webnovel

Pejuang Garis Dua 2

Lagi-lagi hanya lamunan yang ada dikepala Ara bahkan sejak kemarin malam mata Ara tak memiliki rasa ngantuk sedikitpun. Anak...anak...anak itulah yang ada dikepalanya.

"Iya masuk.." Ara menyaut saat seseorang mengetuk pintunya dan itu Farah. Dapat Ara liat perut temannya itu sudah membesar. Ya...namanya juga orang hamil jelas akan terlihat jelas secara fisik. Ara menatap perutnya dengan lekat sampai membuat Farah heran.

"Bu ga papa?"

"Ga papa, duduk Rah nanti pegel lagi." Ara memaklumi karyawannya itu. Farah memberikan laporan accounting yang diminta Ara. Mereka berdiskusi selama beberapa jam hingga Farah menyadari ada yang berbeda dari sorot mata Ara. Meskipun sedaritadi pembicaraan mereka tampak lancar tapi mata Ara selalu menampakkan kesedihan. Kesedihan yang Farah tak tahu bersumber darimana.

"Bentar lagi istirahat, mau ngopi bareng?"

"Emang boleh ibu hamil ngopi?"

"Ya..kan gw bisa beli yang lain sekalian gw ajakin Sonya sama Mia, udah lamakam ga pergi bareng."

"Oh oke, tapi gw ga bawa mobil hari ini."

"Ntar gw pinjem mobil Sandi aja." Farah pwrlahn berdiri sementara Ara bersiap-siap untuk pergi menghampiri temannya yang lain. Mia memilih untuk menjadi supir hari ini. Mereka pergi ke sebuah tempat makan yang menjadi rekomendasi Sonya. Katanya tempatnya bagus dan tentu saja aman untuk Farah yang sedang mengandung. Sesampainya disana masing-masing sudah disibukkan dengan pemilihan menu makanan dan benar saja bukan hanya tempatnya yang enak pilihan makanannya pun tak kalah menggiurkan.

"Ra kemarin gimana ke Dubai?gw liat bagus banget deh tempat-tempat yang lu update."

"Iya emang bagus Mi, gw puas banget disana dan bahkan waktu 5 hari ga cukup buat gw."

"Gw pingin sih tapi gimana ga ada pasangan." Canda Mia disambut tawa Sonya.

"Ra..sorry nih, gw penasaran aja daritadi lu keliatan sedih, kenapa?apa ada masalah dikantor?kalo ada bagi-bagi kenapa sih?gw juga kan tim lu juga." Farah mulai masuk kedalam topik pembicaraan yang membuat Mia dan Sonya saling bertatapan. Rupanya bukan hanya mereka yang merasakan perubahan sikap Ara tapi Farah juga. Ara diam dia mengaduk minumannya sendiri.

"Ini udah jam istirahat kok, lu temen gw sekarang bukan bos." Ucapan Sonya seolah memaksa Ara untuk bercerita tentang hal yang menganggu pikirannya.

"Kenapa ya, orang yang belum nikah terus begituan di sembarang tempat eh malah mudah banget buat hamil tapi banyak suami istri yang udah nikah secara resmi justru malah susah punya anak." Ara dengan Suara penuh kesedihan. Kini mereka tahu bahwa ini adalah tentang baby. Mia dan Sonya bingung karena mereka berdua tak ada pengalaman sama sekali. Keduanya memandang Farah yang mungkin bisa menjawab pertanyaan Ara.

"Anak itu Rejeki dan masing-masing udah punya rejekinya. Mungkin itu cara Allah negur perbuatan mereka salah lewat hamil."

"Terus Allah lagi negur gw makannya gw ga hamil-hamil? Gw ga tahu...salah gw apa.." Ara dengan mata berkaca-kacanya. Mia segera menyodorkan tisu.

"Sabar, semua orang itu punya takdirnya masing-masing. Ya..ibarat nikah. Ga sedikit kok orang yang pingin nikah tapi sampai udah menginjak diusia matengnya belum juga ketemu jodoh. Mungkin rejeki nikahnya dia emang harus nanti sama kaya lu, mungkin Allah pingin kasih tahu sekarang kalo belum saatnya lu hamil tapi pasti nanti ada waktu yang tepat lu hamil. Allah tuh lebih tahu waktu yang baik buat lu kapan. Coba bayangin kalo kemarin lu hamil terus ngadepin kondisi keluarga lu waktu itu gimana?lu diculik dengan anak lu gimana?. Allah pasti udah punya rencana yang jauh lebih indah kok but lu sama Dariel." Farah sambil mengusap pelan punggung Ara yang sudah menangis sekarang. Untung Sonya memilih tempat yang tertutup sehingga mereka berempat tak perlu lagi khawatir dengan anggapan orang saat melihat Ara menangis.

