webnovel

Chapter 33 : Decision

Tak.

Syut.

Tak.

"Terus begitu Nona Hinata, pergerakanmu semakin bagus!" Seru Toneri sambil tetap menangkis serang Hinata yang tertuju ke arahnya.

"Hai!" Hinata tersenyum, semakin semangat mengarahkan serangannya.

Tak.

Tak.

"Ayo jangan ragu-ragu Nona Hinata!" Toneri menyeringai.

Tek.

Toneri terpojok, mendapati langkah mundurnya terhenti oleh sebuah pohon di belakangnya.

Syut.

Toneri kembali terfokus ke arah Hinata, terkejut, kedua mata-nya mulai membulat sempurna.

Hinata berdiri di hadapannya, dari kedua tangannya muncul chakra berbentuk kepala singa, jurus khas keluarga utama klan Hyuuga.

"Juuho Sooshiken!" Teriak Hinata, seketika itu meloncat ke arah Toneri sembari mengarahkan pukulannya tepat ke arah Toneri yang masih terkesiap.

"Celaka!" Umpat Toneri, dengan cepat berguling ke samping, menghinadari jurus Hinata.

Duar.

Toneri berhasil menghindar tepat waktu, dilihatnya pohon yang sempat menjadi sandarannya sekarang sudah hancur berkeping-keping, menyisakan serpihan-serpihan kayu yang berterbangan di udara.

"Huuh menyebalkan, Kak Toneri terus saja menghindar!" Seru Hanabi, nampak terduduk di tepi teras, sedang menikmati latihan yang dijalani oleh kakak perempuannya.

"Kali ini pasti bisa!" Ucap Hinata, Kembali mengeluarkan Chakra berbentuk kepala singa dari kedua tangannya.

"Tidak perlu menahan diri lagi, Toneri-Kun!" Teriak Hinata, kembali meloncat ke arah Toneri dari balik kepulan asap putih.

Duar.

Kali ini tanah lah yang menjadi korban, menyisakan sebuah kawah kecil akibat jurus pamungkas Hinata.

Lagi dan lagi, Toneri kembali menghindar, kali ini sudah berdiri tak jauh di sisi barat Hinata.

"Toneri-Kun, jangan ragu lagi, kau tidak perlu terus bertahan seperti itu." Hinata nampak menurunkan tangan, tidak suka dengan Toneri yang semenjak tadi hanya mengambil sikap bertahan, tidak ada keinginan untuk membalas serangan Hinata sekali pun.

"Ah, keliatan ya." Toneri tersenyum.

Hinata hanya mengangguk pelan, dengan segera mengambil sikap bertarung lagi.

"Ayo mulai lagi Toneri-Kun!" Seru Hinata, mulai memandang tajam ke arah Toneri yang masih tersenyum.

"Baiklah, kau yang minta Nona Hinata, aku tidak akan bertahan lagi." Jawab Toneri santai, masih tersenyum.

Dengan sigap Hinata langsung meloncat ke arah Toneri, bersiap melakukan serangan kejutan.

Toneri yang melihatnya hanya bisa tersenyum kecil, dan ketika itu menghilang dari pandangan Hinata.

"Hah, kemana dia?" Hinata dengan cepat memperhatikan sekeliling, mencari keberadaaan sosok Toneri yang secara tiba-tiba menghikang tanpa jejak.

"Aku di sini Nona Hinata." Sebuah suara yang terdengar santai muncul dari arah belakang Hinata, membuat Hinata dengan cepat membalikkan badan.

Duak.

Hinata tak dapat menghindar, Toneri dengan cepat menyerangnya dari belakang, berhasil mengarahkan Juuken-nya tepat ke titik Chakra Hinata.

Poof.

"Bunshin?!"

Toneri terkesiap, Hinata yang baru saja diserangnya berubah menjadi kepulan asap putih, membuat kedua mata-nya membulat sekarang.

"Sial!"umpat Toneri, dengan cepat menoleh ke arah belakangnya, mendapati Hinata sudah melayangkan pukulan di udara, membuat Toneri tak lagi bisa menghindar sekarang.

Tak terjadi apa-apa, Toneri tak merasakan sakit, perlahan mulai membuka mata, mendapati pukulan Hinata berhenti di udara, hanya berjarak beberapa senti lagi dari perut Toneri.

"Ada apa Nona Hinata, kenapa berhenti?" Tanya Toneri, terkejut melihat Hinata yang masih belum menuntaskan serangannya.

"Nee-san kenapa berhenti?!" Teriak Hanabi dari kejauhan, ikut terkejut melihat Hinata yang masih tak bergeming, tetap tak melanjutkan serangannya.

"A-aku t-tidak bisa." Jawab Hinata terbata-bata, dengan segera menegakkan kembali tubuh-nya, mulai menunduk lesu.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Toneri, mulai bergerak menghampiri Hinata yang masih menundukkan kepala.

"Aku baik-baik saja!" Sanggah Hinata, segara mengangkat kepala, memaksakan sebuah senyuman ke arah Toneri.

"Kita istirahat dulu, aku merasa sedikit lelah." Tambah Hinata.

Tanpa mendengar jawaban dari Toneri, Hinata melangkah pergi, menghampiri Hanabi yang terduduk di tepi teras rumah keluarga utama klan Hyuuga.

Toneri ikut diam, masih tak bergeming, hanya terfokus menatap Hinata yang perlahan bergerak menjauh darinya, nampak khawatir.

'Hinata apa kau bersedih mendengar kabar itu?'

---------------

"Sial! Dokumen-dokumen ini membuatku pusing!" Teriak Naruto, mulai mengacak-acak surai pirangnya.

"Hei ini baru hari kedua, bukankah kemarin kau sudah terbiasa?" Tanya Shikamaru, terkekeh melihat Naruto yang sedang frustasi.

