webnovel

Lontang

"Goblok!" suara Wulung terdengar menggelegar.

Wajahnya memerah, kemarahannya memuncak begitu tahu Wiro secara diam-diam pergi menyerbu Padepokan Cempaka Putih tanpa sepengetahuannya. Apalagi ketika ia mengetahui Wiro terluka akibat bertarung dengan dua orang asing yang ditemuinya dalam perjalanan.

Wiro tak berani mengangkat kepalanya menatap wajah Wulung yang menyeringai dan melotot kearahnya. Begitupun 5 orang anggota lainnya yang ikut serta bersama Wiro.

"Bisa apa kamu menghadapi Suro! Menghadapi dua orang asing saja kamu sudah balik langkah!" ucapnya lagi tanpa menurunkan nada suaranya.

Suasana hening sesaat, Wiro dengan beberapa orang pembantunya sengaja diam membiarkan Wulung dikuasai kemarahannya. Dan lagi, semua ini juga memang karena kesalahannnya. Jika pun Wulung nantinya akan memberi hukuman kepadanya, ia sudah siap.

Wulung sendiri rupanya menyadari, percuma saja ia meluapkan kemarahannya saat itu, toh semuanya sudah terjadi. Yang harusnya dilakukan saat ini adalah berusaha menekankan Wiro agar mematuhi perintahnya.

Untunglah orang yang menjadi tangan kanannya itu masih bisa pulang dengan selamat. Jika tidak, tentunya ia akan merasakan kesulitan untuk memenuhi ambisinya. Biar pun Wiro adalah tangan kanannya yang bebal dan suka bertindak diluar perintahnya, bisa dikata lelaki itu sangat berjasa besar bagi Wulung dan kemajuan perguruan Macan Hitam.

"Aku rasa, aku tidak akan kalah jika kembali berhadapan dengan dua orang asing itu. Aku mundur hanya karena terkejut dengan gerakan-gerakannya. Jika sudah tahu, maka aku yakin sudah memiliki antisipasi untuk menghadapi mereka," Wiro memberi informasi pada Wulung.

Jelas, ia tak mau dikatakan kalah begitu saja tanpa alasan. Selain itu, tentunya Wulung juga tidak akan terima murid aliran Macan Hitam dari petarung tingkat 5 bisa kalah. Padahal, tingkat 5 itu sudah sangat tinggi.

Wulung tak langsung menjawab, ia masih terlihat dikuasai amarah hingga beberapa saat.

"Ha.ha.ha....Ha."

Mendengar satu suara keras tiba-tiba muncul dari belakang, semuanya sama menoleh. Satu sosok lelaki bertubuh gempal berjalan melenggang memasuki ruangan dimana mereka berkumpul.

Melihat kedatangan lelaki itu, mereka semua langsung memberi jalan sambil menundukkan kepala. Berbeda dengan Wulung, raut wajah lelaki itu langsung berubah gembira. Wajahnya yang semula merah karena marah begitu cepatnya berganti.

"Lontang!" serunya sambil melangkah mendekati tubuh si lelaki gempal, kedua tangannya membuka menyambut kedatangan lelaki itu.

"Wulung!" sebutnya.

Mereka berdua berpelukan akrab sambil tertawa-tawa.

"Ada apa dengan orang-orang Macan Hitam ini? Sepertinya ada sesuatu yang luar biasa telah terjadi atau... sedang terjadi?"

Selesai lelaki yang baru datang itu berkata, tawanya yang keras kembali terdengar.

"Lontang, lama tidak terdengar kabar tahu-tahu kau muncul seperti hantu dengan suara tawamu yang jelek itu!"

Kali ini Wulung yang balas tertawa selesai berkata, disusul kemudian dengan suara tawa Lontang.

"Aku ini penggila ilmu, beberapa bulan ini aku sedang memperdalam ajian andalanku di Lembah Hantu."

Wulung menampakkan wajah penasaran, "O ya?"

Lontang mengangguk, wajahnya terlihat bangga sebagai kalimat jawaban untuk Wulung dan Wulung pun sudah faham begitu melihatnya.

"Tak mungkin aku berdiam diri sementara ajian-ajianmu juga semakin bertambah kuat. Aku juga tak mau dikalahkan olehmu'kan?"

Mereka berdua kembali tertawa, di sisi lain Wiro untuk sementara bisa bernafas lega.

Sejarah mereka berdua, antara Wulung dan Lontang adalah sahabat semasa kecil dan berasal dari guru yang sama. Hanya saja, seiring perjalanan waktu keduanya saling bersaing ilmu dan Lontang selalu berhasil dikalahkan oleh Wulung.

