webnovel

23 Siapa Memangnya yang Khawatir Sama Kamu!

Saat Randika tiba di rumahnya, hanya Ibu Ipah yang ada di sana. Sepertinya Inggrid belum kembali.

"Ibu Ipah bagaimana acara televisi hari ini? Apakah bagus-bagus?" Tanya Randika sambil tersenyum.

"Lho nak Randika sudah pulang. Iya hari ini banyak sinetron bagus nih. Kalau kalian tidak ada di rumah, ibu hanya bisa nonton TV saja." Kata Ibu Ipah sambil tersenyum. "Kenapa kok tidak pulang dengan nona? Apakah semuanya baik-baik saja?"

Waktu sekarang menunjukan pukul 7 malam. Hanya setengah jam saja untuk Randika membereskan geng kapak dan menemukan petunjuk lainnya. Cara kerja Randika memang efisien.

"Aku tadi keluar duluan karena aku ada perlu bertemu dengan orang. Mungkin Inggrid sebentar lagi pulang." Kata Randika dengan sedikit ragu. Randika masih ingat bahwa ibu-ibu ini bukan orang biasa, siapa tahu pertanyaannya ini adalah jebakan. Apakah dia sudah tahu insiden di perusahaan?

"Baiklah kalau begitu." Ibu Ipah mengangguk.

Ibu Ipah kemudian kembali menonton TV dan Randika pamit ingin istirahat.

Ketika Randika sudah naik ke kamarnya, Ibu Ipah bergumam, "Setidaknya dia seharusnya membersihkan diri terlebih dahulu. Bau darahnya menyengat."

Jika Randika tahu bahwa bajunya telah membawa bau darah, mungkin dia sudah membersihkan diri dan mengganti bajunya dulu sebelum kembali pulang.

Sejujurnya Randika sudah kelelahan jadi dia tidak sempat berpikiran sejauh itu. Dia merasa tiba-tiba badannya menjadi dingin, napasnya tidak teratur dan wajahnya pucat.

Hari ini dia sudah menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Inggrid, dan juga memporak porandakan markas geng kapak sendirian. Meskipun dia tidak terluka, tenaga dalamnya terus beredar dengan hebat.

Randika merasa bahwa tubuhnya mulai gemetar dan organ-organ dalamnya mulai melintir bersamaan. Dia merasa bahwa tenaga dalamnya akan mencabik-cabik dirinya.

"Ah!"

Saking sakitnya, dia berguling-guling di lantai kamarnya. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dan matanya menjadi sangat merah.

"Tidak. Aku tidak bisa mati hari ini!" Randika menahan rasa sakitnya ini dan mengeluarkan jarum akupunturnya. Dia segera mengobati dirinya sendiri.

Tangannya yang memegang jarum bergetar hebat dan tidak bisa diam. Dia membutuhkan konsentrasi penuh dan energi banyak untuk menusukkan jarum di titik-titik tertentu. Setelah selesai, Randika segera menutup matanya dan mengatur pernapasannya. Wajahnya merah dan terlihat bengkak. Seakan-akan kepalanya akan meledak setiap saat.

Setelah beberapa saat, Randika membuka matanya. Pada saat ini, dia merasa seakan-akan jiwanya ditarik keluar dan dirinya sangat kelelahan.

Ketika dia mencabut jarum-jarum akupunturnya, dia merasa bahwa tubuhnya telah kehilangan banyak tenaga dalamnya. Sisa dari tenaga dalamnya dia gunakan untuk menahan kekuatan misterius yang ada di tubuhnya itu.

Dia sudah lama mengeluarkan seteguk darah hitam dan sekarang dia tenggelam dalam pikirannya. Dia berpikir tentang hidupnya ketika dia sampai di kota Cendrawasih ini. Dia merasa pusing dengan segala hal yang telah terjadi. Sampai saat ini, dia tidak tahu apa yang diinginkan musuh darinya. Mengapa Harimau dan Bulan Kegelapan mengkhianati dirinya? Apakah semua kejadian sampai saat ini hanyalah kebetulan?

Terlebih lagi, dia merasa bahwa tubuhnya mulai kelelahan. Dia juga takut bahwa dengan adanya ancaman serangan di masa depan, dia harus segera pulih dari keadaannya sekarang ini. Awalnya dia tidak takut tetapi dia merasa bahwa hal ini tidak bisa lagi ditunda.