"Hei dokumen kemarin kan tidak sebanyak hari ini!" Gerutu Naruto, nampak kesal melihat Shikamaru yang malah tertawa.

"Lalu? Bukankah itu berarti kau semakin dipercaya untuk mengurus lebih banyak dokumen, seharusnya kau bangga, pekerjaanmu dinilai bagus oleh Tuan Hokage." Tegas Shikamaru, masih terkekeh pelan.

"Tidak seperti ini juga, lihat, ini hampir dua kali lipat banyaknya dari yang kemarin!" Sanggah Naruto, menunjuk malas ke arah Dokumen yang masih menumpuk di atas meja-nya.

"Yah desa hari ini sedang sibuk-sibuknya, banyak hal yang harus di selesaikan, terutama pemilihan penerus pemimpin keluarga utama klan Hyuuga." Jelas Shikamaru, kembali berkutat pada dokumen yang berada di tangannya.

Naruto tampak terkesiap mendengar perkataan Shikamaru, dengan segera memfokuskan pandangan ke arah Shikamaru, meminta penjelasan yang lebih mendalam.

"Pemilihan penerus keluarga utama klan Hyuuga?" Tanya Naruto, terdengar sangat penasaran.

"Ya, malam ini akan diadakan rapat untuk membahas pemilihan itu, dan kudengar Hinata juga menjadi salah satu calonnya." Jawab Shikamaru santai.

"Wah, benarkah, Hinata benar-benar hebat!" Seru Naruto, terkagum-kagum mendengar nama salah satu temannya akan menjadi ketua klan sekarang.

"Jangan senang dulu, yang kudengar para tetua Hyuuga lebih memilih Hanabi sebagai penerus ketua klan, mereka lebih percaya kepada adik Hinata itu sendiri." Shikamaru mendengus pelan.

"Eh? Apa-apaan mereka itu? Apa mereka buta? Aku lebih setuju Hinata yang menjadi ketua klan selanjutnya!" Seru Naruto, nampak kesal dengan penjelasan Shikamaru tadi.

"Lalu apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Shikamaru santai.

"Tentu aku akan meyakinkan mereka, kalau Hinata itu lebih baik dari yang mereka duga!" Tegas Naruto, mulai bersemangat.

"Hei, tidak semudah itu Naruto, rapat pemilihan itu hanya bisa dihadiri oleh para petinggi desa dan juga tetua dari klan Hyuuga itu sendiri, kita tidak bisa sembarangan ikut ke dalam rapat itu." Jelas Shikamaru, mencoba bersikap realistis dengan keadaan.

"Hei, kulihat kau tidak mendukung Hinata, apa kau benar-benar teman dari Hinata?" Tanya Naruto sinis, mendelik tidak suka ke arah Shikamaru yang masih nampak tenang membaca dokumen di tangannya.

"Apa maksudmu? Tentu aku mendukung Hinata, aku hanya ingin bersikap realistis." Sanggah Shikamaru, nampak tetap tenang, tak ingin terbawa emosi, melihat suasana yang mulai memanas.

Naruto beranjak dari kursinya, segera melangkahkan kaki menuju ke arah meja Shikamaru.

"Kalau begitu bantu aku, ayo kita yakinkan para tetua bodoh itu!" Seru Naruto, menggebrak meja Shikamaru, membuat Shikamaru terkejut.

"Hei bisakah kau tenang sedikit! aku sedang fokus." Jawab Shikamaru dengan nada tinggi, nampak mulai kesal melihat kelakuan Naruto.

"Ayolah, kita harus bantu Hinata!" Bujuk Naruto, memohon kepad Shikamaru agar mendukung rencananya.

Shikamaru menghela nafas panjang, meletakkan dokumen yang belum selesai dibaca ke atas meja, mulai fokus menatap Naruto.

"Pertama, perkerjaan kita belum selesai, dan yang utama bagaimana kita melakukannya? Bukankah sudah kubilang rapat itu eksklusif, kita sebagai pihak luar tidak bisa sembarangan ikut masuk ke rapat itu." Tegas Shikamaru, nampak mulai lelah menghadapi sikap keras kepala Naruto.

"Kau benar juga." Sahut Naruto, mulai mencoba berpikir, memikirkan sebuah solusi.

"Benarkan, sudahlah selesaikan saja pekerjaan-"

"Ah, aku akan pergi menemui Kakashi-Sensei!" Sela Naruto, membuat Shikamaru terkesiap, mulai memandnag Naruto dengan pandangan tidak percaya, mulai khawatir dengan apa yang ingin Naruto lakukan sekarang.

"Tunggu-tunggu, jangan bilang kau-"

"Ya, aku akan meminta  Kakashi-Sensei agar dia mengajakku pergi ke rapat itu!" Seru Naruto mulai tersenyum lebar, segera membalikkan badan, mulai beranjak pergi meninggalkan Shikamaru tanpa ingin mendengar lebih dulu jawaban yang akan diberikan Shikamaru.

"Hoi Naruto, tunggu jangan lakukan hal yang-" Shikamaru beranjak dari kursinya, berusaha menghentikan Naruto yang bergerak semakin menjauh dari mejanya.

Brak.

Pintu tertutup sempurna, Shikamaru sendirian di ruangan itu sekarang.

"-Bodoh..." Shikamaru memandang kosong pintu yang tertutup itu, tangannya masih melayang di udara, gagal menghentikan Naruto.

Shikamaru menghela nafas panjang lagi, kembali terduduk di atas Kursi, memutar kursinya untuk menatap langit dari balik jendela.

"Naruto itu... Selalu saja seenaknya sendiri." Gumam Shikamaru, mulai tersenyum kecil.

'Ya itulah Naruto yang kukenal!'

----------------

Tok... Tok..