Merasa tak bisa mengejar ketinggian ilmu beladiri dan ajian Wulung jika ia masih berada dalam ajaran guru yang sama, maka ia memutuskan untuk keluar dan malang melintang didunia persilatan sambil mencari ilmu beladiri terkuat untuk dipelajarinya.

Akhirnya, ia pun bertemu dengan seorang ahli beladiri yang dianggapnya lebih sakti dari gurunya yang bersedia mengajarkannya sebagai murid.

Setelah menyelesaikan latihannya, kini ia muncul kembali dihadapan Wulung.

Wulung tertawa mendengar alasan Lontang.

"Baiklah... Saat ini lupakan dulu persaingan kita, kali ini aku sangat mengharapkan dukunganmu untuk menghancurkan padepokan Cempaka Putih!"

Lontang memandang Wulung sejenak, kemudian tersenyum.

"Dendam lama rupanya," katanya, "Aku memang mendengar kalau nama Cempaka Putih kembali terdengar, kupikir itu bukan lagi nama perguruan tetapi nama yang diberikan untuk sebuah tempat pengobatan. Karena, dari berita yang kudengar si pemiliknya juga berasal dari luar negeri ini."

"Awalnya aku juga berfikir demikian, tetapi setelah diselidiki si pemilik padepokan Cempaka Putih yang baru ini merupakan murid terakhir dai Ki Ronggo Bawu yang selamat dari kebakaran waktu itu," Wulung menjelaskan.

Lontang tertawa kembali, tetapi kali ini wajah dan tawanya terdengar seperti mengejek. Wulung bukannya tidak tahu makna tawa itu, tetapi ia maklum dan faham kenapa Lontang seperti itu.

"Pastinya, si murid usianya jelas sangat muda, dan tak mungkin kepandaiannya lebih dari gurunya. Mengapa begitu saja masih butuh bantuan?"

Bukannya marah, Wulung malah tertawa terkekeh.

Ia kemudian menggiring sahabatnya itu untuk duduk dan memerintahkan para muridnya menyiapkan hidangan. Ia akan menceritakan permasalahan yang mereka hadapi pada Lontang.

Mendengar apa yang diceritakan oleh sahabatnya itu, raut wajah Lontang malah berseri-seri, tetapi disisi lain juga sepertinya ia penasaran tentang sosok Suro, si pendiri padepokan Cempaka Putih yang baru. Makanya ia tersenyum sedikit meringis dan terkesan nyinyir pada Wulung.

"Aku akan menemui pemuda itu sekaligus untuk menjajal kemampuannya," ucap Lontang. "Aku akan berkunjung ke padepokan itu sekarang!"

Wulung sedikit terperangah, namun hanya sesaat, dan membatin "Sekarang?"

Kemudian ia tersadar kalau Lontang memiliki ajian berjalan cepat seperti angin dengan aji Supi Angin.

Lontang kemudian berdiri dan berjalan ke arah pintu, bibirnya terlihat komat kamit, lalu tak lama tubuhnya lenyap ditelan malam.

***

Tak butuh waktu lama, Lontang sudah berdiri di halaman padepokan Cempaka Putih. Terlihat lengang dan sepi, namun telinganya yang tajam mendengar suara orang bercakap-cakap dari dalam padepokan.

Setelah ia mengetuk pintu padepokan, suara perbincangan terhenti dan berganti dengan suara jejak kaki melangkah mendekati pintu.

Cheng Yu sedikit terperangah begitu mendapati sosok lelaki berjubah sudah berdiri dihadapannya dengan senyuman ramah.

Merasa bukan ancaman, Cheng Yu membalasnya dengan tersenyum pula, "Ada keperluan apa tuan datang malam-malam kemari?"

"Oh, saya kebetulan hendak berobat. Apakah jika malam hari tidak bisa dilayani?"

Cheng Yu terdiam sesaat, ia nampak berfikir, lalu pandangan matanya berputar berkeliling melihat situasi diluar. Sepertinya ia sedang menelisik asal kedatangan lelaki paruh baya di hadapannya itu.

"Sebenarnya, jika adikku ada, waktu apapun akan tetap dilayani. Tetapi mohon maaf karena saat ini adikku sedang berada di kampung sebelah, barangkali besok siang atau sore tuan bisa bertemu dengannya," jawab Cheng Yu, ia tak mencurigai Lontang yang mempunyai maksud tersembunyi.

