"Aku ingin kau ikut OSIS. Selain menjadi tangan kananku, aku ingin kau menjadi ujung tombak sekolah ini."
"Apa hubungannya dengan menjadi OSIS, Kak Avisha?"
"Aciel. Ujung tombak selain dipilih berdasarkan kekuatan dan kemampuan mereka, mereka dipilih berdasarkan ke populeran mereka."
"Jadi ada pemilu di akademi ini dan kamu ingin aku jadi calon legislative?"
"Begitulah..."
"Hadeh... Lalu bagaimana dengan Valkyrie yang ingin kau bicarakan?"
"Temui aku nanti sore setelah seleksi OSIS..."
"Ya ampun..."
****
Kamis
Jam 4 sore
"Baiklah, selanjutnya!"
Cahaya sore menyinari sekolah dengan warna jingganya. Langit biru yang begitu cerah diisi dengan sapuan awan putih dan abu-abu yang tertiup oleh angin. Hari itu sangatlah indah dan menenangkan. Sungguh hari yang membuat ngantuk dan lelah. Tiupan angin berhembus dengan pelan membawa kesejukan tersendiri bagi siapa saja yang menikmatinya.
Di barisan para calon OSIS, Aciel berdiri. Dia sudah menunggu 30 menit dimulai semenjak peserta pertama masuk ke dalam ruang OSIS untuk diwawancarai dan di tes oleh para pengurus OSIS. Aciel yang gugup dan pemalu berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengacaukan semuanya. Dalam hati dia terus saja berkata "Aku pasti bisa!" Berulang-ulang kali. Dia begitu gugup hingga dia sudah berkeringat dingin sebelum wawancaranya dimulai.
"Ok, selanjutnya..." Ucap sang pengurus OSIS. Barisan berjalan satu langkah ke depan. Dan Aciel semakin ketakutan. Dia berdoa dan berdoa. Bahkan hembusan angin yang menenangkan tidak bisa menenangkannya.
"Ok, selanjutnya..." Ucap sang pengurus OSIS. Dan Aciel semakin tidak karuan lagi. Sehabis ini Aciel akan masuk tepat setelah ini. Aciel semakin gugup. DIa ketakutan. Dia panik. Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Mentalnya yang sudah rusak karena Sintia dan Alena masih belum sembuh akan menjadi semakin rusak karena seleksi OSIS yang menakutkan itu.
"Kakak, aku rasa ini bukan ide bagus. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika nanti aku mengacau? Apa yang akan terjadi? Harga diriku akan hilang. Aku akan dibully habis-habisan oleh seluruh kelas. Harga diriku akan hilang. Semuanya akan kacau. Kakak akak kecewa padaku. Beasiswaku akan hilang. Lalu aku tidak akan diterima di sekolah ini lagi. Masa depanku akan hilang. Semuanya akan berakhir dengan aku menjadi gelandangan. Tidak lama kemudian aku akan kelaparan dan mati dipinggir jalan. TIDAK!"
"Kenapa mas kok teriak?"
"Hng... Tidak apa-apa. Aku... Aku..."
"Aku apa?"
"Aku gugup, mas pengurus OSIS."
"Haha, aku juga dulu gitu. Saat kamu masuk kamu santai aja, kamu boleh duduk atau berdiri. Setelah itu kamu jawab semua pertanyaan mereka dengan percaya diri, sehabis itu-"
Lalu di belakang sang pengurus OSIS, muncul teman perempuannya yang lalu menggandengnya dan menariknya menjauh. Terlihat dari kejauhan perempuan itu memarahi dia. Seorang pahlawan tanpa tanda jasa telah gugur di medan perang.
"Aku tidak akan membuat pengorbananmu sia-sia, mas pengurus OSIS." Ucap Aciel. Dia sadar ada seseorang yang sudah rela berkorban demi dia. DIa tidak akan membiarkan perjuangan orang tersebut sia-sia.
"Ok, selanjutnya, masuk!"
