webnovel

Chapter 22

Jenna menjemputku lagi di apartemen Alex karena aku belum mempunyai mobil sendiri, sedangkan naik kendaraan umum akan lebih lama lagi. Matahari masih bersinar terang di luar, mungkin sekarang masih pukul 4 sore. Aku tidak sempat melihat jam saat keluar dari apartemen Alex. Lima menit kemudian sebuah mobil sedan berwarna silver berhenti di depanku, jendelanya perlahan turun dan kepala Jenna muncul dari baliknya.

"Hey, Cara—" Sapaannya terputus setelah melihat ekspresiku, "Cara, ada apa?"

Aku berjalan menuju pintu di seberangnya lalu masuk ke dalam mobilnya. "Jenna, apa kau ingat Vincent?" Jenna mengangguk kecil. "Kau punya nomornya?" tanyaku lagi.

Ekspresi panik pasti terlihat jelas di wajahku saat ini. Jenna menggeleng lalu menyentuh bahuku, "Cara, ada apa?" ulangnya kali ini dengan lembut. Aku menatap Jenna selama beberapa saat, mempertimbangkan untuk memberitahunya.

Kutarik nafasku dalam-dalam sambil menatapnya lekat-lekat, "Kau harus berjanji tidak akan memberitahu ini pada siapa-siapa."

Jenna mengangguk, ekspresinya kali ini berubah sedikit khawatir. "Kau tidak akan memberitahu Dane... apalagi Alex."

"Aku tidak akan memberitahu siapapun, Cara."

"Aku—Ada sesuatu yang terjadi padaku. Aku belum yakin apa itu dan Alex... berusaha menyembunyikannya dariku." Kutatap wajah tenang Jenna lalu melanjutkan ceritaku. Aku tidak memberitahunya tentang Leykan atau orangtuaku, atau beberapa hal krusial lainnya. Jika suatu hari nanti terjadi masalah dan Alex ingin mencari tahu, maka Jenna adalah orang pertama yang akan ditemuinya.

Wajah Jenna berubah menjadi sedikit pucat saat aku selesai bercerita. "Apa kau akan... berubah menjadi werewolf juga?" tanyanya dengan suara berbisik, "Karena Dane pernah memberitahuku sedikit tentang Alpha—maksudku Alex."

"Aku tidak tahu... Apa yang dikatakan olehnya?"

"Dane sedikit heran saat Alex mengumumkan bahwa kau adalah matenya, karena walaupun werewolf kadang berpasangan dengan manusia tapi Dane bilang Alpha biasanya memiliki mate werewolf juga."

Kami berpandangan cukup lama hingga akhirnya Jenna memecah keheningan, "Untuk Vincent... Cara, aku tahu seluruh werewolf yang satu sekolah dengan kita. Dan Vincent tidak termasuk."

"Apa kau yang mengundangnya—"

"Aku tidak mengundangnya kemarin." Potongnya sebelum aku sempat bertanya. "Dan aku yakin Eric juga tidak mengundangnya."

***

Kami berhenti di sebuah restauran cepat saji, Jenna dan aku sibuk menghubungi beberapa orang dari sekolah. Kami sibuk dengan handphone kami masing-masing selama satu jam ke depan. Dan hal yang paling aneh adalah dari sekian orang yang kami hubungi tidak ada satu pun yang tahu nomor Vincent Brooks walaupun mereka mengenalnya. Jenna membuka kertas burgernya lalu menggigit burgernya dengan marah.

"Aku tidak percaya, bagaimana mungkin..." gumamnya sambil mengunyah. Kedua mataku menatap kentang goreng di nampanku, pasti ada cara untuk menghubunginya.

"Kita bisa mengecek data pribadinya di sekolah besok." Sambung Jenna. "Pasti ada nomor atau alamat yang bisa dihubungi."

"Yeah..." balasku dengan sedikit lemah. "Jen, apa kau bisa mengantarku pulang ke rumah setelah ini?"

"Kau tidak ingin kembali ke apartemen Alex?" tanyanya setelah menghabiskan burgernya.

"Tidak" Jawabku sambil berdiri, aku tidak menyentuh kentang gorengku atau soda yang kupesan sama sekali.

Langit sudah berubah menjadi gelap saat kami tiba di depan rumah. Jenna melambai padaku sebelum mengemudikan mobilnya menjauh. Mobil Dad tidak terlihat di garasi, hanya ada mobil milik Mum. Saat aku mencoba untuk membuka pintu depan, keningku berkerut saat pintunya terkunci. Ah, sial.

Aku berjalan memutari sekitar rumah menuju halaman belakang lalu melompati pagar kayu yang dibuat oleh Dad beberapa tahun yang lalu. Kujatuhkan tubuhku di atas hammock yang dipasang di antara dua pohon apel, lalu menarik nafas dalam-dalam. Rasa lelah mulai membuatku mengantuk, kedua mataku memandang bintang yang mulai memperlihatkan dirinya di langit dan bulan yang berpendar dengan sinar pucatnya.

Vincent Brooks.