Raut wajah Lontang sedikit menampakkan keheranan. Adik? Menurut apa yang diceritakan oleh Wulung, Suro adalah orang Jawa, sedangkan dihadapannya berdiri ada orang yang menyebut 'adik' pada Suro.

Cheng Yu rupanya menangkap perubahan raut wajah Lontang, kemudian ia buru-buru berkata sambil tersenyum, "Oh, Suro adalah adik angkatku, bukan adik kandung."

Lontang terlihat manggut-manggut.

"Jadi beliau sedang berada dikampung sebelah, ya? Sayang sekali, padahal aku sudah jauh-jauh datang kemari karena ada keluhan penyakit yang kuderita."

***

Sembari menikmati hidangan ringan, sepiring singkong rebus dan ubi serta hidangan teh yang disiapkan oleh isteri Seno, mereka duduk bersila berkumpul di ruang tengah melanjutkan pembicaraan yang belum selesai tadi sore.

Selesai menceritakan perjalanan mereka hingga sampai ke pulau Jawa, semua yang ada diruangan itu terdiam beberapa saat.

Dalam fikiran mereka, mereka sangat menyayangkan dan kasihan kalau kedatangan dua orang pendekar itu ke tanah Jawa dengan maksud menghindari kejaran tentara kerajaan, justeru keduanya akan kembali menghadapi masalah baru di negeri ini, dan Tien Jie mau pun Tien Lie nampaknya menyadari hal itu.

Mereka tersenyum setelah sebelumnya saling pandang dan akan mengucapkan kalimat.

"Pendekar Luo," ucap Tien Jie, "Kami bisa membaca diamnya kalian semua setelah apa yang kami ceritakan tadi. Bagi kami, bisa berjuang bersama anda merupakan suatu kehormatan. Tak ada yang kami takuti meskipun itu adalah kematian."

Suro menarik nafas dalam, senyumnya nampak dipaksakan.

"Saya tahu anda berdua adalah pendekar yang gagah berani, tak takut menghadapi bahaya apa pun. Tapi saya merasa bersalah jika sampai melibatkan anda berdua dalam masalah kami disini."

Sebelumnya, Suro sudah menceritakan panjang lebar tentang kondisi dan situasi yang mereka hadapi saat ini bersama padepokan Cempaka Putihnya. Makanya, kedua pendekar asing itu faham apa yang dimaksud oleh Suro. Dan pemuda itu pun sebenarnya tahu kalau dua orang pendekar yang pernah menjadi musuhnya dahulu itu nampak sudah siap untuk berjuang bersamanya. Apapun yang terjadi.

Mereka melarikan diri sebagai buronan hingga menyeberang ke negeri yang jauh ke tempat Suro berasal bukan berarti mereka takut. Hanya saja, selama masih ada tempat untuk selamat dan hidup sampai akhir hayat, tak ada yang salah dengan itu.

Apa yang sedang mereka alami saat ini mereka sadari akibat perbuatan dosa mereka di masa lalu terhadap Suro, dan mereka merasa pantas untuk menerimanya.

Sangat jelas dalam ingatan mereka waktu itu, dan bahkan tak akan pernah hilang terekam jelas dikepala mereka, bagaimana mereka melakukan perburuan pada Suro di China daratan.

Saat ini, setelah mereka menjadi buronan barulah mereka faham dan bisa merasakan apa yang dirasakan Suro waktu itu. Itulah yang akhirnya meneguhkan diri, bahwa secara utuh mereka menerima status mereka saat ini dengan hati yang ikhlas.

"Pendekar Luo, anda tak perlu merasa bersalah seperti itu. Kami menerima apa yang telah langit bebankan pada kami sebagai hukuman. Semua ini karena perbuatan kami di masa lalu yang telah berlaku tidak adil pada anda," Tien Lie menanggapi apa yang diucapkan Suro.

Suro tersenyum kecil sambil memandang berkeliling dimana semua keluarganya juga hadir. Sekali lagi ia mengeluarkan desahan panjang.

"Semua sudah terjadi.... semua sudah terjadi," sahutnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

Cukup lama suasana hening sampai suara Tien Jie kembali terdengar, "Sebenarnya, tak hanya kami yang menjadi buronan. Orang-orang dari Biara Shao Lin juga mereka buru dan bangunannya mereka hancurkan dengan alasan tempat itu adalah tempat pelarian para buronan."

Rupanya, kedua pendekar itu belum mengetahui kalau Suro sudah mendengar berita itu dari Ching So Yun yang juga bernasib sama seperti Tien Jie dan Tien Lie.

