webnovel

Jarum Perak

"Orang itu tinggal di dalam gua desa utara, kita harus pergi ke desa untuk mencari informasi." Iris baru saja selesai mandi dan tengah menyisir rambut panjangnya, Thomas hanya menatapnya sambil mengunyah kue kering di mulutnya, dalam hatinya masih kesal.

"Apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" Iris balik bertanya, merasakan tatapan tidak suka Thomas. Namun bocah itu malah membuang muka.

Iris tidak memedulikannya, suasana hatinya selalu menjadi baik akhir-akhir ini, berkat tubuh barunya. Penyihir itu bangkit berdiri, memasang tudung hitam yang di dapat dari wanita bar, ia melirik Thomas, bocah itu hanya memakai atasan putih lusuh dan celana selutut, kakinya tidak memakai alas apa pun, banyak luka goresan di sana.

Tiba-tiba Iris merasa menjadi Ibu yang buruk.

"Ayo, kita tidak punya banyak waktu," ucap Iris sambil tersenyum, mengambil tangan Thomas, Litzy mengekor di belakang mereka.

Mereka berjalan beriringan ke desa di bawah bukit, tempat Iris mengeksekusi manusia semalam, Iris menutup kepalanya dengan tudung, begitu juga dengan Thomas.

Beberapa orang yang mereka temui terlihat acuh dengan keberadaan mereka, desa hari itu sangat ramai, sepertinya hari ini adalah hari pasar.

"Tomy, kita akan berbelanja beberapa keperluan," ucap Iris, Thomas kebingungan.

"Kenapa berbelanja? Tidak bisakah menggunakan sihir?" Tanya Thomas, ia melihat pagi ini Iris mengeluarkan pakaian dari dalam kantung sihirnya, ia pikir mungkin itu adalah salah satu sihir yang digunakan Iris.

"Sihir hanya bersifat sementara Tomy, lagi pula aku punya banyak uang." Iris mengambil tangan Thomas dan memberikan bocah itu tiga keping emas, mata Thomas membulat melihatnya.

"Dari mana ... " Thomas terbata, seingatnya Iris sangat miskin, hanya dalam sehari wanita ini meninggalkannya pergi ke desa dan sudah menjadi kaya dalam sekejap.

Di kerajaan Megalima, mata uangnya adalah perak dan emas, satu keping emas seharga seratus keping perak, dan sekarang Iris memberinya tiga keping, penyihir ini sangat kaya.

Disisi kekagumannya pada Iris, Thomas juga merasa sedih, ia seorang pangeran tetapi ia sekarang menadahkan tangannya untuk menerima uang, seperti pengemis rendahan.

"Belanjalah apa yang kamu suka, satu jam lagi kita bertemu di sini." Iris tersenyum di balik tudungnya, mengusap pipi Thomas lalu berjalan menjauh diikuti oleh Litzy.

Thomas memandangi kepergian Iris sambil tersenyum pahit, pada akhirnya dirinya lah yang selalu menjadi beban bagi Iris.

Menjadi pasangan Iris? Thomas pasti bermimpi, dia tidak sebanding dengan Iris. Wanita itu sekarang begitu cantik dan tubuhnya sangat memesona. Menjadi anaknya saja ia harusnya bersyukur.

Tapi Thomas masih kesal.

Langkah kaki kecilnya berjalan mengitari pasar, perasaannya tidak menentu, berjalan seorang diri di tengah keramaian mengingatkannya dengan masa lalu, dulu ia dan kakaknya, Putri Tiersa senang sekali mengunjungi pasar secara sembunyi-sembunyi untuk membeli makanan manis.

Thomas dulu sangat suka makan permen atau gula-gula apel, tapi ketika ia beranjak dewasa ia tidak pernah menyentuh makanan itu lagi. Dan sekarang ia berdiri di antara para penjual makanan, ia tidak dapat menahan dirinya untuk mencoba mereka satu persatu.

Sementara itu di tempat lain Iris tengah duduk bersama kenalan lama, di sebuah rumah tua, dia adalah Tuan Dai, laki-laki tua dari ras Orc yang sudah lama pensiun dari pasukan kerajaan.

"Aku tidak menyangka akan melihatmu kembali," ucap Dai sambil membuka gulungan kertas usang, sebagai pensiunan marinir, ia memegang banyak informasi geografis kerajaan Megalima.

"Dan kau tetap cantik seperti dulu, ah berapa lama kita tidak bertemu?"

