Malam itu, Rose mendapati seorang pria tidak dikenal terluka di apartemennya. Lucas, seorang anggota mafia yang bersembunyi dari pengejaran anggota geng lawan. Rose tahu bahwa menyembunyikan pria itu di tempatnya akan memancing marabahaya, tetapi sesuatu yang lebih berbahaya datang berjalan seiringnya waktu. Rasa Cinta dan Dosa
Kehidupan sepertinya sangat senang mencandai Rose. Orang-orang biasanya tak suka dicandai. Rose pun begitu. Sebanyak apa pun ia mengadu pada Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan masih memiliki banyak candaan lain kepada wanita dua puluh lima tahun itu. Terlebih lagi dengan seluruh anggota keluarganya yang gemar bercanda.
Di usia berapa ia tersadar bahwa keluarganya tidak lebih dari manusia-manusia munafik? Tentang Ayah yang merupakan kepala keluarga mereka suka main serong di belakang, ibunya yang juga membawa pria-pria muda untuk diajak bermalam ke berbagai tempat, dan jangan lupakan tentang kakak lelakinya pecinta sesama jenis.
Semua itu bukanlah candaan. Ayahnya tukang selingkuh, ibunya suka main dengan gigolo, dan kakaknya yang lebih buruk daripada kedua orang tua mereka. Rose ingat betul bahwa kakak lelakinya merebut satu per satu laki-laki kesayangan Rose. Terhitung sejak awal masuk sekolah dasar hingga usia dua puluh lima.
Jika dirunut, mungkin sudah ada lusinan lelaki yang ditarik paksa dari pelukannya. Kehidupan percintaannya tak lebih dari sebuah prolog novel. Lalu pada bab-bab selanjutnya akan berubah menjadi novel BL dengan sang kakak yang menjadi tokoh utama. Rose sendiri menjadi figuran yang pasti akan dibenci penggemar novel aliran sejenis. Pada akhirnya, semua lelaki yang Rose kencani akan menjadi kekasih sang kakak.
Kedua orang tua mereka tak peduli. Mereka sendiri disibukkan dengan hubungan gelap masing-masing. Tak ada kata cerai. Jika bercerai maka tak ada seorang pun yang akan mendapat warisan. Sebuah peraturan yang disematkan sang kakek sebelum pernikahan perjodohan ayah dan ibunya. Itulah mengapa, memaklumi hubungan ranjang masing-masing sudah menjadi keharusan.
Kehidupan keluarganya yang hancur tak menjadi akhir dari segalanya. Setiap menginjakkan kaki keluar rumah, seluruh hal-hal yang lebih buruk bermula. Menjadi korban perundungan di sekolah dan kampus. Belum lagi dengan kecintaannya kepada kesendirian menjadikan Rose selalu menepi dari keramaian. Cap sebagai perempuan penyendiri, sasaran perundungan, dan aneh melekat erat dalam dirinya. Sebuah citra yang bahkan masih dibawa hingga dunia kerja.
Begitu cintanya ia dengan kesendirian itu memberikan dorongan untuk keluar dari rumah. Lima tahun bekerja sebagai editor sebuah penerbitan besar, kepercayaan diri lepas dari bayang-bayang keluarga semakin menjadi. Setelah mengajukan pinjaman bank, ia membeli satu unit apartemen yang jauh dari rumah, berdekatan dengan tempat kerjanya.
Tempat di mana segala kesunyian mengalihkan ingatan akan rumah, masa-masa kelam, dan kehidupan yang mungkin sudah menyiapkan banyak skenario dari Tuhan untuk mencandainya lagi.
***
"Akhir-akhir ini kami mendengar suara perkelahian di sekitar gedung apartemen. Padahal agen perumahan bilang kalau di area ini sangat aman. Jangankan perkelahian antar manusia, di sini tidak akan ada perkelahian anjing."
"Haha, di sini memang tidak ada perkelahian anjing sungguhan yang memperebutkan tulang. Tapi di sini ada anjing yang lebih besar daripada itu."
Dua orang pria yang mengobrol tak jauh dari Rose itu tinggal di lantai tiga, satu lantai di atas Rose. Para pria selalu memiliki obrolan yang lebih berbobot daripada istri-istri mereka yang selalu membicarakan keburukan tetangga.