Suara ketukan pintu terdengar, menginterupsi aktivitas favorit Kakashi membaca buku favoritnya, dengan segera menyembunyikan buku itu di dalam laci meja-nya, berdehem sebentar.

"Masuk."

Cklek.

"Kakashi-Sensei!" Pekik Naruto, dengan cepat berlari ke arah meja Kakashi, sambil tersenyum lebar.

Kakashi terkejut, hampir terjatuh dari kursinya akibat Naruto yang secara tiba-tiba menggebrak mejanya tanpa sopan santun.

"Wooh, tenang Naruto, apa yang kau inginkan?" Tanya Kakashi, mengibaskan tangan di udara.

"Apa ada tugas baru untukku?" Tanya Naruto dengan mata yang berbinar-binar, nampak semangat sekali.

"Eh?" Kakashi menautkan alisnya, bingung dengan maksud Naruto.

"Bukankah aku sudah memberimu dokumen untuk dikerjakan? Apa itu masih belum cukup?" Tanya Kakashi, mulai membungkukkan badan, memperhatikan bawah mejanya jika terdapat dokumen yang masih belum dikerjakan.

Naruto menggeleng cepat, mulai menyipitkan kedua matanya, menatap tidak suka ke arah Kakshi yang sedang mencari dokumen.

Brak.

Sebuah tumpukkan dokumen di letakkan di atas meja, membuat Naruto merinding seketika.

"Ini, dokumen-dokumen ini belum sempat kukerjakan." Ucap Kakashi, seraya menunjuk dokumen yang berada di atas meja.

Naruto menghela nafas panjang, tak berniat mengambil tumpukkan dokumen yang disodokan Kakashi.

"Jangan ini lagi, dokumen yang tadi saja belum selesai kukerjakan." Gerutu Naruto.

"Aku tak mengerti maksudmu, jika kau belum selesai mengerjakannya, lalu kenapa kau meminta tugas baru?" Tanya Kakashi, mulai tidak mengerti dengan maksud kedatangan Naruto ke kantornya secara tiba-tiba.

"Maksudku, apa ada tugas yang lebih menarik, semisal mengikuti rapat gitu?" Naruto bertanya malu-malu, memalingkan muka sambil menggaruk pelipisnya.

"Tunggu sebentar, kurasa aku mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini." Ucap Kakashi seraya memikirkan sesuatu.

"Kau sudah mendengarnya ya?" Tanya Kakashi.

Naruto kembali menatap ke arah Kakashi, mengangguk cepat sebagai jawaban.

"Aku sudah mengira kau akan bersikap seperti ini jika mendengar kabar itu." Kakashi menghela nafas, memutar kursinya ke arah belakang, membelakangi Naruto.

"Berarti, kau sengaja memberikan dokumen itu kepadaku?" Tanya Naruto, memastikan.

"Ya begitulah, aku tidak ingin kau mendengar kabar ini dari mulut orang lain selain diriku." Kakashi kembali menghela nafas.

"Jika tujuanmu seperti itu, berarti kau gagal, aku baru saja mendengar hal itu dari Shikamaru." Naruto terkekeh.

"Ya-ya, itu tidak penting." Kakashi mengibaskan tangan di udara, mulai kembali memutar kursi-nya, menghadap Naruto.

"Jadi, apa yang ingin kau lakukan sekarang?" Tanya Kakashi, mulai menanggapi hal yang dibicarakan dengan serius.

Naruto nampak terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menghela nafas.

"Aku ingin meminta izin darimu, Rokudaime." Jelas Naruto, nada bicaranya terdengar sangat serius.

"Biar kutebak, kau ingin aku mengizinkanmu pergi ke rapat itu bukan?" Tebak Kakashi, insting tajamnya mulai mengambil alih.

Naruto menganguk dengan cepat, nampak keseriusan dari raut wajahnya.

"Tidak bisa." Jawab Kakashi singkat, menghela nafas lagi.

"Kenapa tidak bisa?" Tanya Naruto, raut wajahnya mulai lesu.

"Jika kau dengar kabar ini dari Shikamaru, kau pasti sudah mengerti dengan maksudku tadi." Jelas Kakashi enteng, mulai fokus ke arah dokumen di atas meja.

Tangan Naruto mengepal dengan erat, mulai kesal melihat Kakashi yang nampak tak lagi menanggapi hak dengan serius.

"Kenapa, jika begini terus, klan Hyuuga tidak akan pernah berubah!" Ucap Naruto dengan nada tinggi, mulai terbawa emosi.

"Sudah kubilang tidak bisa, ini masalah politik Naruto." Jawab Kakashi santai, nampak masih terfokus ke arah dokumen yang sekarang sudah berada di tangannya.

"Cih, kita tidak bisa diam saja seperti ini, Hinata butuh bantuan kita!" Teriak Naruto, mulai kesal dengan Kakashi yang baru saja membahas masalah politik.

"Aku tahu politik menyusahkan, tapi bukan berarti kita harus diam saja!" Tambah Naruto, masih mengeratkan kepalan tangannya.

Kakashi menghela nafas panjang, meletakkan dokumen di atas meja, mulai pusing mendengar Naruto yang tidak mau mengerti dengan keadaan.

"Kita harus sadar posisi kita, kita adalah orang luar, Naruto." Jawab Kakashi, menatap tajam ke arah Naruto.

"Lalu? Ini juga masalah desa kita bukan? Kita berhak mencampuri urusan ini!" Sanggah Naruto.

Kakashi terkesiap, nampak begitu terkejut mendengar perkataan Naruto, sangat tidak percaya Naruto akan mengatakan hal yang seperti itu.

"Benarkan, kita harus merubah klan Hyuuga, tradisi kuno mereka membuatku muak!" Umpat Naruto, pikirannya sudah memanas.