Setelah beberapa saat dia telah memutuskan, "Sepertinya aku harus pulang. Aku harus meminta bantuan para tetua itu."

Setelah itu, Randika memutuskan untuk mandi. Setelah dia selesai, waktu telah menunjukan pukul 9 malam. Dia mengendalikan kekuatannya ini kurang lebih hampir 2 jam.

Tiba-tiba suara kerucukan muncul dari perutnya. Dia merasa bahwa proses tadi telah menghabiskan energinya dan membuat dirinya lapar. Sudah waktunya dia menimbun energi lagi.

Ketika dia berada di tangga, dia mengintip dari atas dan menemukan bahwa Ibu Ipah sudah tidak ada dan istrinya sedang duduk di lantai.

Melihat pakaian rumah Inggrid, Randika tidak bisa menahan senyuman nakalnya.

Dia masih berada di tangga. Dia mengintip dari atas untuk memperhatikan buah melon istrinya yang terlihat indah dari atas. Sungguh menggoda!

Namun, beberapa detik kemudian si Inggrid berpindah posisi dan Randika tidak mendapatkan pemandangan indahnya lagi. Dia memutuskan untuk turun dan menyapanya.

"Malam istriku yang cantik!" Randika segera menghampirinya dan matanya tidak bisa lepas dari penampilan sexy istrinya. Inggrid sedang memakai baju putih tanpa lengan dan celana rumah yang pendek. Dia juga terlihat membentangkan kakinya yang putih itu di lantai. Pahanya yang putih itu membuat Randika ingin mengubur mukanya di tengah-tengahnya.

Melihat Randika yang mendekat, Inggrid segera duduk dengan benar dan merapatkan kakinya. Hal ini malah membuat sebuah celah di antara pahanya yang putih itu. Randika sekarang benar-benar ingin membenamkan mukanya di situ. Penampilan istrinya ini mengingatkan dirinya tentang Viona pada malam hari itu!

Sayangnya pemandangan indah itu segera tertutup oleh selimut wol yang dipakai Inggrid.

Ketika Inggrid ingin berkata sesuatu, dia menatap mata Randika yang terlihat sedih itu. Dia melihat tatapan mata Randika mulai naik menuju dadanya dan dia pun segera menutupinya dengan tangannya.

"Dasar lelaki mesum!" Inggrid semakin malu ketika melihat senyuman Randika di hadapannya.

Randika segera duduk berdampingan dengan Inggrid sambil mengelus pipinya. "Istriku, kenapa kau malu? Bukankah kita ini suami istri? Hubungan kita sudah diresmikan oleh hukum, jadi sudah sewajarnya bahwa aku sebagai suamimu melirikmu dengan tatapan penuh makna."

Melihat dekat wajah Randika, membuat Inggrid teringat dengan kejadian sebelumnya di kantornya. Lelaki ini telah mencopot behanya dan hampir melihat dirinya telanjang, dia tiba-tiba menjadi marah. "Jangan lupa kalau kita itu hanyalah kawin kontrak! Kita akan bercerai dalam tiga bulan!"

���Apakah itu benar?" Dengan senyuman nakalnya, dia mendekatkan dirinya ke wajah Inggrid seakan-akan mereka akan berciuman. "Apakah kau rela meninggalkanku?"

Inggrid segera memalingkan wajahnya dan mengatakan, "Kau hanyalah lelaki bajingan dan tidak tahu diri. Buat apa aku menginginkanmu?"

"Benarkah?"

"Tentu saja!"

"Kalau begitu akan kutunjukan betapa jahatnya suamimu ini."

Ketika mengatakan hal itu, Randika sudah berdiri dan gerakan tangannya seakan-akan siap meremas-remas sesuatu.

"Kau…. Apa yang hendak kau lakukan?"

"Menurutmu apa yang akan kulakukan?" Randika mulai maju perlahan-lahan menuju mangsanya.

"Tidak! Jangan dekati aku!" Inggrid berusaha melarikan diri. "Jika kau berani menyentuhku, aku akan berteriak minta tolong!"