"Udah Ra, sabar. Kalo lu pingin hamil jangan stres-stres suruh si Chandra tuh kerja yang bener." Mia berpindah duduk disamping Ara ikut memberi semangat kepada bosnya itu.

"Gw tahu gw bukan ahli bidang kesehatan, apalagi yang terkait reproduksi gw oon banget soal itu tapi...apa kalian ga coba ke dokter dulu?sekarangkan banyak tuh program bayi-bayian. Maksud gw kaya konsul ke dokter atau apalah gitu Ra. Ah..ga tau deh gw ngomong apa. Gw ga ngerti." Sonya bingung sendiri dengan ocehan tentang kehamilannya padahal sebelumnya dalam kepalanya sudah ada ide untuk membantu Ara.

"Gw..gw pingin coba ke dokter tapi gw takut, gw takut sama hasilnya. Gw ga mau kalo harus denger itu."

"Ra...seengaknya lu jadi tahu masalahnya dimana. Daripada lu nebak-nebak terus nyalahin diri lu sendiri. Kenapa ga dicoba aja?Toh gw yakin kalopun ada masalah dokter punya solusinya."

"Iya, lu kan bisa bayar dokter termahal dan terahli sekalipun. Pokoknya dokter terbaik di dunia pun pasti lu jabanin. Semangat Ra. Selain lu doa, usaha juga perlu Ra. Kali aja dengan lu tahu masalahnya jadi bisa punya." Ucap Sonya tanpa malu mengungkit kekayaan Ara.

"Kalo lu mau, gw kasih tempat gw Konsul dulu. Dokternya baik kok jelas lagi kalo ngasih tahu ini itu. Kali aja cocok." Farah memberikan referensinya sementara Ara masih berpikir dengan saran dari teman-temannya. Apa jalan ini patut dicoba?apa harus sejauh ini?.

***

Mereka berempat terlambat 10 menit saat masuk kantor karena drama Ara tadi. Kini mereka berada di lift dan bersiap kembali ke tempatnya masing-masing.

"Udah jangan sedih-sedih ngaruh loh itu. Kalo ada apa-apa tuh cerita."

"Iya makasih Rah.."

"Kita duluan ya.." Ucap Mia ketika pintunya Liftnya terbuka. Kini Ara menekan lagi tombol untuk melanjutkan jalannya lift ke ruangannya.

"Bu ada yang nungguin diruangan." Ucap Chandra saat melihat Ara berjalan menuju pintunya

"Siapa?"

"Bos kedua." Chandra tak menyebutkan namanya lalu perlahan Ara membuka pintu ruangannya.

"Darimana sayang?udah jam 1 lebih nih." Sapa Dariel begitu melihat istrinya dibalik pintu.

"Oh..kamu kirain siapa."

"Kamu?"

"Itu Chandra bilang bos kedua." Ara meletakkan tas nya dimeja.

"Pertanyaan aku belum dijawab."

"Aku habis makan siang bareng Mia, Sonya sama Farah."

"Oh..kirain ada meeting dari luar." Dariel menatap Ara yang kini terlihat mengambil sesuatu di tasnya.

"Sayang liat aku." Perintah Dariel membuat Ara memandangnya.

"Kamu habis nangis?"

"Ah..engga." Ara langsung menghindari tatapan Dariel.

"Wajah kamu merah-merah." Dariel tak percaya lalu mendekat ke kursi Ara sementara istrinya itu sedang membenarkan make up-nya. Sepertinya sudah terlambat untuk menutupi wajah sendunya dari Dariel.

"Ada apa?" Dariel duduk kecil dimeja kerja Ara.

"Ga ada apa-apa."

"Yakin?"

"Iya yakin."

"Yakin mau bohong sama aku?aku bisa tanya sama temen-temen aku sekarang, mereka apain kamu." Dariel segera mengeluarkan Handphonenya. Ara bingung harus mencari alasan apalagi.

***To Be Continue

Nächstes Kapitel