Aciel lalu masuk dengan percaya diri. Tatapannya fokus ke depan. Dia tahu apa yang harus dia lakukan dan dia akan berhasil. DIa yakin akal hal itu. Dengan gagah dia berjalan masuk ke dalam ruangan yang senyap itu. "Assalamualaikum!" Ucapnya dengan tenang.
"Waalaikumsalam. Namamu siapa? Umur, kelas, dan visi misi." Tanya salah satu dari tiga panitia OSIS penguji dengan nada dingin dan menekan. Aura para penguji benar-benar terasa dan sangat mengintimidasi. Sebuah tatapan sinis yang menusuk ke dalam mata yang melihat. Menjatuhkan mental siapa saja yang mencoba bersinar.
Walau terkena efeknya, Aciel tetap berusaha tenang dan melawan gugupnya. Dengan tegas tetapi sedikit cepat dia berkata "Nama saya Aciel, umur 16 tahun. Saya dari kelas 1A." Para panitia lalu spontan menatap Aciel dengan serius dan dingin. Nafsu membunuh membara dibalik mereka. Aura hitam yang mengerikan memenuhi ruangan itu. Mereka juga berbisik-bisik setelah Aciel menyebutkan namanya itu.
"Apa visi dan misi kamu?" Tanya salah satu panitia. Aura yang sangat mengintimidasi berhembus menghajar Aciel yang sedang gugup.
"Visi saya...." Dia berpikir dengan sangat keras. "Sial, aku ngga diberitahu apa-apa sama kakak kalau ada yang kaya gini!" Ucapnya dalam hati.
"Iya, visi kamu apa?" Tanya salah satu panitia. Aura mengintimidasi berhembus kencang menghajar Aciel lagi.
Tapi Aciel masih bertahan. "Visi saya adalah memajukan dan mempertahankan Akademi Cakrawala Maya 1 Neo-Jakarta menjadi yang terdepan dalam bidang prestasi, akhlak, dan sopan santun."
"Misimu?"
"Misi saya adalah menjalani hidup dengan jalan ninjaku."
"Hah gimana?"
"M-maaf... Misi saya adalah.... Hmmmm.... Argh!" Dalam hati Aciel menangis. Dia menahan kakinya untuk tidak bergetar hebat.
"Kalau kamu ngga punya misi mending keluar sana!"
"MISI SAYA ADALAH.... MISI SAYA ADALAH... MISI SAYA ADALAH..."
"IYA APA?"
Lalu Aciel yang panik mengatakan dengan cepat, "Mengadakan pentas seni local dan jepang dengan banyak cosplayer lokal dan jepang! Membuat akademi Cakrawala Maya menjadi lebih disiplin dengan pendisiplinan masal dan kamp konsentrasi, membuat komik berwarna menjadi lebih diminati oleh pelajar, dan membuat akademi mengadakan event Cyber Firmament yang megah dengan sponsor dari luar dan membuat setiap anggota OSIS mendapatkan uang gaji dari event tersebut."
Lalu salah seorang panitia menahan tawanya mati-matian sambil memegangi perutnya. Kedua panitia yang lain juga menahan senyumannya dengan setengah mati. Lalu seorang panitia mencoba bertanya kepada Aciel sambil menyembunyikan tawanya. "Apa mottomu?"
Dengan cepat Aciel menjawab "Shinjou Sasageyo Tatakae!"
"Yah apapun itu. Nama lengkapmu siapa?"
"Aciel Ezra, bang."
Mereka berdua masih mati-matian menahan tawanya setelah mendengar Aciel. Dan mereka makin mati-matian menahan tawanya karena mereka sadar Aciel adalah adik dari wakil ketua OSIS, Avisha Ezra yang terkenal itu. Lalu akhirnya mereka tertawa dengan keras.
"Adiknya si Ezra sangar bener njir."
"Hahahaha, kamp konsentrasi, dikira Gulag apa?"
"Wkwkwkwk iya. Jadi, kita apakan dia?"
Lalu Aciel sedih dan depressi karena dia sadar, harga dirinya sudah hilang. "Ini adalah hari terakhir aku hidup. Aku tidak punya harga diri. Sekarang, aku akan menjauh dari kehidupan social sebagai mana antisipasi yang seharusnya dilakukan." Ucapnya.
