webnovel

Tugas Mahal

Hari ini jadwalnya adalah nganterin Bos Kecil dan Nyonya makan siang terus bantuin Bos belajar mengemudi. Belajarnya pake mobil yang murah aja, biar kalo nabrak nggak rugi banget.

Sebelum jam makan siang, aku sudah menyelesaikan tugasku. Merangkum email masuk. Heran aja, tiap hari ada email masuk yang harus dirangkum. Emang apa yang dikerjain sama Bos Kecil?

Pengen iseng baca emailnya secara rinci, tapi males. Bahasa Inggris yang formal banget dan banyak kata yang kurang aku pahami.

Jadi, mending kita pelajari aja apa yang dikasih sama Kairo kemarin. Jadwal harian yang bisa aku ikuti. Siapa tahu setelah membaca jadwal itu, aku jadi tercerahkan dan bisa jadi aspri yang baik.

Oke, menurut jadwal harian Kairo, dia bangun jam 5 pagi. Setelahnya, dia akan beribadah lalu berolahraga selama 30 menit. Jam 6 pagi, dia sudah rapi dan sudah siap untuk bekerja. Itu artinya, Kairo mulai bekerja jam 7 pagi. Kita asumsikan aja sarapan membutuhkan waktu 1 jam.

Kalo dihitung, Kairo berarti bekerja selama 12 jam ya.

Misal diaplikasikan ke aku, apa wajar kerja 12 jam dengan gaji segitu? Over time aja 4 jam sendiri. Mungkin memang aku harus tanya sama ahlinya. Nggak bisa berasumsi sendiri.

Kelar rekap email, aku langsung mencari Kairo. Sayangnya dia nggak aku temuin di rumah.

"Kairo ada meeting di luar, menggantikan Mr. Narendra." itu jawaban Rossie ketika aku bertanya dimana keberadaan Kairo.

Iya juga sih, ini kan jam kerja. Wajar kalau aspri teladan kita sibuk. Beda sama aku yang masih abal-abal ini.

Kekecewaanku terhapus ketika mengantar para bos makan siang. Gini amat yak orang kaya makan siang?

Mereka rela menempuh jarak 1 jam demi bisa makan siang sesuai yang diinginkan. Iya, aku dalam perjalanan mengantar bos menuju hotel mewah yang ada di kota ini. Bahkan mantan presiden Amerika aja pernah nginep di hotel ini. Ini cuma buat makan siang ditempat semahal ini?

Jangan tanya gimana suasana hotel, karena ini terlalu mewah untuk ukuran rakyat jelata macam aku. Kalau nggak kerja sama keluarga Narendra juga mungkin aku nggak bakal bisa masuk ke hotel mewah macam ini.

Aku dan Rossie nggak mengikuti bos, karena mereka akan makan siang keluarga. Sebagai gantinya, Rossie mengajakku menuju restoran hotel. Para bos nggak makan di restoran ya, mereka makan di ruang privat yang memang udah dipesan sebelumnya.

Ternyata Kairo sudah menunggu disana. Duduk diam macam patung sembari berkutat sama tabletnya. Sepertinya tablet adalah barang yang sangat sakral disini, karena mereka selalu menatap tablet dengan khidmad. Bisa juga dianggap sebagai nyawa kedua kali ya.

Makan siang berlangsung hening. Memangnya mo gimana? Ada teriakan gitu?

Jujur aja, aku juga pengen lho ada obrolan ringan ketika berkumpul kek gini. Biar kita lebih akrab gitu. Toh ngomong kan gratis kan?

Ketika Kairo sudah meletakkan alat makan dan mengusap mulut, aku segera buka suara. "Kairo, I want to ask you something."

"What about?"

Aku sedikit ragu untuk bertanya. Apalagi disini ada Rossie. Kan ketahuan banget kalo aku tuh bego. Nggak apa lah. Lebih baik malu kan daripada malu-maluin.

"About your schedule." aku memperhatikan bagaimana reaksi Kairo. Kalo mukanya butek, ya nggak jadi nanya. "So, you worked more than 8 hours?"

Kairo menatapku. Rossie juga. Seolah pertanyaanku itu pertanyaan yang tabu untuk diungkapkan.

