webnovel

Harus Tertawa Atau Menangis

Clarissa masih terdiam di depan televisi. Sedikit ada rasa khawatir yang muncul di lubuk hatinya. Sudah jam 9 malam Andrew masih belum pulang. Hatinya gundah gulana, Clarissa mulai berpikir yang tidak-tidak. Mungkinkah Andrew benar-benar telah mengkhianatinya. Clarissa menangis dalam kesendiriannya. Hatinya hancur dalam keadaan ini. Biasanya Andrew tak pernah pulang terlambat, kalau pun pulang terlambat dia selalu mengabari istrinya. Akhirnya Clarissa tertidur dalam tangisannya.

Esok harinya ketika matanya terbuka, Clarissa langsung mencari Andrew di seluruh ruangan. Dan lagi, hanya kekecewaan yang didapatkannya. Dia kembali menangis, tak mengerti mengapa suaminya tega terhadap dirinya. Clarissa memutuskan mendatangi kantor Suaminya.

Sampai di A.H Architect, Clarissa memasuki kantor dengan tidak sabaran. Para Karyawan memandangnya dengan tatapan aneh. Dilihatnya sekretaris Andrew sedang memasuki ruangan suaminya. Clarissa langsung menyusul Nindy. Wanita itu terkejut melihat istri atasannya datang ke kantor.

"Clarissa, bagaimana kamu bisa berada disini?" tanya Nindy.

Clarissa tak mengerti maksud perkataan wanita di depannya itu. "Apa maksudmu?" jawabnya bingung.

Nindy merasa ada yang tidak beres dengan Clarissa. "Semalam Pak Andrew lembur di kantor ini. Saking sibuknya mungkin dia lupa mengabarimu. Saat sudah hampir tengah malam, dia mengeluh pusing. Lalu Pak Andrew memutuskan untuk pulang. Namun ditengah perjalanan, beliau mengalami kecelakaan. Dan Pak Ferdinand yang kebetulan lewat, langsung menolong dan membawanya ke RS. Aku pikir dia sudah mengabarimu, tadi pagi Pak Ferdinand yang menelponku untuk menghandle urusan kantor," jelas Nindy.

Langit seakan runtuh bagi Clarissa. Dia tak menyangka Andrew mengalami kecelakaan, dan dengan gilanya dia malah mencurigainya berselingkuh. Setelah mendapatkan alamat dan nomor kamar perawatan Andrew, Clarissa langsung menuju RS. Setengah berlari dia mencari ruang perawatan suaminya. Terlihat di lorong paling ujung, Ferdinand berdiri di depan pintu kamar.

"Bagaimana keadaan suamiku, Om?" tanya Clarissa dengan bibir gemetar.

Ferdinand menatap Clarissa dengan seringai di bibirnya. "Kali ini aku biarkan kamu melihat Andrew," ucap Ferdinand.

Clarissa menjerit di dalam hatinya, melihat keadaan Andrew. Seluruh tubuhnya terpasang selang untuk mempertahankan hidupnya. Dari semalam Andrew mengalami koma, sejak kecelakaan itu dia belum membuka matanya. Wanita itu benar-benar menangis sejadi-jadinya. Dia semakin tak mengerti dengan takdir yang harus dijalaninya. Seakan segala penderitaan selama ini belum cukup untuk menguji hidupnya. Dokter pun mengatakan hidup Andrew tergantung dengan alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Hanya keajaiban dari Tuhan yang mampu membangunkannya. Mendengar penjelasan dokter Clarissa semakin menangis tak tertahankan.

Semalaman Clarissa menunggu Andrew disampingnya. Seperti tak lelah menangis, air matanya terus saja mengalir. Ferdinand terlihat masuk ke kamar perawatan Andrew.

"Pulanglah, istirahatlah di rumah," ucap Ferdinand dengan sangat lembut.

Tanpa merasa curiga Clarissa menuruti ucapan Ayah Mertuanya itu. Dia pun kembali ke apartemennya. Sampai di lobby depan, Clarissa bertemu dengan Joe.

"Hai Joe!" sapanya dengan tidak bersemangat.

"Apakah Kakak baik-baik saja? Kakak terlihat sangat pucat," tanya Joe sambil memperhatikan Clarissa.

Belum sempat menjawab, Clarissa sudah lebih dulu pingsan di hadapannya. Dengan sangat panik Joe membawa Clarissa ke RS. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, dokter mengatakan Clarissa pingsan karena kelelahan.

"Tolong jaga istri anda, kelelahan sangat tidak baik untuk janin didalam perutnya," jelas dokter yang merawat Clarissa kepada Joe.

Joe sangat terkejut mendengar Clarissa tengah hamil. Selama ini dia tak pernah menceritakan tentang kehamilannya. "Atau jangan-jangan dia tak menyadari kalau sedang hamil?" tanya Joe dalam hatinya.

Joe pun kembali menemui Clarissa di bangsal IGD. Karena menurut dokter, Clarissa hanya butuh istirahat. Setelah sadar dia sudah boleh pulang. Menunggu setengah jam, Clarissa mulai membuka matanya.