"Tetap tidak bisa, walaupun aku seorang Hokage, aku tidak bisa seenaknya mengizinkan orang luar mencampuri masalah internal klan Hyuuga." Jelas Kakashi, menghela nafas panjang, mulai lelah dengan perdebatan yang tak akan ada ujungnya ini.

"T-tapi.." Naruto mulai meragu, tak lagi bisa memikirkan solusi untuk menengahi masalah ini.

"Dengar, bukannya aku tidak mau mengabulkan keinginanmu, tapi keinginanmu itu bisa berujung fatal pada kestabilan desa." Sela Kakashi, mulai berbicara dengan tenang, mencoba mendinginkan suasana.

"Kau tidak inginkan tragedi klan Uchiha terjadi kepada klan Hyuuga?"

Deg.

Tubuh Naruto menegang, kedua mata-nya membulat sempurna, ucapan Kakashi tak bisa dibantah lagi.

"Kau benar." Jawab Naruto, tak lagi dapat mendebat perkataan Kakashi, Hokage itu benar, keinginannya ini bisa berakibat buruk dengan hubungan antara klan Hyuuga dan Desa Konoha.

"Tapi, aku akan tetap membantumu, namun tetap kecil kemungkinan keinginanmu terjadi." Jelas Kakashi, mencoba mmebuat Naruto untuk tidak terlalu cepat untuk menyerah, mulai tersenyum ke arah Naruto.

Naruto terkesiap, kedua mata-nya kembali membulat, sebelum akhirnya mengukir senyum.

"Terima kasih sensei, aku mengandalkanmu." Ucap Naruto, dengan segera membalikkan badan, menuju ke arah pintu keluar kantor Hokage.

"Tunggu!" Sela Kakashi, membuat Naruto menghentikan langkahnya.

"Melihat sikapmu yang seperti ini aku jadi memikirkan sesuatu, kenapa kau begitu peduli dengan masalah internal klan Hyuuga ini?" Tanya Kakashi.

"Sudah jelas bukan." Jawab Naruto tanpa menoleh.

"Ada janji yang harus kutepati kepada seseorang."

"Neji ya?"

Naruto mengangguk pelan, masih tidak menoleh.

"Lalu kenapa Hinata? Bukankah Hanabi juga tidak buruk, kulihat dia juga ingin merubah klan Hyuuga." Kakashi kembali bertanya.

"Neji lah yang menginginkan hal itu." Jawab Naruto singkat.

"Dan aku setuju dengannya, Hinata lah yang harus memimpin klan Hyuuga, dengan begitu klan Hyuuga akan berubah."

"Hanabi memang orang baik, tapi Hinata adalah orang yang paling tulus di muka bumi ini."

"Hanya dialah orang yang paling tepat."

"Lalu jika begitu, kenapa kau tidak menerima cinta Hinata? Bukankah dia orang yang paling tulus menurutmu?" Tanya Kakashi.

"Jika kau menerima cintanya, kalian pasti sekarang sudah menikah, dengan begitu kau bisa merubah klan Hyuuga." Tambah Kakashi.

"Kalau itu terjadi, itu berarti aku adalah sampah yang paling buruk di muka bumi ini." Naruto menunduk, nampak mengukir senyum kecil, masih membelakangi Kakashi.

"Jika aku menerima cintanya, aku adalah yang paling egois di sini." Tambah Naruto.

"Apa maksudmu, kau sadar bukan, Hinata sangat mencintaimu, bahkan sejak kalian masih genin." Sanggah Kakashi.

"Ya aku tahu itu, tapi apakah aku yang selalu mengabaikan cinta itu pantas mendapatkannya, aku sama saja seperti Sasuke yang menerima cinta Sakura kalau begitu." Nada Bicara Naruto terdengar begitu tenang.

"Tapi jika kau menerima cintanya, Hinata pasti akan sangat bahagia." Sela Kakashi.

"Ya, kebahagian yang tidak murni."

Kakashi terkesiap, tak menduga Naruto akan menjawab dengan perkataan seperti itu.

"Aku yang akan menjadi pihak egois di sini, menerima cinta Hinata demi  membuat keinginan Neji tercapai, dan membuat kebahagian Hinata hanya bergantung padaku seorang."

"Itu bukanlah sebuah kebahagian yang murni."

"Hinata harus menemukan kebahagiannya sendiri, jika aku terus membantunya, semua perjuangannya selama ini akan sia-sia."

"Sudah saatnya aku berhenti menjadi penunjuk jalan baginya, dia harus menemukan jalan menuju kebahagiannya sendiri." Jelas Naruto, masih tak menoleh ke arah Kakashi.

Kakashi terkekeh pelan, sadar Naruto yang berada di hadapannya itu bukan lagi seorang anak kecil yang naif.

"Aku mengerti... tapi, apakah tidak pernah terpikirkan olehmu sekalipun, untuk membalas perasaan Hinata?" Tanya Kakashi, penasaran.

Naruto mulai mengarahkan pandangan ke arah samping, menatap ke arah jendela, mendapati bunga-bunga Sakura yang masih berterbangan di udara.

"Tidak, tidak pernah sekalipun." Jawab Naruto santai.

"Bahkan jika akhirnya Sakura akan bersama Sasuke, aku tidak akan pernah berniat membalas perasaan Hinata." Tambah Naruto.

"Kenapa?" Tanya Kakashi semakin penasaran.

"Sudah kubilang bukan, itu bukanlah kebahagian yang murni, dan seorang setulus Hinata tidak pantas mendapatkan kebahagian yang seperti itu." Jelas Naruto.

"Hinata pantas mendapatkan kebahagian yang murni, dan aku tidak bisa memberikan hal itu." Tambah Naruto.

Tok. Tok.

Sebuah ketukan menginterupsi percakapan mereka, menbuat kedua sosok yang berada di ruangan itu mulai memperhatikan pintu, penasran dengan orang yang berada di balik pintu tersebut.