"Ada salah satu murid Shao Lin juga datang kemari sebelum kalian datang," sahut Suro.

Jawaban Suro membuat keduanya saling pandang lalu kembali menoleh ke arah Suro dengan raut wajah ingin tahu.

Bukan jawaban yang Tien Jie dan Tien Lie dapati, mereka melihat raut wajah Suro tiba-tiba berubah tegang.

"Dimas?" Seno langsung menyentuh tubuh Suro. Kakak seperguruan Suro itu sepertinya merasakan apa yang juga dirasakan oleh Suro. Makanya ketika Suro menoleh ke arahnya, pemuda itu sama-sama mengangguk.

"Aku merasakan tekanan yang besar datang," ucap Suro.

Seno buru-buru berdiri dan berjalan ke arah pintu. Begitu dibuka, semua orang dapat melihat sesosok lelaki berdiri beberapa tombak di halaman rumah Seno dengan tatapan mata tajam, tetapi bibirnya menyungging senyuman yang terkesan menakutkan.

Suro pun akhirnya menyusul Seno yang langsung berhadapan dengan lelaki itu, disusul orang-orang yang merasa penasaran juga keluar dan berdiri dibelakangnya.

"Yang mana diantara kalian bernama Suro?" tanyanya.

Lelaki itu adalah Lontang, orang yang datang ke Padepokan Cempaka Putih dan mendapat informasi dari Cheng Yu tentang keberadaan Suro.

"Bapak ada keperluan apa dengan saya?" Suro menjawab.

Lontang langsung tersenyum lebar setelah mengetahui orang yang ia cari sudah ia temukan, lalu melangkah semakin dekat ke arah mereka berdiri.

"Oh, pantas saja Wulung kerepotan menghadapimu. Energi batinmu sangat kuat..."

Sekarang mereka tahu kalau lelaki yang baru datang itu merupakan bagian dari aliran Macan Hitam.

Mendengar lelaki itu menyebut nama Wulung tanpa adab, sudah bisa dipastikan kalau ia adalah orang yang sepantar atau bahkan memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Wulung.

"Siapa bapak ini?" Suro kembali bertanya setelah pertanyaan sebelumnya tidak mendapat tanggapan.

Lontang sudah berdiri di hadapan Suro dan Seno.

"Namaku, Lontang!"

Selesai menyebut namanya, Lontang membuat gerakan mendorong dengan kedua telapak tangannya secara tiba-tiba menyasar dada Suro dan Seno.

Buk!!!

Brak!!!

Tubuh keduanya langsung bersamaan terlempar dan menghantam dinding rumah Seno.

Beruntung, latihan dan pengalaman bertarung membuat kedua murid Cempaka Putih itu refleks sempat menyilangkan dua lengannya membendung pukulan berisi tenaga dalam milik Lontang. Itu pun cukup membuat dada keduanya sesak dan meringis kesakitan.

"Kakak!" Li Yun dan Rou Yi serentak histeris lalu buru-buru mendatangi mereka untuk membantunya berdiri.

Melihat yang dialami oleh Suro dan Seno membuat Tien Jie dan Tien Lie bereaksi dengan mengeluarkan pedangnya masing-masing dan langsung membuat tebasan ke arah Lontang dengan sekuat tenaga.

Mendapati serangan kedua pendekar Api dan Angin membuat Lontang melakukan dua kibasan tangkisan kiri dan kanan dengan tangannya. Tetapi, dari mulutnya terdengar suara desis kesakitan. Serangan Tien Jie dan Tien Lie yang berisi tenaga dalam seperti mengiris dua lengannya yang digunakan untuk menangkis. Ia menganggap remeh kedua pendekar asing itu.

Ketika dilihatnya Tien Jie dan Tien Lie hendak melakukan serangan kembali, ia buru-bru melompat ke arah Yang Li Yun dan meraihnya lalu menjadikannya sebagai tameng dari serangan Tien Jie dan Tien Lie. Hal itu sontak membuat keduanya langsung menghentikan serangan.

"Li Yun!"

"Kakak!"

Suro mencoba meraih tubuh Li Yun, tetapi ia kalah cepat meraih tubuh isterinya yang kini sudah berada dalam cengkeraman Lontang tanpa bisa melakukan perlawanan.

Sambil memandang ke arah kumpulan orang-orang, Lontang berseru, "Aku tunggu kedatangan kalian di Perguruan Macan Hitam!"

"Tunggu!!!" Suro berseru sambil melambaikan tangannya, tetapi tubuh Lontang sudah keburu menghilang membawa Li Yun.

Nächstes Kapitel