"Yaudah, kamu boleh keluar sekarang hahahahahahahahaha." Ucap salah satu panitia itu. Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Dan Aciel jadi semakin sedih atas hal itu.
Epilog
Semenjak hari itu, Aciel mendapatkan PTSD dan kerusakan mental yang berkelanjutan.
****
"Dek, gimana interviewnya... Dek?" Avisha menggoyang-goyang badan Aciel yang sedang terduduk sendirian di taman sekolah. "Dek, kamu kenapa? Dek?"
"Kak... Hiks... Aku diketawain."
"Pfffft Hahahahahaha aku sudah denger dari teman-temanku."
"Sialan, adik sendiri diketawain, harga diriku sudah hilang!"
"Hahahahaha bentar, perutku sakit-mwuhahahahahah,"
"Jahat! Dah lah aku mau pergi,"
"B-bentar hahahahaha, kamp konsentrasi hahahahahaha-uhuk, ahahahahaha."
"Dah lah, kalau kamu kesini mau mengejek aku, ya sudalah."
"Hahahaha iya, ganbatte! Hahahahahaha."
****
Malam hari, setelah hari yang berat
Di kamar Aciel
Michael sedang bermain game console milik Aciel sementara Aciel masuk ke dalam selimutnya, sedang menangis. Dia menyembunyikan wajahnya dari mata dunia karena dia sudah kehilangan harga dirinya sebagai laki-laki terhormat.
"T-tuan, kenapa kau terus menangis daritadi? Ada yang bisa aku bantu?"
"Michael... Aku habis ditertawakan di interview OSIS. Hiks..."
"J-jangan menangis tuan, anda sudah hebat dapat melalui interview tersebut."
"T-tapi harga diriku tidak, hiks. Bagaimana kalau hal ini menyebar ke seluruh akademi?"
"Entahlah, tapi rasanya tidak. Anda harus percaya diri akan hal ini."
"I-iya... Yasudalah, aku mau pergi ke minimarket dulu."
"Perlu aku temani, Tuan?"
"Tidak usah, kamu jaga kamarku ini saja, aku ingin sendiri dulu."
"Siap, Tuan."
Lalu Aciel mengambil jaket abu-abunya yang bermotif sayap berwarna biru di punggunya dan memakai hoodienya. Dia menaruh kedua tangannya di saku jaketnya. Lalu dia keluar sambil menunduk. Dia menyembunyikan wajahnya agar tidak dikenali oleh orang lain.
Pada malam hari, akademi ramai dengan murid-murid di dalamnya. Ada yang membakar kayu untuk membakar marshmallows, ada yang menjadi DJ dan menggerakkan masa, ada yang bermain kejar-kejaran, ada yang bermain cyber firmament di ruangan khusus dan di lapangan, dan ada juga jalan-jalan keluar akademi mencari angin malam.
Kali ini, Aciel tidak ingin terlihat oleh siapapun karena malunya dia atas kejadian tadi sore. Dia memutuskan untuk bergerak di dalam bayangan dan menghindari orang-orang.
Dia berjalan keluar akademi. Dia melangkahkan kakinya keluar dari situ dan pergi ke minimarket terdekat. Dia berjalan dengan pelan sambil menikmati angin malam. Sejenak dia menghirup udara dalam-dalam dan menghela nafasnya. Dia melihat ke langit untuk menyapa bintang-bintang malam di langit yang tidak berawan. Bintang-bintang malam bersinar di langit hitam. Angin berhembus kencang menerpa wajah Aciel dan dia menikmatinya dengan memejamkan matanya. Perasaan tenang dan damai mengisi hatinya yang terluka dan berlahan menyembuhkannya.
Sampailah di minimarket, Indoapril namanya. Aciel lalu masuk ke dalamnya. Dia mendapati ada seorang perempuan yang seumuran dengannya sedang berdebat dengan tukang kasir.
"Hey, aku mau kau tanggung jawab untuk ini, aku mau ini ya ini!"
"Mohon maaf tidak bisa, mbak, harga yang disitu salah, periode diskonnya sudah selesai kemarin, mbak."