"Masuk." Sapa Kakashi.

Cklek.

Kedua mata Naruto seketika itu mebulat, rahangnya mulai mengeras, kepalan tangan semakin erat, menatap tajam ke arah sosok yang baru saja menampakkan diri dari balik pintu yang terbuka.

"Ah, Hiashi, mari masuk, aku sudah menunggu kedatanganmu." Kakashi tertawa Canggung, mendapati suasana yang kembali memanas, mendapati Naruto yang terlihat sangat kesal.

"Tuan Hokage, ada yang ingin kubicarakan denganmu." Jawab Hiashi santai, dengan wajah datar bergerak melewati Naruto yang masuh emandang dengan tatapan tajam.

"Paman." Naruto berbicara dengan nada dingin.

Hiashi menghentikan langkahnya, tanpa menoleh ke arah Naruto yang memanggilnya.

"Hinata bukanlah orang yang lemah." Tegas Naruto, seketika itu berjalan pergi menghampiri pintu keluar, menutupnya dengan kasar.

Brak.

Kakashi dan Hiashi terdiam, kata-kata Naruto tadi tak ada yang bisa membantah, semua orang tau itu.

'Kebahagian yang murni ya?'

-------------

Suara kicauan burung terdengar, nampak begitu damai, tidak ada yang lebih damai dari suasana taman di musim semi.

Bunga-bunga bermekaran, tampak menghiasi taman dengan ciri khasnya masing-masing, menhuat semua orang akan tersenyum melihatnya.

Termasuk Hinata.

Terduduk di bangku taman, memperhatikan suasana yang begitu menenangkan hati, mengusir segala ras gundah dan tidak percaya diri yang beberapa hari ini menghinggapi dirinya.

"Nona Hinata." Sebuah suara muncul, diikuti dengan langkah kaki yang mulai mendekat, menghampir Hinata yang masih terduduk di bangku taman sambil melempar senyum kecil.

"Ah, Toneri-Kun." Sapa Hinata.

"Rapat akan segera dimulai, bukankah kau harus bersiap?" Tanya Toneri, mulai duduk di samping Hinata setelah Hinata mempersilahkan dirinya.

"Sebentar lagi, aku masih ingin menikmati suasana taman." Ucap Hinata, seraya memandangi pemandangan taman yang begitu menghangatkan hati.

"Apa ada yang sedang kau pikirkan?" Tanya Toneri.

"Terlihat kah?" Hinata berbalik bertanya.

"Tentu saja, aku sudah mengenalmu selama setahun Nona Hinata, mana mungkin aku tidak menyadarinya." Jawab Toneri, tersenyum lembut ke arah Hinata.

"Ya begitulah, aku sedikit merasa gugup dengan pemilihan ini." Ucap Hinata seraya memandangi langit yang mulai menggelap, mulai mengayunkan kedua kakinya di udara.

"Aku ingin mengabulkan keinginan Neji-Niisan, tapi aku tidak tahu, apakah aku yang akan terpilih nantinya." Hinata mulai menunduk lesu, hilang sudah senyum lembut yang sejak tadi menghiasi wajah cantiknya.

"Tenang Nona Hinata, aku akan membantumu, aku akan mencoba meyakinkan para tetua." Jawab Toneri tenang, mencoba membuat Hinata lebih percaya diri.

"Terima kasih, Toneri-Kun." Hinata tersenyum manis lagi, membuat Toneri terkesiap.

Hening..

Hinata dan Toneri tidak lagi memulai percakapan, memilih menikmati suasana taman di malam hari.

Namun dibalik suasana yang damai itu, Toneri tak dapat membohongi dirinya sendiri, perasaannya masih terganjal, khawatir kepada Hinata semenjak kejadian pertunangan dua hari yang lalu.

Ingin rasanya menanyakan hal itu kepada Hinata, namun Toneri sadar diri, dirinya yang saat ini tidak lebih dari seorang yang hampir membuat Hinata menderita, dia tidak pantas mencampuri urusan pribadi Hinata.

"Nee Toneri-Kun." Hinata kembali bersuara, nampak masih memandangi taman yang sudah menggelap.

"Hmm?" Toneri menoleh, menunggu Hinata yang akan bersuara lagi.

"Jika aku yang t-terpilih n-nanti, m-maukah kau membantuku?" Tanya Hinata malu-malu.

"Tentu saja Nona Hinata, apapun akan kulakukan untukmu." Toneri terkekeh, mulai memasang senyum lembut ke arah Hinata.

"T-terima k-kasih." Hinata tersipu, semakin gugup.

"Tidak masalah."

Syut.

Sebuah sosok muncul di belakang bangku taman, membungkuk hormat kepada Hinata.

"Nona Hinata, rapat akan segera dimulai, sebaiknya Nona segera bersiap." Ucap si sosok itu, dengan segera menghilang dari penglihatan Toneri dan Hinata.

Toneri beranjak dari kursi, mulai berdiri menatap Hinata dengan lembut.

"Ayo Hinata, semua sudah menunggu." Ucap Toneri lembut, mengulurkan tangan ke arah Hinata.

Hinata menyambutnya, mulai  tersenyum ke arah Toneri.

"Ya."

---------------

Tak.

Sebuah kerikil melayang, menjadi sarana seseorang meluapakan kekesalannya.

"Naruto, kamu gak apa-apa?" Tanya Sakura, menadangi Naruto dengan khawatir, melihat Naruto yang sdari tadi memasang raut wajah kusut, frustasi.

"Aku muak dengan para tetua klan Hyuuga itu, seenaknya saja memutuskan sesuatu." Umpat Naruto, kembali menendang kerikil yang tidak bersalah.

"Ah Hinata ya?" Tanya Sakura memastikan.

Naruto mulai menoleh, sedikit terkejut mendengar pertanyaan Sakura.