Ia menyimpan jawaban dari seluruh pertanyaanku, pertanyaan yang tidak akan dijawab oleh Alex. Kurogoh lagi saku jeansku untuk mengambil cincin di dalamnya. Tanganku menarik cincin beserta amplop yang sekarang sudah kusut, tinta hitam sedikit terlihat salah satu bagiannya yang kusobek sebelumnya.

Kusobek seluruh pinggiran amplop tersebut dengan hati-hati lalu membaliknya, sederet nomor tertulis dengan rapi di dalamnya. Tidak ada pesan atau apa pun, hanya sederet angka nomor handphone Vincent. Sesaat aku merasa sangat bodoh karena tidak mengecek amplop ini lebih dulu.

Kupandang cincin dan amplop di kedua tanganku bergantian. Jantungku berdebar keras saat aku mengambil handphoneku, jari-jariku menekan nomor di handphoneku dengan lambat karena rasa raguku.

"Tapi aku membutuhkan jawaban." Gumamku pada diriku sendiri sebelum menekan nomor terakhir. Aku harus menunggu hingga nada sambung terakhir sebelum sebuah suara menjawabnya.

"Caroline." Suara Vincent terdengar dari seberang.

"Bagaimana kau tahu ini aku?" tanyaku tanpa bisa kucegah.

"Aku hanya tahu begitu saja." Jawabnya dengan singkat.

"Vincent, aku harus bicara denganmu."

"Kau sedang berbicara denganku, Caroline."

"Dengar," kataku dengan sedikit ketus, "Darimana kau mendapatkan cincin itu?"

Kali ini Vincent tidak langsung menjawabku, Ia terdiam cukup lama hingga aku mengira Ia memutuskan sambungan teleponnya. "Vincent?" desakku dengan tidak sabar, "Darimana kau mendapatkannya?"

"Kita tidak bisa membicarakannya di telepon." Gumamnya. "Apa kau berada di apartemennya saat ini?"

Apartemennya? Maksudnya apartemen Alex? Bagaimana Ia bisa tahu?

"Aku ada di rumah orangtuaku." Jawabku. Jika Ia mengetahui tentang cincin orangtuaku tentu saja Ia akan tahu tentang apartemen Alex.

"Bagus. Kau bisa berpura-pura untuk pergi bersama Jenna?" tanyanya lagi.

"Yeah, kurasa... Dimana kita akan bertemu?"

"Bertemu?" Vincent berhenti sejenak untuk tertawa kecil, tapi tidak ada rasa humor di dalam tawanya. "Aku akan menjemputmu lima belas menit lagi. Bertemu di tempat umum terlalu berisiko."

Kukerutkan keningku dengan ragu-ragu, "Kau tidak akan melakukan hal yang bodoh padaku, kan?"

Kali ini Ia benar-benar tertawa, "Berbuat bodoh? Caroline... Jika aku ingin berbuat bodoh aku sudah melakukannya sejak dulu." Gumamnya sebelum memutus sambungan telepon. Aku terdiam memandang handphone di tanganku sebelum memasukkannya kembali ke saku jeansku.

Kubuka kaitan kalung hadiah dari Alex lalu memasang cincin itu sebagai bandulnya sebelum mengenakannya kembali. Tanganku meraba kalung di leherku, logam cincin yang dingin menyentuh kulitku, bersebelahan dengan bandul kalung yang berwarna hijau emerald.

Aku menunggu Vincent di halte kecil dekat rumah orangtuaku sambil mengirim pesan untuk orangtuaku, seperti permintaan Vincent. Hanya ada aku sendiri di halte ini. Beberapa saat kemudian aku baru menyadari Vincent tidak bertanya dimana alamatku sebelumnya, apa Ia sudah tahu? Tepat saat aku akan meneleponnya lagi sebuah mobil berhenti di depanku, kudongakkan kepalaku menatap Volvo di depanku. Jendelanya terlalu hitam hingga aku tidak bisa melihat kedalamnya . Sesaat kemudian kaca jendelanya turun perlahan.

"Masuk, Caroline." Vincent membuka pintu penumpangnya untukku dari dalam. Aku hanya menatap mobilnya dengan ragu-ragu.

"Kau ingin berbicara, atau tidak?" tanyanya saat melihat ekspresi wajahku. Aku membalas tatapannya selama satu detik sebelum masuk ke dalam mobilnya. Ia satu-satunya orang yang bersedia memberitahuku.

Vincent mengemudikan mobilnya dalam diam hingga beberapa menit kedepan, aku menunggunya mulai berbicara hingga akhirnya kesabaranku habis.

"Darimana kau mendapatkan cincin itu?"

"Pertanyaan pertamamu seharusnya adalah siapa aku sebenarnya... Kau sangat ceroboh untuk ukuran mate Alpha sekelas Alex. Dan Alex lebih ceroboh karena membiarkanmu pergi sendirian." Vincent berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. Kedua sudut mulutnya ditarik ke bawah, dan sesaat ada ekspresi marah di wajahnya. "Tapi tidak masalah, kau akan mengetahuinya nanti." Tambahnya sambil melirik sekilas padaku.