"Terus kenapa masih dicantumin disitu? Ha?"
"Kami belum sempat menggantinya!"
"Omong kosong, cukup basa-basinya, aku ingin sarsaparillaku dengan harga segini."
"Tidak bisa!"
Nampaknya ada seorang perempuan tomboy yang marah lantaran harga minuman yang dia beli lebih mahal dari yang dia kira karena periode diskon minuman tersebut sudah habis kemarin. Mereka masih terus berdebat dan berdebat.
Tapi Aciel tidak menghiraukannya. Dia berjalan dengan tenang ke kulkas minimarket itu dan mengambil sebuah minuman kaleng. Susu Ricardo rasa coklat. Dia lalu datang dan mengantri seperti biasanya. Karena minimarket itu sedang sepi, dia alhasil mengantri tepat di belakang gadis tomboy itu. Debat mereka berdua semakin lama semakin panas.
"SIALAN, AKU MAU MINUMAN INI!"
"Maaf, anda lebih baik keluar saja dari sini!"
"Keparat, jadi ini caramu melayani pelangganmu? Pantas saja tempat ini sepi, dasar tidak becus!"
Lalu Aciel menyela mereka berdua. "Maaf, disini masalahnya apa?"
"Hey kau, asal kau tahu, harga minuman ini disana tertulis Rp30.000. Lalu si sialan ini bilang harganya 50.000. Aku hanya bawa 30.000 untuk ini." Ucap gadis itu sambil marah.
"OOooowh... Yaudah, ini." Lalu Aciel memberikan sebagian uangnya. "Nih, daripada kalian debat terus. Gausah diganti, anggap aja hadiah."
"K-kau yakin?" Tanya gadis itu.
"Yep." Jawab Aciel datar.
"terimakasih kawan!" Lalu gadis itu merangkul Aciel. "Kau memang terbaik
"Sama-sama." Jawab Aciel datar.
Saat membayar, gadis itu juga masih merangkul Aciel dengan senang. Mereka berdua keluar dari minimarket itu bersama-sama. Gadi itu sangat senang dengan Aciel.
"Hey bro, makasih ya dah bantuin gua."
"Yep. Kamu dari Jakarta asli?"
"Yoi!"
"Oh..."
"Nama lu siapa?"
"Aciel, kalau kamu?"
"Firza. Salam kenal."
"Okeh."
"Jadi, apa yang bisa gua bantu untuk lu?"
"Halah, gausah dipikir, kamu ngga hutang budi apa-apa kok."
"Yah setidaknya gua pingin ngelakuin sesuatu gitu, wait..." Firza menyadari sesuatu di wajah Aciel. "Lu habis nangis?"
"Eng-engga kok,"
"Laki-laki kok nangis, emang kenapa? Lu habis dibully?"
"B-bisa dibilang gitu hehe."
"Siapa yang bully, cih, gua ga suka sama orag yang menindas orang lain yang lebih lemah." Ujarnya dengan marah. Lalu dia melanjutkan, "Tapi gua juga ga suka laki-laki lemah, tapi gua lebih benci sama tukang bully."
"Anu, lemah... Ya maap." Lalu Aciel semakin murung.
"Oy, oy, jangan nangis lagi ah!"
"Gua kaga nangis! Cuma kata-kata lu nyelekit tahu gak!"
"Yeee sorry deh..."
"Aku ga lemah." Ucap Aciel. Dalam hati dia berkata, "Aku harus bisa naikin harga diri gua sedikit. "Gua menang pertarungan dua kali. Salah datu dari mereka jadi anak buah gua."
"Beneran?"
"Iya beneran!"
Lalu Michael muncul di belakang Aciel. "Tuan, siapa dia?"
Firza terkejut. "T-tuan? Serius kamu jadi bawahannya dia?"
"Yap, nama gua adalah Michael. Sang penakluk dari Jakarta Utara."
"Woho, Michael? Sang serigala penyendiri? Serius ini lu? Keren." Ujarnya. "Gua suka gaya lho, pendiem, penyendiri, tapi mematikan dan omongannya bukan omong kosong. Gua pingin nantang lu buat tarung sama gua kapan-kapan." Lalu dia tersadar sesuatu, "Wait, lu jadi bawahannya dia?"
