menaruh kecurigaan apapun dan menutup mata pada kenyataan tentang banyaknya properti milik penyewa terdahulu yang sengaja ditelantarkan. Maksudku, bagaimana bila sebelumnya telah terjadi sesuatu yang buruk pada penyewa sehingga membuatnya mati? Dan pada alasan-alasan tertentu, bagaimana bila ...," aku menahan napas dalam-dalam dan melanjutkan, "bagaimana bila sesuatu yang sama akan menimpaku pula?"
"Jia," Yuju berkata lirih. "Jia, Ya Tuhan, kau terlalu berlebihan."
Sekarang, aku bisa menemukan sorot kecemasan dalam matanya.
Kuletakkan sumpit di atas serbet yang kena ciprat kuah daging, kutundukkan kepala, lalu berusaha mengatur napas. Setiap pikiran getir dan sakit hati yang kurasakan beberapa bulan belakangan mengalir keluar dari diriku dan aku keliru menempatkan kemarahanku pada hal-hal yang tidak seharusnya.
Aku memandang Yuju lamat-lamat.
"Yuju, maafkan aku," kataku putus asa, mencoba menguasai diri. "Akhir-akhir ini aku merasa kesal dengan diriku sendiri, marah kepada hal-hal yang sebetulnya tidak terlalu penting untuk dipermasalahkan. Aku ... seharusnya berterima kasih kepadamu, bukan membentakmu seperti ini. Kau benar, akulah yang terlalu berprasangka buruk."
"Jia, aku tidak apa-apa," kata Yuju, dengan tampang mulai memahami. Dia menggenggam tanganku erat sampai-sampai aku bisa merasakan hangat tubuhnya yang nyaman.
"Seharusnya sejak awal aku tahu ada hal-hal yang sengaja kau hindari demi mengobati perasaanmu yang sedang terluka," ujarnya. "Aku hanya ingin kau merasa diperhatikan, tetapi aku tidak pernah mencoba memahamimu lebih dalam. Aku juga minta maaf."
Yuju menatapku lama, kemudian kubalas pengakuan Yuju dengan sebuah anggukan. Dia melepas tanganku dan menyuruhku untuk makan kembali, sementara sesungguhnya aku tidak lagi bisa menampung perutku dengan selembar daging yang paling tipis sekalipun. Pikiran bahwa mentalku tak kunjung sembuh serta kecemasan tentang rumah baru yang entah bagaimana mengundang kecemasanaku membuatku berpikir, kalau mungkin, sesuatu yang akan kuhadapi bisa berlalu lebih buruk lagi.
-oOo-
Pada pukul sembilan pagi di hari Minggu, Yuju mengantarku ke rumah baru.
Rumah yang dijanjikan Yuju agak berbeda dengan apa yang kulihat di ponselnya semalam; kelihatan kosong dan tak terurus. Lahan di halaman penuh dengan rumput yang tumbuh liar, bersama bunga-bunga kuning kecil yang menyembul di antara batu-batuan seolah mencari sinar matahari, setelah lama tersembunyi di bagian batas atap teras yang selalu teduh.
Ketika kami melangkahi ambang pagar ke dalam halaman yang suram, kupandang ke arah lantai teras yang kosong dan berdebu. Dahulu, di sana ada banyak pot bunga. Penyewa sebelumnya barangkali suka merawat tanaman hias dan aku mulai menebak-nebak orang seperti apa dia. Mungkin dulunya dia adalah seorang janda paruh baya, atau bisa saja seorang nenek tua yang hidup sebatang kara.
Setelah membuka kuncinya, Yuju memutar kenop pintu dan kami masuk ke dalam lorong yang remang.
Aroma kelembapan, debu, serta lumut yang membusuk memenuhi rongga penciumanku. Aku mendongak dan melihat langit-langit ruangan menggantung suram. Yuju berjalan lebih jauh dan aku mengikutinya, berbelok ke ujung lorong dan muncul di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh perabot-perabot yang dibungkus kain putih kumal. Ada gorden kusam yang termakan ngengat menutup jendela.
Kubiarkan diriku menjelajah ruangan itu, mengintip sesuatu di balik kain-kain dan menemukan banyak fasilitas menarik yang masih bisa digunakan; televisi, meja kecil berpelitur, sofa empuk berlengan, serta rak yang masih terisi oleh beberapa buku. Langkahku berderap di sepanjang lantai dan berhenti di sebuah pintu yang lain. Kuputar kenopnya dan aku menemukan ruangan lain yang sepertinya adalah kamar.
Aku menghampiri salah satu perabot yang ditutup kain di sisi ruangan. Dengan sekali sentak, kutarik kain putih yang menutupinya dan melihat ranjang kecil yang sudah berbau debu dan apak. Seprainya bahkan masih terpasang rapi membungkus badan ranjang. Aku duduk di tepinya, menghela napas dalam-dalam.
Tembok di kamar ini dilapisi kertas dinding berwarna biru, senada dengan warna seprai tempat tidur. Ada meja dan cermin untuk berhias di sudut ruangan yang anehnya tidak tertutup kain. Setelah kuperhatikan, ternyata kain penutupnya jatuh dan terselip di kaki meja.
Tanpa bertujuan apa-apa, kuhampiri cermin di sudut ruangan dan menatap lurus ke permukaannya yang telah kabur oleh lapisan debu. Akan tetapi, ada sesuatu lain di permukaan cermin yang mengalihkan perhatianku. Benar-benar membuatku tercengang sampai-sampai aku menahan napas saking terkejutnya.
Di cermin itu telah terdapat sebuah coretan, yang tampaknya ditulis dengan memanfaatkan lapisan debu yang tebal. Kusipitkan mata membaca coretan itu dan melihat sebuah nama terukir sebagai pesannya;
Namaku Min Yoongi.[]
I dont really know how to operate this app, please tell me if you find some error T T