"Joe, kenapa aku bisa disini?" tanyanya lirih.

"Tadi kamu pingsan ketika kita bertemu di lobby apartemen, jadi aku membawamu kesini," jawab Joe ramah.

"Tunggulah disini sebentar, aku akan mengurus administrasi dan kita akan segera pulang." Joe pun pergi ke bagian administrasi.

Setelah semua selesai, mereka berdua kembali ke apartemennya. Joe memaksa masuk ke apartemen Clarissa.

"Aku harus masuk ke apartemenmu, ada yang akan aku sampaikan," ucap Joe.

Tanpa menjawab Clarissa membukakan pintu untuk Joe, wanita itu langsung duduk di ruang tamu. Clarissa terlihat melamun dan terlalu sedih. Joe menatap kasihan pada wanita yang dicintainya itu.

"Apa kamu tak tahu jika kamu tengah mengandung?" tanyanya.

"Apa! Jadi aku hamil anak Mas Andrew." Bukan kebahagiaan yang ditunjukkannya, justru Clarissa larut dalam tangisannya.

Joe masih belum mengerti ekspresi yang ditunjukkan oleh Clarissa. Sekuat hati dia mencoba memahami wanita itu.

"Mengapa Kakak justru menangis, bukankah ini kabar yang membahagiakan?" tanyanya lagi.

Clarissa seperti sedang menarik nafas sedalam-dalamnya. "Kebahagiaan apa yang harus ku tunjukan? Apakah aku harus tertawa ketika Suamiku terbaring koma di RS?" jawab Clarissa.

"Apa yang terjadi dengan suamimu?" Joe semakin penasaran.

Lalu Clarissa menceritakan semuanya sambil berurai air mata. Melihat kesedihan Clarissa, hati Joe ikut menangis. Dia benar-benar merasa lemah, melihat wanita yang dicintainya terluka.

"Aku harus segera ke RS," katanya sambil menghapus air mata di wajahnya.

"Aku akan mengantarmu," tawar Joe padanya.

Clarissa menolak tawaran Joe, dia memilih ke RS menaiki taksi. Didalam taksi, Clarissa tak sabar untuk menemui suaminya. Walaupun Andrew tak sadar, dia bertekad untuk memberitahukan kabar gembira itu pada suaminya. Memasuki ruang perawatan, Ferdinand masih berdiri tak jauh dari ranjang Andrew.

"Atas ijin siapa kamu masuk ruangan ini?" tanya Ferdinand dengan dingin.

"Apa maksud Om Ferdinand?" tanya Clarissa sedikit ketakutan.

"Aku tak mengijinkan kamu menemui anakku," jawab Ferdinand tanpa perasaan.

"Kumohon, Om. Ijinkan aku menemui suamiku. Aku ingin menemaninya, meskipun dia tak sadar," ucapnya dengan terbata-bata dan air mata yang siap mengalir.

"Aku mengijinkanmu, tapi ada syaratnya." Ferdinand tersenyum angkuh menatap menantunya.

"Aku akan melakukannya, asal aku bisa menemui suamiku." Clarissa menjawab spontan tanpa memikirkan syaratnya.

Ferdinand pun menarik tubuh Clarissa ke dalam pelukannya. Lalu tangannya meraba area wanita milik Clarissa. "Aku menginginkan ini," bisik Ferdinand di telinga Clarissa.

Clarissa tak menyangka Ferdinand memakai keadaan ini untuk memaksanya. Clarissa benar-benar bingung dengan keputusannya. Dia terus berpikir namun tak menemukan jalan keluar lainnya.

"Kalau kamu menolaknya, kamu bisa langsung keluar dari ruangan ini." Syarat yang diinginkan Ferdinand menjadi buah simalakama bagi Clarissa.

Di sisi lain dia tak mau mengkhianati suaminya, namun di sisi yang lain dia ingin menemani suaminya. Tak ada lagi pilihan, Clarissa terpaksa menyetujui syarat gila yang diberikan Ferdinand.

Seolah sudah tak sabar lagi, Ferdinand langsung menarik Clarissa masuk ke kamar mandi. Dia mulai melucuti pakaian Clarissa. Tubuh Clarissa yang selalu dirindukannya sudah menghipnotisnya. Ferdinand menciumi seluruh bagian tubuh wanita itu dengan sangat lembut. Ferdinand menyusuri kaki Clarissa lalu naik dan berhenti di area favoritnya. Lidah Ferdinand bermain-main di pangkal paha Clarissa. Sekuat tenaga dia menahan desahannya. Namun tubuhnya, tentu saja, tak mampu menolak sentuhan lembut lidah Ferdinand.

"Sayang kamu sangat basah. Tubuhmu terlalu merindukan sentuhanku," bisik Ferdinand sambil menjilati leher Clarissa.

Clarissa begitu takut kalau dia tak bisa mengendalikan gairahnya. Sentuhan Ferdinand masih saja terasa memabukkan. Dan itu hampir saja membuatnya frustasi.

Happy Reading

Nächstes Kapitel