"No. It's 8 hours. Why?"

"How come?"

"Tergantung jam kerja Mr. Narendra. Kalau beliau ada kuliah, aku akan beristirahat. Ketika beliau ready, berarti jam kerjaku dimulai lagi." jelasnya. Tapi aku masih nggak paham.

"Bagaimana kalau kamu memiliki acara disaat jam senggang itu? Dan ternyata waktunya lebih lama dari dugaan?"

Aku melihat Rossie yang tersenyum, tapi dia menyembunyikan senyumnya. Apa bertanya itu hal yang dilarang? Setahuku sih nggak, soalnya Rossie juga sering tanya sama aku apa aku punya pertanyaan.

"Kewajiban yang utama. Kecuali aku sudah meminta ijin kepada Mr. Narendra sebelumnya. Dan pastikan juga tidak mengganggu jadwal beliau."

Masih belum begitu jelas dengan jawaban Kairo, tapi paling tidak aku sudah bisa membayangkan bagaimana melakukannya. Tapi apa bekerja seperti itu akan efektif? Sedangkan terkadang waktu yang kita punya memang sangat panjang, bisa berjam-jam sih.

Kita lihat aja nanti, gimana kenyataannya kalau aku melakukan hal seperti itu. Apa aku bisa memanfaatkan waktu atau malah mengacaukan semuanya.

***

Jam 5 sore.

Seharusnya aku udah pulang sejak sejam yang lalu, tapi karena ada rapat penting jadi aku masih bertahan di rumah keluarga Narendra.

Kairo sedang asyik di depan laptop seperti biasa. Kayaknya tuh orang demen banget sama laptop. Apa jangan-jangan dia pacaran sama laptop? Rossie sedang memilikah berkas yang harus ditandatangani oleh Nyonya besok pagi. Sedangkan aku? Hanya menatap para aspri yang sedang bekerja.

Ceritanya sih mau sok sibuk juga dengan rekap email, tapi baru dapet beberapa email masuk, langsung buyar karena pesan masuk dari Fara.

[Dapet undangan nikah dari Nara. Bulan depan nikahnya.]

Harus ya ngabarin hal nggak penting kek gini? Emang nggak bisa nunggu aku udah di rumah baru ngabarin?

"Any problem?" kanget banget sumpah, tiba-tiba ada yang nanya disebelahku. Padahal tadi aku pikir nggak ada orang disekitar sini.

"No, Sir." jawabku gelagapan.

Sejak kapan Mr. Ilham ada disekitar kolam renang? Kenapa dia bisaan aja nyampirin aku di tempat yang remang ini? Jangan-jangan.

"Apapun yang kamu pikirkan, lupain aja. Toh nggak ada pengaruhnya ke kamu sekarang. Nanti akan ada orang yang menyesal kalau kamu lupain hal itu." setelah mengatakan itu, Mr. Ilham langsung berjalan masuk. Ketika bertemu dengan Ansel, dia langsung merangkulnya dan mengajaknya bercanda.

Semudah itu?

Apa yang Mr. Ilham ucapkan ada benarnya. Nanti, ketika aku sudah sukses, akan ada orang yang pernah meremehkanku akan menyesal. Aku berharap, dia yang mengirimiku undangan juga akan merasakan hal itu. Menyesal karena sudah meremehkanku. Hanya karena aku adalah orang miskin dan hanya bekerja sebagai satpam. Lulusan SMA pula.

Jadi, apa aku akan bersedih dan kacau hanya karena pesan itu? Tentu tidak, Marimar! Ada banyak hal yang harus aku lakukan untuk bisa mencapai puncak kesuksesan.

Dimulai dengan memperhatikan presentasi Kairo dalam bahasa Inggris ini. Aku pikir bakal ada pembahasan serius, nyatanya ini adalah bagian dari rangkaian kejutan ulangtahun Bos Kecil. Apalagi kalau bukan tentang kado mobil. Ini seriusan ya, anak yang mau ultah ke 17 dapet kado mobil yang harganya bisa bikin mumet ngitungin angkan nol-nya.

