webnovel

Kartu Nama Hitam

Anya membuka pintu rumahnya dengan sangat kelelahan. Hari ini benar-benar hari yang panjang untuknya.

Ia terbangun dari tidurnya dan menemukan dirinya berada di kamar hotel mewah yang tak dikenalnya. Ditambah lagi, ia bersama dengan seorang pria asing semalaman.

Entah apa yang telah terjadi kemarin malam. Ingatannya terlalu kabur untuk mengingat kembali malam kemarin. Yang ia tahu pasti, ia telah kehilangan kesuciannya yang telah ia jaga baik-baik selama dua puluh tahun untuk calon suaminya di masa depan.

Kejadian ini membuatnya merasa sangat sakit hati dan kecewa. Ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuknya.

Kenyataan menjadi lebih buruk ketika ia mengetahui bahwa pria yang bersamanya adalah tunangan Natali, Aiden Atmajaya. Ia tidur bersama dengan tunangan Natali, tunangan saudara tirinya sendiri!

Pria itu dikenal sebagai seorang tiran, pria yang kejam dan tidak berbelas kasihan sedikit pun. Semua orang menyebutnya sebagai monster psikopat yang berhati dingin.

Tidak berhenti sampai di situ saja. Ia sudah terjatuh dan tertimpa tangga pula.

Ia tahu bahwa ibu Natali, Mona, memang tidak menyukainya sejak dulu. Semua yang ia lakukan selalu salah di mata Mona.

Kali ini, Mona menyalahkannya dan memukulinya atas perbuatan yang bahkan tidak ia lakukan. Ia tidak merebut tunangan Natali, tetapi putrinya sendiri yang menyebabkan semua ini terjadi.

Namun, apa yang bisa Anya lakukan? Apa yang bisa ia lakukan untuk menjelaskan kenyataan yang tidak masuk akal ini?

Apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya bahwa Natali yang menjebaknya dan mengirimkannya ke kamar hotel Aiden? Bukankah itu terdengar sangat tidak masuk akal? Tidak ada satu orang pun yang akan mempercayainya walaupun ia tidak berbohong.

Ia duduk di kursi ruang tengah, bersandar sambil menatap ke langit-langit rumahnya.

Rambut hitamnya yang biasanya terurai indah terlihat kacau berantakan, sementara pipinya terlihat sedikit bengkak dan bekas cakaran terlihat dengan jelas. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Untuk bergerak sedikit saja rasanya ia tidak mampu ...

Sakit hati, kecewa, frustasi …

Rasanya semua perasaan itu bercampur aduk, air mata mulai menggenang membuat air mata menetes satu demi satu di pipi Anya.

Sebenarnya apa salahku? Mengapa semua ini terjadi kepadaku?

Matanya menyapu seluruh rumah yang ditempatinya saat ini. Ini adalah rumah yang bisa dibeli ibunya saat berpisah dengan ayahnya dulu. Rumah yang kecil dan sederhana jika dibandingkan dengan rumah mewah milik Natali saat ini.

Ia tidak habis pikir mengapa Natali melakukan semua ini kepadanya.

Natali memiliki ayah dan ibu yang lengkap sementara ia hanya memiliki ibunya …

Natali memiliki rumah yang mewah, sementara ia harus tinggal di rumah yang kecil dan sederhana …

Natali dimanja oleh kedua orang tuanya, apa pun yang ia inginkan selalu didapatkannya, sementara Anya harus berjuang keras seorang diri semenjak ibunya jatuh sakit …

Lalu mengapa Natali melakukan semua ini padanya?

Apa yang kurang di kehidupannya sehingga ia sengaja melakukan hal ini kepada saudaranya sendiri?

Walaupun mereka bukan saudara kandung sekali pun, Anya tidak pernah menyangka Natali sengaja melakukan hal ini kepadanya ...

Setelah memutar otak tanpa mendapatkan jawaban apa pun, akhirnya Anya memutuskan untuk bangkit berdiri. Ia harus segera pergi ke rumah sakit dan mengunjungi ibunya.

Sebelum berangkat, Anya mengecek uang yang dimilikinya saat ini. Wajahnya tampak lesu saat melihat hanya beberapa lembar uang seratus ribu yang tersisa di tabungannya. Bagaimana cara membayar biaya rumah sakit ibunya jika uang yang ia miliki hanya tersisa sedikit saja?

Sekarang apa yang harus ia lakukan?