"Jika kamu berteriak pun, tidak akan ada yang menolongmu. Kamu mau berteriak 7 hari 7 malam pun tidak akan ada yang datang." Kata Randika sambil tersenyum.

"Tidak! Dasar pria mesum, jangan dekat-dekat!" Inggrid kembali berlari dan sekarang dia sudah terpojok, dia tidak bisa lari lagi.

"Hahaha! Mau ke mana kau sekarang sayang?" Kata Randika sambil tertawa jahat. "Akan kutunjukan betapa bengisnya suamimu ini."

Inggrid yang terpojok hanya bisa berteriak satu nama, "Ibu Ipah!"

Ketika mendengar nama itu, Randika langsung menjadi panik. Dia terlalu asyik bercanda dengan istrinya ini tetapi kalau Ibu Ipah sampai datang, maka situasi akan gawat. Dia dengan segera menerjang Inggrid dan berusaha menutup mulutnya. Namun tanpa disengaja, Randika tergelincir dan malah mencium Inggrid!

"Hmmm!" Mulut Inggrid benar-benar diblokir oleh mulut Randika. Mereka hanya saling bertatapan-tatapan tanpa bergerak.

Sepasang suami-istri ini hanya saling menatap satu sama lain dengan bibir mereka yang saling berciuman.

"Aduh dasar anak muda. Mereka memanggilku hanya karena ingin pamer, mau jadi apa dunia ini." Ibu Ipah yang datang secepat kilat hanya geleng-geleng kepala ketika melihat mereka berdua berciuman.

Setelah beberapa lama, Inggrid segera mendorong Randika. Randika yang masih terpukau dengan kelembutan bibir istrinya masih berharap bisa mencicipinya lagi.

Inggrid merasa ingin menangis sekaligus merasa gila karena lelaki ini. Bagaimana bisa dia menciumnya secara tiba-tiba? Setetes air mata kemudian mengalir.

Randika yang melihat Inggrid yang meneteskan air mata itu segera menghampirinya. Dia segera mengusap air mata itu dan mengatakan, "Maafkan aku sayangku. Aku tidak sengaja menciummu. Aku benar-benar tidak memiliki niatan seperti itu, lantainya saja yang terlalu licin."

Inggrid hanya berdiri diam dan tidak bereaksi, Randika pun melanjutkan. "Kalau aku bohong, kau boleh memukulku sekali."

Setelah kata-kata ini terlontarkan, Inggrid segera menginjak kaki Randika sekuat tenaga.

"Ah!" Randika segera melompat kesakitan.

"Kau yang menyuruhku melakukannya." Inggrid mengusap air matanya dan pergi dari situ. Dia sedikit merasa lega setelah menginjak kaki Randika.

"Aku tidak pernah menyangka bahwa Ares akan terluka oleh seorang wanita cantik." Kata Randika sambil tersenyum pahit. "Yah setidaknya itu membuatnya sedikit senang."

Melihat sosok istrinya yang pergi, Randika segera teringat tujuannya ingin bertemu istrinya.

"Istriku, aku akan pergi sementara waktu selama beberapa hari."

Inggrid terkejut ketika mendengarnya, dia merasa penasaran. "Ke mana kau akan pergi?"

"Aku akan pulang ke rumahku di gunung untuk bertemu dengan beberapa orang." Randika lalu teringat akan sosok para kakeknya itu dan tanpa sadar tersenyum lembut.

Ketika melihat senyuman ini, Inggrid pun bingung. Sejujurnya, dia tidak bisa menebak jalan pikir orang di hadapannya ini.

"Jangan khawatir, aku akan kembali setelah beberapa hari. Aku hanya takut kau akan kesepian." Kata Randika dengan senyuman lembutnya lagi.

"Huh! Siapa yang khawatir sama kamu! Kalau bisa jangan kembali lagi!" Inggrid pun segera pergi dari hadapan Randika.

Jangan kembali? Bagaimana bisa aku melakukannya? Aku masih membutuhkan 5 miliar milikmu itu. Terlebih lagi, aku masih belum ingin berpisah dengan istriku yang cantik ini. Bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu?

Mungkin jika Inggrid bisa mendengar isi pikiran Randika, dia sudah menghajarnya.

Nächstes Kapitel