webnovel

Satu Langkah Maju

'Ia akan pergi ketika lebam ini menghilang. Jadi, aku hanya harus bertahan sampai lebam ini sirna. Setelah itu, kehidupanku akan kembali normal. Tidak akan ada lagi yang menggangguku.'

Tasia mengikat tali sepatu putihnya lalu dengan lunglai bangkit dari kursi kayu teras rumahnya.

Pagi itu sama seperti biasa, sepi tanpa ada seorang pun yang mengiring langkahnya pergi ke sekolah. Semakin lama, hari terasa semakin memberatkan bagi Tasia.

Ia masih ingat bagaimana rasanya mengatakan "Ibu, Ayah! Tasia berangkat, yah!" dan melihat mereka tersenyum menyemangati anak gadis kecil mereka itu untuk bersekolah.

Itu adalah kenangan indah yang tidak akan bisa ia kecap lagi untuk selamanya. Seharusnya, dulu ia tidak pernah menyia-nyiakan setitik pun momen berharga itu.

'Tin! Tin! Brrrm..'

Tasia menghentikan langkah kecilnya saat sebuah sepeda motor tinggi menghampiri dari arah belakang, menghancurkan lamunannya atas memori indah kenangan bersama keluarganya ketika ia masih kecil.

Meski tertutup helem, Tasia langsung mengetahui siapa yang mengendarai motor besar itu.

"Hadyan? P-pagi.." Sapanya dengan canggung karena mengingat kejadian semalam.

Hadyan membuka kaca helem hitam full-facenya. "Pagi. Kau berangkat bersama siapa? Kenapa jalan sendirian?"

Tasia berpikir sebentar. Hari ini Patra berangkat sangat pagi karena ada urusan OSIS dan sebenarnya ia berangkat sedikit terlambat karena bangun kesiangan hingga yang lain sudah duluan meninggalkannya.

"Aku sendirian," Tasia meringis canggung.

"Oh? Kalau kau mau, kau bisa ikut denganku. Aku membawa helem cadangan. Aku tidak memaksa jika kau tidak mau," Tawar Hadyan, meski dalam hati, rasanya ia bisa melakukan apa pun agar gadis itu mau naik ke boncengannya.

Tasia tersenyum kecil melihat wajah polos Hadyan. "Baiklah jika tidak merepotkan,"

Hadyan bersorak penuh suka cita di dalam hati. Namun ia tetap berusaha menutupinya karena takut Tasia merasa tidak nyaman.

Ia segera mengambil helem cadangan berwana kuning yang terletak di jok belakang motor, lalu memberikannya kepada Tasia yang langsung gadis itu kenakan.

"Aku akan naik," Tasia memberi aba-aba.

Hadyan memegangi tangan Tasia, takut ia akan terjatuh sekaligus untuk menjadi tumpuan agar ia mudah naik ke atas motornya yang tinggi.

"Sudah?" Tanya Hadyan.

"Sudah," Jawab Tasia.

"Baiklah, aku akan jalan. Kau boleh berpegangan pada tasku." Ucap Hadyan dan dituruti Tasia.

Sebuah senyum kecil tanpa sadar terukir di bibir manis gadis itu.

Sepanjang jalan, Hadyan tidak dapat menahan senyuman di bibirnya. Ia sangat senang hubungannya dengan Tasia semakin membaik.

Tasia sudah bisa menerimanya meskipun baru sekedar sebagai teman. Tapi itu sudah sangat berarti bagi Hadyan. Di sisi lain, saat ini, gadis itu sudah mengetahui jadi diri Hadyan yang sesungguhnya, sehingga ia tidak perlu lagi menutup-nutupi identitasnya dan berpura-pura.

"Kenapa kau tidak pergi bersama yang lainnya seperti biasa? Ke mana mereka?" Tanya Hadyan, membuka percakapan.

"Sebenarnya aku berangkat agak terlambat pagi ini. Jadi, mereka meninggalkanku."

"Kenapa mereka tidak mau menunggumu?" Tanya Hadyan tidak terima.

Tasia tertawa. "Karena mereka tidak mungkin terlambat hanya demi diriku. Apa kau mau, terkena masalah karena orang lain?"

"Bagaimana denganmu? Apa kau mau?" Hadyan bertanya balik.

"Untuk orang yang penting bagiku, aku rasa aku mau melakukannya." Jawab Tasia.

"Kau terlalu baik, Anastasia. Kebaikanmu tidak setimpal dengan perlakuan orang lain terhadapmu." Ucap Hadyan, mengundang tawa gadis itu.

"Rasanya aku sering mendengar kau mengatakan hal itu. Apa di alammu tidak ada orang baik?" Tanya Tasiam

"Hm.. Entahlah. Aku tidak mememperhatikan hal itu. Mungkin karena aku terlalu sibuk berperang dan aku selalu dikelilingi oleh dayang istana yang patuh. Jadi, bagaimana cara aku tahu mereka baik atau tidak? Yang aku tahu hanyalah kesetiaan mereka," Jelasnya.