Anya termangu di dalam kamarnya, tidak tahu harus berbuat apa. Ia telah berusaha keras untuk tetap bertahan hidup, melakukan segala yang ia mampu untuk menanti ibunya bangun dari tidur panjangnya.

Tahun demi tahun berlalu, rasanya harapan itu semakin pupus. Ibunya tidak bangun juga hingga saat ini. Semua perhiasan ibunya telah ia jual untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, rumah sakit dan juga uang kuliahnya. Sekarang, ia benar-benar tidak memiliki apapun. Ia juga sudah meminta tolong pada ayahnya untuk membantu membiayai rumah sakit ibunya, tetapi ayahnya pun menolak.

Lalu, apa yang harus ia lakukan?

Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar saat ia tenggelam dalam kekalutannya. Siapa yang mengunjungi rumahnya?

Anya bergegas membukakan pintu dan melihat seorang pria paruh baya yang tak dikenalnya berada di depan pintu rumahnya. Pria itu bertubuh cukup besar, namun sama sekali tidak menakutkan. malah wajahnya terlihat ramah. Rambutnya terlihat mulai putih, penuh dengan uban. Wajahnya tersenyum saat melihat Anya, membuat pria itu memancarkan aura kebapakan yang kuat.

"Siapa ya?" tanya Anya dengan bingung. Anya tidak mengenal pria yang ada di depan rumahnya ini.

"Selamat sore, Nona. Saya Abdi, supir pribadi Tuan Aiden Atmajaya. Saya diminta untuk menjemput Nona. Tuan Aiden ingin bertemu dengan Anda." Katanya dengan sopan.

Aiden Atmajaya? Bagaimana pria itu bisa mengetahui tempat tinggalnya? Hari ini adalah pertemuan pertama mereka dan Anya telah melarikan diri darinya saat pria itu sedang lengah. Tentu saja bukan Anya yang memberitahu alamat rumahnya.

"Bagaimana Bapak bisa mengetahui tempat tinggal saya?" tanya Anya dengan sedikit waspada.

Wajah Abdi tetap ramah saat ia berusaha menjelaskan dengan sabar. "Nona, mencari tahu tempat tinggal Nona bukanlah hal yang sulit bagi Keluarga Atmajaya."

Anya bergidik saat mendengar jawaban itu. Ia tidak mau bertemu dengan pria itu lagi. Ia tidak ingin mengingat apa yang telah terjadi padanya kemarin malam. Lagi pula, ia harus pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi ibunya dan harus memikirkan cara mencari uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Ia tidak punya waktu untuk bertemu dengan Aiden Atmajaya, meski pria itu adalah anak konglomerat sekalipun.

"Maaf, Pak. Saya tidak mengenal bapak. Saya tidak mau pergi bersama dengan orang yang tidak saya kenal." Jawab Anya dengan tegas.

"Tapi, Nona …" belum sempat Abdi menyelesaikan kalimatnya, Anya langsung kembali memotongnya. "Maaf ya, Pak." katanya sambil berusaha untuk menutup pintu dan mengusir Abdi secara halus.

Abdi tahu bahwa ia tidak bisa memaksa Anya untuk ikut dengannya. Bagaimana pun juga, wajar saja jika seorang wanita bersikap waspada. Tidak seharusnya ia mengikuti pria tidak dikenal secara sembarangan.

Namun Abdi juga tidak bisa pulang dengan tangan kosong. Ia segera menghentikan Anya sebelum pintu rumah tersebut ditutup, "Nona, Tuan Aiden meninggalkan kartu namanya untuk Anda. Anda bisa menghubunginya jika Anda berubah pikiran." Katanya sambil menyerahkan selembar kartu nama pada Anya.

Anya merasa lega karena pria paruh baya di hadapannya ini tidak memaksanya untuk ikut bersama dengannya. Ia menerima kartu nama yang diberikan oleh Abdi tanpa mengatakan apa pun.

Setelah kartu nama yang ia berikan diteirma oleh Anya, Abdi sedikit menganggukkan kepalanya sebagai gestur untuk berpamitan dan meninggalkan Anya seorang diri.

Anya menatap kartu nama di tangannya dengan linglung di depan rumahnya. Hari ini, banyak hal aneh yang terjadi.

Kartu nama di tangannya berwarna hitam legam, dihiasi dengan tulisan-tulisan berwarna emas yang membuatnya tampak sangat elegan.

Aiden Atmajaya. CEO Atmajaya Group.

Apa yang sebenarnya pria itu inginkan darinya?

Nächstes Kapitel