"Iyap begitulah. Gua kalah sama dia."
"Anjir, kok bisa? Berarti lu!" Dia menunjuk ke Aciel. "Lu lebih kuat dari Michael berarti? Ayo tarung sama gua."
"Tarung gimana?" Tanya Aciel.
"Ayo adu jotos sama gua sini!"
"Eh anjir, gua kaga menghajar cewe."
"Kelamaan!" Lalu Firza memukul perut Aciel. Aciel tersedak.
"T-tuan!" Ucap Michael. Langsung saja Michael mendorong Firza dan menantangnya. "Beraninya lu ngehajar tuan gua, langkahi dulu mayat gua baru dia."
"Boleh, sini ayo! Yeeeha!" Dia lalu beradu jotos dengan Michael. Tetapi Firza, dia seperti tidak bersungguh-sungguh dalam bertarung. Dia hanya bermain-main dengan Michael. Lalu satu pukulan dari Firza mendarat di wajah Michael. Michael langsung jatuh karena pusing. "Lho, Michael? Segitu doang? Ok sekarang kamu, siapa tadi namamu?"
"Namaku Aciel," Ucap Aciel.
"Ah iya Aciel, kesini kau!"
"Hiyaaaa!" Aciel lalu lari dari situ. Tapi belum sempat dia kabur 5 meter, Firza sudah menangkapnya.
"Gotcha!"
"AAAAAAAAAA!!!"
Lalu Aciel dicekik oleh Firza dengan kuncian tangannya. Akhirnya Aciel jatuh juga.
"Padahal aku cuma main-main, kalian malah jatuh beneran. Dan bukannya harusnya Aciel lebih kuat dari Michael?"
"Ya ngga gitu juga bambank!" Ucap Aciel marah.
"Dah lah ayo sini," Lalu Firza merangkul mereka berdua dan memeluknya. "Makasih ya buat semuanya!"
Aciel dan Michael tercekik karena pelukan Firza terlalu kuat.
"T-tuan Aciel, kenapa ada perempuan sekuat ini?"
"Entahlah... Apakah UKS masih buka?"
"Sepertinya iya, Tuan."
"Baguslah..."
Lalu Firza melepaskan mereka berdua. Wajah senang terlukis di wajahnya. Dia lalu melambaikan tangan salam perpisahan kepada Aciel dan Michael.
"Bye-bye, Aciel, Michael, I love you guys!"
"Y-yes..." Balas mereka berdua.
Lalu Firza pergi dan menghilang dari pandangan mereka berdua.
"Siapa perempuan itu, tuan?" Tanya Michael.
"Konon katanya namanya Firza..."
"Oh, Firza... Aku tidak tahu siapa dia. Tapi aku seperti pernah dengar nama itu."
"Kamu pernah mendengarnya di game mobil balap Horizon."
"Yah mungkin saja... Ayo kita pulang, tuan."
"Iya... Omong-omong kenapa kau mengikutiku?"
"Karena aku khawatir padamu, tuan."
"Michael... MICHAEL!" Lalu Aciel loncat ke pelukan Michael. "Ternyata kamu peduli, hiks." Aciel lalu menangis di pelukan Michael.
"Tuan, ayo kita pulang. Kepalaku pusing."
"Iya, ayo."
Dan malam itu berakhir. Setelah Aciel dan Michael dihajar oleh seorang perempuan bernama Firza, mereka berdua berpulang ke akademi untuk tidur dan bersiap untuk hari terakhir mereka sekolah sebelum weekend datang. Jumat.
"Hey, Nathan. Kenapa kamu harus pergi?"
"Entahlah, tapi aku harus pergi dengan orang tuaku."
"Jangan tinggalkan aku, Nathan! Kumohon!"
"Maaf Aciel. Aku harus pergi. Tapi aku janji aku tidak akan melupakanmu."
"Nathan, jangan pergi kumohon."
"Bye bye Aciel. Sayonara!"
"Nathan..."