"Perang? Untuk apa kau berperang? Berperang dengan siapa?" Tanya Tasia penasaran, sekaligus terkejut. Ia tidak tahu di alam goib ada peperangan hingga jaman sekarang.

"Dengan pemberontak atau pun kerajaan lain yang berusaha merebut wilayahku." Jawab Hadyanm

"Wah?! Sungguh? Hal itu masih terjadi di jaman sekarang? Aku tidak pernah mendengar ada peperangan gaib." Kedua mata Tasia membesar.

"Itu karena umur kalian tidak panjang. Lama bagi kalian, sebentar bagi kami. Kau tahu jika terjadi badai di tengah laut? Itu karena sedang terjadi peperangan di dalam kerajaan lautan."

"Tidak aku sangka ada hal semacam itu terjadi di dunia ini. Rasanya sangat aneh, bahkan seakan-akan kau sedang mengarang cerita," Tasia tertawa lagi.

"Jadi kau tidak percaya?" Hadyan ikut terkekeh.

"Tentusaja aku harus percaya! Setelah semua yang sudah aku alami dan aku lihat, mungkinkah aku masih tidak mempercayai kata-katamu? Bahkan sekarang aku seperti sedang bermimpi bahwa aku sedang dibonceng oleh makhluk gaib." Ucap Tasia dengan bersemangat.

"Baguslah kalau begitu. Kau tahu aku tidak memaksa, 'kan?" Sahut Hadyan geli.

Perjalanan terasa singkat karena kedua muda mudi itu terus mengobrol. Padahal, Hadyan dengan sengaja memperlambat laju motornya agar bisa berdekatan dengan Tasia lebih lama lagi.

Akhirnya motor yang mereka tumpangi masuk ke dalam gerbang sekolah. Di dekat sana, Marya dan Tata baru saja keluar dari ruang tata usaha dan menangkap kedatangan mereka dari arah lobby.

"Loh? Bukankah itu Tasia? Dia berangkat bersama Hadyan?" Ujar Marya tertegun.

"Wah.. nampaknya Tasia sudah berbaikan dengan Hadyan. Itu bagus. Lagipula, kita juga yang meninggalkannya dan berangkat duluan," Tambah Tata.

"Hey!" Seru Marya sambil melambaikan tangan kirinya tinggi-tinggi.

Hadyan menghentikan motornya saat hampir sampai di parkiran, sementara Marya dan Tata menghampiri mereka.

"Pagi!" Sapa Tasia setelah turun dari motor.

"Pagi juga," Jawab Tata sembari merapihkan rambut Tasia yang berantakan setelah melepas helm.

"Kenapa kalian bisa berangkat bersama?" Tanya Marya penasaran.

"Karena rumah kami dekat. Tadi kebetulan aku bertemu Tasia sendirian di jalan, jadi aku memberikannya tumpangan," Jelas Hadyan.

"Oh begitu," Sahut Marya sambil mengangguk-angguk.

"Maaf yah, Tasia. Aku takut terlambat jadi berangkat duluan," Marya beralih menatap Tasia yang masih sibuk merapihkan rambutnya yang agak lembab karena terkena keringat.

Tasia menggeleng. "Ah.. Tidak apa-apa kok. Santai saja." Jawabnya heran, karena ia sudah biasa ditinggal jika ia terlambat berangkat sekolah. Teman-temannya, apalagi Marya, juga tidak pernah mempertimbangkan hal itu.

"Aku akan memarkir motorku dulu. Kalian bisa masuk ke kelas duluan," Hadyan segera melaju setelah mendapatkan anggukan dari ketiga gadis itu.

Marya merangkul ringan pundak Tasia. "Wah, wah.. Enak juga kau bisa berboncengan dengan Hadyan. Hehe.."

"Ah.. Biasa saja. Itu karena kebetulan saja aku bertemu dengannya di jalan," Jawabnya.

"Iya juga, yah. Hadyan kan sangat baik. Tidak mungkin ia tidak memberikan tumpangan ketika temannya jalan sendirian. Ah! Aku jadi semakin mengaguminya!" Marya memegangi kedua pipinya dengan gaya genit.

"Kalian jadi dekat. Kau sudah tidak takut padanya lagi?" Tanya Tata.

Tasia agak terkejut mendengar pertanyaan Tata. "Be.. benarkah? Yah, aku memang sudah tidak takut lagi padanya setelah.." Kalimatnya terhenti.

"Setelah?" Lanjut Tata.

"Setelah apa, Tasia?" Tanya Marya menggebu tidak sabar.

Nächstes Kapitel