"Entah, mungkin beberapa ratus tahun." Iris tersenyum simpul, mereka rata-rata mempunyai umur yang panjang, tidak seperti manusia yang hanya hidup beberapa puluh tahun.

Dai terkekeh, kaca matanya melorot jatuh ke hidungnya, dengan cepat ia perbaiki melalui jari kelingkingnya, Dai memiliki tubuh seperti ras Orc pada umumnya. Besar, tinggi dan berwarna hijau, akan tetapi Dai memiliki wajah yang ramah dan jenaka.

"Wanita bar itu ... kau yang melakukannya?"

"Ya, itu aku." Dai mengangguk paham, ia tidak berniat mencampuri urusan Iris.

"Ini adalah peta kerajaan Megalima, kau saat ini berada di sini." Dai menunjuk bagian peta paling ujung, wilayah utara.

"Karena kau mencari orang itu, dia berada di wilayah selatan, perjalanan ke sana sedikit sulit, tapi karena kau penyihir itu bukan masalah besar."

"Aku mengerti."

"Tapi masalahnya untuk apa kau menemuinya? Dia manusia, mungkin saat ini sudah membusuk di bawah tanah."

"Aku harus menemuinya."

"Kau melakukannya demi seseorang? Ini bukan sifatmu sama sekali," komentar Dai, duduk malas di kursinya.

"Siapa dia?"

"Manusia," sahut Iris singkat.

"Ho ... manusia selalu melakukan kesalahan dan bersikap sangat arogan di depan ras lain. Merawat orang yang terkena kutukan penyihir putih hanya akan membuatmu repot."

"Hm?"

"Semakin tubuhnya mengecil ia tidak hanya kehilangan kekuatannya tetapi daya berpikirnya juga."

"Tingkahnya memang seperti anak-anak," sahut Iris menatap gulungan kertas, ia tersenyum. "Tapi dia cukup manis."

Dai menghela napas panjang, "Ingatlah, cepat atau lambat dia akan membusuk di tanah."

"Yah, memang. Tapi aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja, bagaimana pun dia menolongku."

"Kau mengikatnya?"

"Untuk saat ini tidak," Iris terbayang wajah kecil Thomas. "Ada sesuatu yang ingin ku ketahui tentangnya, jadi aku akan bersabar."

****

Thomas sedang duduk di bangku pinggir pasar, sedang beristirahat, di sampingnya terdapat satu kantung makanan manis dan permen, ia duduk sambil mengunyah roti ikan yang baru saja dibelinya.

Duduk khidmat sambil makan sesuatu dan sendirian, keberadaan Thomas tidaklah mencolok, sebelum seorang nenek tua yang bungkuk duduk di dekatnya.

Thomas tidak berkata apa-apa, ia tidak juga berniat beramah-tamah, pikirannya sedikit aneh akhir-akhir ini, jadi sedikit egois.

Thomas tetap makan dan makan sampai kue ikan ketiga.

"Pangeran kecil."

Nenek tua itu buka suara, Thomas terkejut dan mendongak, kue yang masih tersisa sebagian itu jatuh ke tanah.

"Aku tahu itu kau," ucapnya lagi, wajahnya yang keriput itu tersenyum, rambut putih di belakang kepalanya tergelung rapi.

Thomas tak mengucapkan sepatah kata pun, masih terlalu kaget bahwa identitasnya diketahui.

"Ambilah ini," sambung nenek bungkuk itu, tangannya mengulurkan sebuah tabung kecil berwarna hitam, Thomas mengambil dan membukanya, di dalam sana terdapat sebuah jarum perak.

"Kau bisa menggunakannya untuk keadaan tertentu." Nenek tua itu sepertinya tidak mengharap jawaban dari mulut Thomas, dengan tongkat kayunya ia berjalan ke tengah kerumunan pasar, menghilang.

Thomas menatap jarum itu sebentar, sekali lihat ia tahu siapa saja yang bisa terbunuh oleh jarum sekecil ini, karena jarum perak merupakan kelemahan dari penyihir dan manusia serigala.

"Iris."

Thomas bergumam, merasa sedih, ia sebenarnya tidak menggantung tinggi harapannya kepada penyihir itu, apalagi untuk mencari orang yang selamat dari kutukan, ia hanya ingin menikmati sisa hidupnya sekarang.

Entah ia akan mati karena kutukan atau mati di tangan Iris, ia tidak peduli. Yang terpenting bersama wanita itu membuatnya merasa senang.

Thomas menyukai Iris.

Nächstes Kapitel