Perkelahian di sekitar area apartemen. Ini baru bulan kelima sejak kepindahannya, selama lima bulan ke belakang pun tak pernah terdengar rumor tentang itu. Atau mungkin dirinya saja yang kurang menaruh atensi pada gosip-gosip yang sering didengungkan para istri. Jikalau memang benar terjadi perkelahian, itu berarti Rose harus meningkatkan kewaspadaan. Ia tinggal sendirian, tak punya seseorang untuk dimintai bantuan. Terlebih lagi kakaknya.
Menghindari keluarganya yang busuk, memaksa Rose hidup mandiri. Bahkan untuk masalah mengangkuti barang-barang belanjaan ke kamarnya, semua dilakukan sendiri. Walaupun terkadang ada orang baik yang bersedia membantunya membawa belanjaan bulanan itu. Ya, seperti bagaimana dua pria itu menghentikan obrolan mereka dan beralih membantu Rose. Semoga saja istri mereka tak akan marah.
"Oh, Nona Rose di lantai dua, ya. Lama tidak terlihat, bagaimana kabarnya?" sapa salah satu dari dua pria itu menyapa. Rose mengenalinya sebagai Pak Edward.
"Selamat sore, Pak Edward. Sejauh ini baik-baik saja, hanya saja untuk beberapa pekan ke depan saya akan lebih banyak lembur di kantor."
"Berarti Nona Rose akan lembur, ya? Tolong lebih waspada. Akhir-akhir ini banyak perkelahian di sini. Bahkan polisi tidak bisa melacaknya," sahut pria satunya. Pak Billy yang anaknya sering sekali merengek minta dibelikan es krim. Tangisannya di lantai tiga bahkan terdengar ke kamar Rose di lantai dua.
"Terima kasih atas perhatian Bapak-Bapak semua. Tapi saya bisa jaga diri. Saya selalu bawa semprotan cabai dan stunt gun," jawab Rose sembari menunjukkan semprotan cabai di dalam tas selempangnya. Stunt gun disembunyikan di tempat yang lebih rahasia sebagai senjata pamungkas terakhir.
Dua pria tersebut terkekeh. Agaknya mereka cukup terhibur dengan ekspresi Rose yang datar kendati tengah membicarakan hal serius. Setelah berpisah di lantai dua dengan Rose yang menitipkan masing-masing sebungkus permen untuk anak-anak dua pria tersebut, saatnya menikmati kesendirian tiba.
Mandi di dalam bak yang banyak busa dan sabun beraroma lavender selalu menjadi terapi ampuh mengusir lelah. Seakan seluruh kesulitan di tempat kerja luruh begitu saja seperti busa yang disiram air. Ia tak pernah meluangkan waktu membuka-buka ingatan lama tentang keluarga yang ditinggalkan dengan alasan ingin hidup mandiri.
Jika tak ada panggilan atau urusan, Rose tak akan sudi menghubungi mereka. Kendati wajahnya sama sekali tak menunjukkan ekspresi kesal, benci, dan jijik pada mereka, tetapi Rose sendiri masih menyimpan rasa itu dalam dadanya dalam-dalam. Apa pun yang terjadi, pantang baginya kembali.
Tak ingin berlama-lama di kamar mandi, Rose beralih ke kamar. Secangkir cokelat hangat didekap sembari menikmati koleksi musik klasik dan beberapa novel yang terhampar di kasur. Matanya yang berwarna cokelat menekuri tiap kegelapan dalam kamar. Merasakan dalam-dalam bahwa kesendiriannya sedikit menimbulkan sepi.
Mungkin ia harus mengadopsi kucing sehabis ini.
***
"Lucas, Bro. Aku tahu kalau kau ini nekat, tapi kau bunuh diri kalau memasuki area Earth Tiger," celetuk Hendry sebagai respons atas perkataan rekannya. Lucas baru saja berkata akan mendatangi salah satu anggota Earth Tiger yang kemarin membabakbelurkan adik lelakinya.
"Aku sudah datang ke sana dan tidak mati."
"Tapi kau menghajar kroco Erath Tiger! Demi sempak Ken, kau sudah membuat ketegangan antar geng meningkat!" omel Hendry.
Pria yang diajak bicara mencebik. "Tapi yang mengawali bukan aku."
"Kau yang ikut memperparah keadaannya!"
"Bukan cuma aku saja yang main-main dengan mereka. Kalau mau mengomel, sebaiknya bikin daftar absen karena ada belasan orang yang akan menyerang malam ini." Lucas memunggungi Hendry, pria itu buru-buru menjauhi rekannya sebelum omelan itu semakin melebar.
Malam ini, bukan hanya perkelahian biasa. Mungkin akan menjadi pertumpahan darah.
-Bersambung-