Kami terdiam hingga beberapa menit penuh sebelum Vincent membuka mulutnya lagi. "Cincin itu milik Ibumu."

"Aku tahu. Darimana kau mendapatkannya?" Tanyaku dengan tidak sabar. Vincent tersenyum kecil lalu menghentikan mobilnya. Aku tidak memperhatikan jalanan sebelumnya, tapi aku masih mengenal jalan sepi tempat kami berhenti sekarang. Jalan ini menuju hutan Pepperwell.

"Darimana aku mendapatkannya? Tentu saja dari Ibumu." Vincent berhenti sejenak, mengamati ekspresi wajahku sebelum melanjutkannya. "Gabriella. Namamu adalah Gabriella, bukan Caroline."

Wajahku membeku saat mendengarnya, "Apa?"

Suara Vincent berubah sedikit lebih lembut sebelum melanjutkan, "Dan aku adalah pamanmu."

Sekali lagi kalimat yang diucapkannya membuatku terhenyak di tempat dudukku.

"Namamu adalah Gabriella Reese Elaine Gold. Sama dengan inisial kalung milikmu, G.R.E.G. Ayahmu memanggilmu dengan nama Gabriella. Sedangkan Ibumu memanggilmu—"

"Hentikan." Potongku dengan suara serak. Vincent tersenyum kecil lalu mengangguk sebelum mengemudikan lagi mobilnya. Pikiranku berpacu ke segala arah sambil berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan olehnya. "Darimana kau tahu tentang kalungku?"

"Tentu saja aku tahu. Ayahmu yang memberikannya saat ulang tahun pertamamu."

Aku memandang sisi wajahnya yang terkena cahaya lampu jalanan di luar. "Apa kau... apa kau werewolf juga?"

Kali ini Vincent menarik sudut mulutnya ke atas, "Yeah, lebih tepatnya separuh werewolf."

"Separuh? Apa maksudmu?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Well, separuh werewolf dan separuh leykan." Ia melirikku sekilas sambil tersenyum lagi sebelum kembali menatap jalanan di depan, "Kau masih belum mengingat semuanya, bukan? Aku akan meringkas semuanya untukmu... Ibumu anak pertama di keluarga kami. Ayahku adalah leykan sedangkan Ibuku werewolf. Elizabeth, Ibumu, adalah teman bermain ayahmu sejak mereka kecil. Lalu setelah dewasa mereka baru menyadari bahwa mereka adalah mate. Walaupun saat itu kedua orangtua ayahmu, kakek nenekmu, menentangnya tapi setelah kau lahir mereka baru bisa menerima Ibumu." Vincent terdiam sejenak, ekspresi di wajahnya menggelap. "Setelah itu perang pecah diantara werewolf dan leykan. Pihak leykan walaupun jauh lebih kuat tapi mereka masih kalah dalam jumlah. Setelah pembantaian itu—" suara Vincent terdengar lebih rendah, "Elizabeth—Ibumu, Ia membuatku bersumpah untuk menjagamu dengan seluruh hidupku sebelum peristiwa itu. Ia membuatku melakukan sumpah yang tidak akan bisa kulanggar. Sumpah yang akan membunuhku lebih dulu sebelum seseorang atau sesuatu membunuhmu..." Kali ini Vincent menoleh ke arahku, tapi aku tidak bisa membaca ekspresi di wajahnya saat ini.

Ia kembali menghentikan mobilnya di pinggiran jalanan yang gelap. "Jadi aku terikat padamu, karena jika sesuatu membunuhmu maka akulah yang akan pertama kali mati. Tentu saja aku berusaha mencoba untuk memutuskan sumpahku, setelah pembantaian besar-besaran itu aku berusaha melarikan diri dengan seluruh tenagaku. Aku berlari dalam bentuk serigalaku selama berhari-hari... tapi kau tahu apa yang terjadi? Sejauh atau sekeras apapun aku berusaha berlari, aku selalu kembali padamu. Setelah itu aku sadar bahwa aku tidak bisa lari dari sumpahku jadi aku membawamu bersamaku. Saat itu aku masih berumur 15 tahun, masih sangat muda untuk ukuran kami. Dan aku harus membawamu, anak perempuan berumur lima tahun, bersamaku. Kau tahu apa saja yang sudah kulakukan untukmu? Tiga tahun penuh aku berlari dari satu tempat ke tempat lain untuk menyembunyikanmu, tidak pernah bisa tidur dengan tenang di malam hari dan harus kembali waspada di siangnya. Aku harus meninggalkan semuanya di belakang, mayat keluargaku yang tidak sempat kuselamatkan sendiri, rumah tempatku dibesarkan, dan semua orang yang dulu kukenal... untukmu. Aku harus meninggalkan itu semua untukmu, Gabriella. Untuk menyelamatkanmu dan melindungimu selama ini." Kedua mata birunya memandangku dengan tajam, "Aku sudah memberikan segalanya untukmu..." Tambahnya dengan perlahan, wajahnya berubah menjadi dingin.

"...dan sekarang adalah giliranmu."

Nächstes Kapitel