Ini adalah kelanjutan dari perjalanan kemarin ke Semarang bareng sama Kairo. Ada 6 merk mobil yang sudah kita jelajahi kemarin, dan setiap merk ada 2 tipe mobil yang terpilih. Jadi, totalnya ada 12 mobil yang akan diseleksi lagi. Ya Tuhan, kapan aku bisa punya mobil kayak gitu?

"It should in red." potong Mr. Ilham santai. Rossie segera memberikan catatan.

"Lebih membaur Ranger Rover." itu suara Mr. Bima.

"No, lebih bagus Audi, or Maserati." sanggah Mr. Ilham.

"Mini Cooper not bad." satu-satunya menantu bersuara, istri Mr. Arrael, Aini.

Rebutannya orang kaya memang beda. Ketika aku dan kedua adikku terkadang hanya rebutan remot tv, mereka malah rebutan mobil mana yang akan dijadikan sebagai hadiah ulangtahun adik mereka. Perbandingannya jauh banget lho.

"Oke, kita sudah sepakat. Range Rover and Audi. Mungkin bisa juga ditambahin Mini Cooper." putus Mr. Bima.

Hey, sepertinya aku cuma melamun beberapa detik, tapi kok udah main putus aja? Yakin nih?

"It's your job to bring all three cars, Deano. Next week at the latest."

"Yes, Sir." jawabku tanpa pikir panjang. Bahkan aku tidak tahu siapa yang sedang berbicara itu tadi.

***

Beruntungnya Kairo membantuku menyelesaikan tugas pertamaku ini. Dia mengajariku bagaimana melobi ketiga dealer itu dan membawanya ke Jogja secepat mungkin. Dan untuk masalah pembayaran, itu adalah urusan Rossie. Tapi, aku juga harus ikut menyaksikan bagaimana transaksi besar itu terjadi.

Kalau setiap mobil berharga 1,5 milyar, itu berarti uang yang sudah dikeluarkan adalah 4,5 milyar. Itu baru hitungan dari harga minimal, karena ada satu mobil yang harganya 2 kali lipat mobil lainnya. Totalnya adalah 6,3 milyar. Nggak usah dibayangin uang segitu banyak dari mana atau ngitungnya gimana. Karena aku udah pusing duluan liat angka nol.

Kita bahas dari segi pekerjaan ya.

Mungkin normal banget bagiku untuk menghubungi para dealer dan melakukan pengiriman. Itu memang masih bisa dibilang wajar. Tugasku untuk memenuhi kebutuhan sang majikan. Tapi bagaimana dengan pembayaran?

Ini bagian Rossie untuk menjelaskan.

"Tuan dan Nyonya tidak mau dipusingkan dengan masalah pembayaran. Gaji para pegawai, operasional rumah dan semua tagihan lainnya. Itu adalah tugas para asisten pribadi di rumah ini. Aku, Kairo, Ansel, Eric dan Josh. Yang nantinya kamu juga akan melakukannya."

Yakin aku harus melakukannya? Kalau gaji dan operasional rumah, mungkin masih bisa aku handle karena nominal nggak sebesar itu. Tapi bagaimana kalau ada pembelian semacam itu? Gimana kalau aku melakukan kesalahan?

"This is where the art of accuracy is needed." tambah Rossie dengan senyum yang ramah.

Beruntung banget siapapun yang akan menjadi suami Rossie. Dia sudah terbiasa melakukan hal yang rinci seperti ini, yang nantinya ketika berumah tangga tidak banyak kesalahan yang terjadi. Aku bener kan?

"Dari mana semua uang itu?" tanyaku polos. Sumpah, aku kepo banget soal ini.

"Patungan. Tuan, Nyonya dan ketiga Tuan Muda."

"Apa pekerjaan mereka sampai bisa punya uang sebanyak itu?"

"Saham, rumah sakit, lisensi, bisnis, jasa."

"What kind of service?"

"Jasa keuangan, jasa kesehatan, jasa keamanan." Rossie menjawab pertanyaanku sembari mencatat sesuatu. "Services are expensive."

Jelas, mereka nggak cuma menabung supaya pundi-pundi mereka bisa sebanyak itu. Apa ini yang dinamakan uang bekerja untuk kita? Kalau iya, aku ingin tahu bagaimana caranya.

Nächstes Kapitel