"Kau tahu, Sakura-Chan?" Naruto berbalik bertanya.

Sakura mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Tadi aku bertemu Hinata di rumah sakit, dia memberitahuku semuanya, termasuk masalah pemilihan itu." Jelas Sakura.

"Tuh kan, lihat, apa akibat perbuatan mereka, aku merasa kasihan kepada Hinata, dia tidak punya satupun orang yang bisa dia percaya di klan-nya itu." Naruto menyimpulkan dengan cepat, semakin geram melihat kelakuan para tetua yang tak kunjung berubah.

"Ya aku juga merasa kasihan kepada Hinata, dia terlihat sangat terbebani." Sakura setuju, menunduk lesu.

"Anda saja aku bisa membantu." Ucap Sakura dan Naruto secara bersamaan, menghela nafas pasrah.

"Shikamaru memberitahuku, katanya kau menemui Kakashi-Sensei tadi siang." Ucap Sakura, mulai menatap Naruto yang terlihat lesu.

"Ya begitulah, tapi sensei tidak bisa berbuat banyak, kita sebagai orang luar hanya bisa pasrah dengan keadaan." Jawab Naruto lesu.

"Jangan bersedih Naruto, mungkin itu yang terbaik untuk Hinata, kita doakan saja yang terbaik untuknya." Seru Sakura, mengukir senyum lembut, berusaha membuat Naruto untuk kembali bersemangat.

Naruto terkesiap, seketika itu mulai mengukir senyum lembut.

"Ya, semoga saja."

Poof.

"Ah!" Pekik Sakura dan Naruto serentak.

"Halo!" Sapa Kakashi riang, seketika itu muncul dari balik kepulan asap putih di depan Naruto dan Sakura.

"Sial sensei! Bisakah tidak muncul seperti itu!" Seru Naruto, nampak kesal melihat Kakashi yang tiba-tiba saja muncul.

"Maaf-maaf!" Kakashi tertawa canggung, menggaruk belakang kepalanya.

"Ada apa sensei?" Tanya Sakura yang telah selesai dengan acara terkejutnya.

"Iya sensei, kenapa kau tiba-tiba menghampiri kami?" Tanya Naruto, mulai ikut penasaran.

"Sebelumnya maaf telah mengganggu kencan kalian, tapi sesuatu yang sangat penting datang, Naruto, ada yang ingin kubicarakan denganmu." Nada bicara Kakashi mulai terdengar serius, membuat Sakura dan Naruto mulai semakin penasaran.

"Masalah apa? Bukankah semua dokumen sudah kuselesaikan tadi?" Tanya Naruto, mulai terdengar malas, tak berharap senseinya itu akan mengatakan hal yang serius.

"Ini tentang Hinata." Ucap Kakashi singkat.

Naruto seketika itu tekesiap, segera kembali menatap Kakashi, mulai tertarik dengan apa yang ingin Kakashi sampaikan.

"Hiashi, dia.. menyetujui keikutsertaanmu di rapat itu." Jelas Kakashi.

"Benarkah?" Tanya Naruto masih tidak percaya.

Kakashi mengangguk, segera melepas senyum kembali.

"Ya, ayo kita harus pergi sekarang, rapat sebentar lagi akan dimulai." Kakashi seketika itu berbalik, mulai berjalan menjauhi Naruto dan Sakura yang masih tak percaya mendengar ucapannya tadi.

Naruto perlahan menoleh ke arah Sakura, mendapati Sakura yang sudah tersenyum riang ke arahnya.

"Ganbatte ne Naruto, kau pasti bisa membantu Hinata!" Seru Sakura, mengangkat kepalan tangan di depan dada, tersenyum manis menyemangati Naruto.

"Baiklah, maaf ya Sakura-Chan aku tidak bisa mengantarmu pulang." Ucap Naruto seraya mengikuti langkah Kakashi dari belakang, melambaikan tangan ke arah sakura.

'Kau pasti bisa Naruto!'

---------------

"Ehem, baiklah kita akan mulai rapatnya, dimohon untuk semua agar tenang." Hiashi berdehem singkat, membuat suasana hening seketika, semua perhatian tertuju ke arahnya sekarang.

"Baiklah, seperti yang kalian tahu, hari ini akan diadakan pemilihan tentang siapa yang akan menjadi penerusku sebagai pemimpin klan Hyuuga." Hiashi mulai berbicara.

"Dan seperti yang kalian tahu, terdapat dua orang calon di sini, Hyuuga Hinata selaku anak sulungku, dan Hyuuga Hanabi selaku anak bungsuku. Rapat ini akan menentukan masa depan klan Hyuuga nantinya, jadi saya harapkan semua hadirin dapat memilih orang yang tepat." Tambah Hiashi, dengan bergantian menatap Hinata dan Hanabi yang terduduk berhadapan.

"Jika rapat tidak dapat menentukan, voting akan dilakukan, dan suara terbanyak lah yang akan di pilih. Jadi saya harapkan kalian semua sudah menimbang hal ini matang-matang."

"Baiklah jika ada yang ingin berpendapat, kalian boleh berbicara sekarang." Ucap Hiashi, mempersilahakan untuk dimulainya rapat pemilihan hari ini.

Kakashi mengangkat tangan, membuat semua orang terkesiap, para tetua nampak memandang tidak suka ke arah Kakashi

"Silahkan Rokudaime." Hiashi mempersilahkan.

Kakashi segera berdiri, mulai mengumpulkan nafas untuk berbicara.

"Selamat malam semuanya, saya selaku Rokudaime mewakili pihak desa Konoha akan mengutarkan pendapat saya." Kakashi mulai berbicara.

"Melihat semua perkembangan dari Hinata dan Hanabi, juga mempertimbangkan pengaruh mereka terhadap kemajuan desa, maka kami pihak desa memutuskan dan setuju bahwa Hinata lah yang pantas menjadi pemimpin klan Hyuuga selanjutnya." Jelas Kakashi, membuat semua tetua terkejut mendengarnya.

"Hinata di mata saya adalah seorang yang kuat, dia membuktikan hal itu, bahkan pahlawan desa juga setuju dengan hal itu." Kakashi menoleh ke arah Naruto, melempar sebuah senyuman, membuat Naruto sedikit terkejut, tak percaya senseinya akan berkata seperti itu.

Brak.

"Tidak bisa!" Sela salah satu tetua, menggebrak meja dengan keras, membuat semua orang di ruangan itu terkejut.

"Hanabi lah yang pantas, menurut kami Hinata itu terlalu lemah, dia tidak mungkin bisa melindungi keluarga utama klan Hyuuga!" Tegas si tetua, membuat tetua yang lainnya mengangguk setuju.

Baik Hinata dan Hanabi terdiam di sana, Hinata yang terlalu pasrah dengan keadaan, sedangkan Hanabi yang terlihat mengkhawatirkan kakak perempuannya itupun tak dapat berbicara, saat ini dirinya terlalu takut untuk sekedar mendebat para tetua yang keras kepala itu.

"Aku setuju dengan Rokudaime, Hinata adalah wanita yang kuat, dan dia pantas memimpin klan ini." Toneri seketika itu berdiri, mulai mengutarakan pendapat.

"Toneri-Kun...."

Semua orang terkejut mendengarnya, Hinata yang terduduk di sampingnya bahkan tidak percaya dengan apa yang Toneri katakan tadi.

"Ya saya juga setuju, Hinata adalah orang yang kuat, dan juga dia adalah orang yang paling tulus yang kukenal!" Seru Naruto, ikut berdiri, mengutarkan pendapatnya.

"Naruto-Kun."

Naruto hanya bisa melempar senyum lebar ke arah Hinata, meminta agar Hinata percaya diri, bahwa banyak orang yang mendukungnya sekarang.

"Cukup, hentikan omong kosong kalian!" Seru salah satu tetua.

"Kau, mantan kriminal, sadari posisimu saat ini!" Si tetua menunjuk ke arah Toneri, menatap sinis Toneri.

"Dan juga kau, pahlawan desa, jangan anggap semua hal yang kau berikan pada desa ini akan membuat kami luluh, kau hanyalah orang luar, sadari posisimu!" Si tetua berganti menunjuk ke arah Naruto, nampak tidak suka dengan Naruto yang seenaknya mengutarakan pendapat seperti itu.

'Tulus? Bicara apa dia tentang Hinata!'

Toneri mendelik tajam ke arah Naruto, keberadaan Naruto di sana membuat perasaanya semakin gusar sekarang, Toneri benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran Naruto.

Di sisi lain, Naruto tampak ikut kesal, kesal kepada para tetua yang seenaknya sendiri, Naruto semakin geram.

"Naruto tenanglah." Bisik Kakashi, khawatir Naruto akan terbawa emosi.

"Aku tahu." Jawab singkat Naruto, akhirnya menghela nafas panjang, sadar emosi tidak akan menyelesaikan permasalahan ini.

Suasana terlihat semakin tegang, walaupun tak lagi terjadi perdebatan, semua orang tahu, mereka belum mencapai sebuah kesepakatan dalam menyelesaikan masalah ini.

"Sudah kami bilang, Hanabi lah yang pantas memimpin klan Hyuuga, jika kalian pihak desa tidak menyetujuinya silahkan saja, lagipula keputusan ada di tangan kami sekarang, kalian hanyalah orang luar." Salah satu tetua kembali berbicara, menekankan kalimat akhirnya, mulai mengukir senyum sombong.

"Lagipula, jika kalian sebegitunya berkeinginan Hinata yang menjadi pemimpin klan, maka kami akan memberi kalian satu syarat." Tambah si tetua, membuat semua perhatian menuju ke arahnya.

"Hinata harus menikah dengan salah satu pahlawan desa, dan itu kau, Uzumaki Naruto!" Tegas si tetua, menunjuk tepat ke arah Naruto.

Semua orang terkecuali para tetua terkejut, bahkan Hiashi selaku ketua klan ikut terkejut mendengarnya, dia benar-benar tidak tahu dengan masalah yang mulai merambat ke arah perjodohan ini.

"Tunggu sebentar, pembicaraan ini sudah keluar dari konteksnya, kalian tidak bisa semudah itu melibatkan warga desa dengan masalah ini." Sela Kakashi, berusaha tetap tenang menanggapi keinginan tetua yang sangat egois itu.

"Rokudaime, apa kau sudah lupa dengan apa yang telah klan Hyuuga lakukan untuk desa?" Tanya salah satu tetua.

"Kami mengorbankan salah satu anggota kami demi menjaga perdamaian, bukankah seharusnya saat ini adalah waktu yang tepat untuk membalas pengorbanan kami waktu itu?" Tambah si tetua, membuat semua orang kembali terkejut.

Hiashi kali ini menunduk lesu, mulai mengingat masa kelam tragedi Kumogakure, perkataan para tetua saat ini tidak bisa dibantah lagi.

Naruto semakin geram, emosinya mulai memuncak, para tetua sudah melewati batasnya.

Niat ingin bersuara lagi namun terhenti akibat hadangan tangan dari Kakashi, memintanya secara tidak langsung untuk tetap tenang, masalah ini tidak bisa dianggap sepele.

"Kami menolaknya, seperti yang kalian tahu Naruto sudah bertunangan, kami tidak mungkin melakukan perjodohan ini." Jawab Kakashi, masih mencoba untuk tenang, tak ingin membuat masalah semakin runyam.

"Lalu, tinggal batalkan saja pertunangan itu, Naruto lebih pantas menikah dengan Hinata dibandingkan dengan seorang gadis yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja." Ucap si tetua enteng.

Semua orang terkejut mendengarnya, bahkan emosi Naruto yang sempat mereda karena perkataan Kakashi mulai tersulut lagi, kali ini sudah tak dapat ditahan.

'Gaki kau harus tenang, bagaimanapun mereka hanya ingin memancingmu.'

'Apa maksudmu Kurama, aku bisa saja sabar menerima jika aku yang direndahkan, tapi mereka sudah keterlaluan sekarang, mereka sudah melibatkan Sakura-Chan yang tidak bersalah.'

'Aku tahu, tapi kau harus tenang.'

'Tidak Kurama, mereka sudah keterlaluan!'

Brak.

Suara meja dipukul dengan keras terdengar, membuat semua orang terkejut, mulai mengarahkan pandangan ke arah sosok yang abru saja memukul meja dengan keras.

Itu bukan Naruto.

Melainkan Hinata yang sudah tak bisa lagi menahan emosi yang dia pendam sedari tadi.

"Hinata, apa yang kau lakukan?" Pekik Toneri, terkejut melihat sikap Hinata.

Naruto hanya bisa terdiam, menatap ke arah Hinata yang masih tetap tak memindahkan tangannya dari atas meja.

"Cukup, hentikan semua ini!" Pekik Hinata.

"Kalian semua sudah melewati batas!" Tambah Hinata, mendelik tajam ke arah para tetua yang masib terkejut.

"Kalian tidak pantas membicarakan pengorbanan itu, bukan kalian yang mengorbankan diri, melainkan seseorang dari keluarga cabanglah  yang berkorban!" Tegas Hinata.

"Apa kalian tahu apa saja yang sudah keluarga cabang korbankan untuk kita selaku keluarga utama?" Tanya Hinata dingin.

"Itu sudah tugas mereka Hinata, jaga cara bicaramu itu!" Tegas si tetua, terlihat sangat kesal.

"Kalian salah." Sanggah Hinata singkat, membuat para tetua terkesiap.

"Kitalah yang seharusnya melindungi mereka, bukankah itu tugas seorang pemimpin?" Tambah Hinata, membuat semua orang semakin terkejut, bahkan Naruto tidak percaya Hinata akan bersikap seperti ini, ini bukanlah Hinata yang dia kenal!

Semua orang terdiam, bahkan para tetua yang selalu membantah argumen sekarang ikut terdiam, perkataan Hinata tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Di sisi lain Hiashi nampak tersenyum, memperhatikan sosok putri sulungnya yang sepertinya memang sudah berubah, tak lagi seorang anak kecil yang selalu terlihat lemah.

Para anggota keluarga cabang yang ikut menghadiri rapat nampak tersentuh dengan perkataan Hinata, memilih untuk mengukir senyum sebagai ucapan rasa terima kasih.

"Baiklah sudah kuputuskan." Sela Hiashi, membuat suasana kembali menegang, semua perhatian tertuju ke arahnya.

"Hinata lah yang akan menjadi ketua klan selanjutnya." Lanjut Hiashi sambil mengukir senyum, membuat para tetua terkejut kecuali satu orang.

"Dan tentu perjodohan tidak akan dilakukan." Tambah Hiashi, menoleh singkat ke arah Naruto.

"Apa maksudmu Hiashi? Kau harusnya tahu bukan kami tidak akan setuju dengan hal itu!" Sela salah satu tetua.

"Tidak, aku setuju, aku setuju cucu pertamaku yang menjadi ketua klan Hyuuga selanjutnya." Salah satu tetua berbicara, membuat Kakashi dan Naruto terkejut mendengarnya.

"Apa?!"

"Lalu bagaimana dengan kalian, apa kalian setuju?" Tanya Hiashi, lebih memilih memperhatikan para anggota keluarga cabang.

Semua anggota keluarga cabang mengangguk setuju sebagai jawaban.

"Baiklah, dengan begini keputusan sudah bulat, Hinata lah yang akan menjadi ketua klan selanjutnya." Seru Hiashi tenang, tersenyum ke arah Hinata, membuat kedua mata Hinata mulai berkaca-kaca.

"T-tapi!"

"Voting sudah dilakukan, keputusan ini harus kalian terima!" Tegas Hiashi, menatap tajam ke arah para tetua yang masih belum setuju.

Para tetua akhirnya menunduk lesu, hanya bisa pasrah menerima kenyataan.

"Rapat sudah selesai, kalian boleh meninggalkan tempat ini sekarang." Ucap Hiashi, beranjak berdiri, menghampiri Hinata.

"Ayah.." Hinata menatap lekat-lekat sosok Hiashi, kedua mata-nya berkaca-kaca.

"Selamat Hinata, kau pantas mendapatkannya." Jawab Hiashi, tersenyum lembut ke arah Hinata.

"Lalu maafkan ayah ya, aku emmang seorang ayah yang buruk." Tambah Hiashi, seketika itu raut wajahnya melesu, mengingat apa yang dulu dia lakukan kepada Hinata.

Grep.

Hinata seketika itu memeluk Hiashi, membuat Hiashi sedikit terkejut.

"Aku sudah memaafkanmu, Terima kasih ayah, karena dirimu lah akhirnya aku bisa mengabulkan keinginan Neji-Niisan!" Hinata mulai menangis, tak dapat menahan rasa bahagia karena akhirnya sebuah keinginan akan tercapai.

Hiashi mulai mengeluarkan setetes air mata, mulai tersenyum lembut, membalas pelukan Hinata.

Hiashi tidak dapat lagi menahan rasa haru, akhirnya dia bisa melakukan sesuatu yang benar sekarang.

'Jadi inikah yang disebut kebahagian murni..'

'Aku mengerti sekarang, terima kasih Naruto.'

To Be Continued.

Nächstes Kapitel