Setelah beberapa saat, Alif kembali ke kamarnya dengan membawa roti bersayap tanpa selai punya Mbak Aty, salah satu asisten rumah tangga yang dimiliki mamanya.
Untunglah dia membuka pintu kamar saat tuan mudanya mengetuk pintunya di pagi buta alias jarum jam sudah menunjuk angka 03.15. Sempat kaget, tapi ketika Alif menjelaskan tujuannya malah Mbaknya menggodanya. Sehingga wajah sampai ke telinganya memerah.
Sementara Alifah menunggunya dalam kamar mandi dengan rasa malu yang belum padam.
Ya ampun sungguh malu, bahkan Alif mengira jika darah haidnya adalah darah keperawanannya dan lebih parahnya lagi Alifa menyuruh alif untuk mencarikannya pembalut. Dia melihat seprei yang sudah ia lepas, membayangkan kejadian beberapa menit yang lalu yang sungguh memalukan.
Dia mengucek seprei yang ada noda darahnya, setelah itu ia rendam karena dia tidak sanggup untuk mencucinya. Sepreinya lumayan tebal. Rencananya sebentar pagi dia akan masukkan ke dalam mesin cuci agar memudahkan dirinya untuk membersihkan seprei.
Tok tok...itu pasti Alif. Dia degera membuka sedikit pintu kamar mandi dan menjulurkan tangan siap menerima apa yang di berikan Alif padanya. Di terimanyalah roti yang bersayap itu sesuai permintaannya dan segera menutup pintu setelah ia mengucapkan terima kasih.
Niat ingin melanjutkan tidurnya tidak jadi, karena ternyata seprei yang telah di copot belum di ganti Alifah. Padahal matanya sudah sangat lelah butuh untuk di istirahatkan. Terpaksalah dirinya mengambil seprei baru yang ada dalam lemarinya dan menggantinya.
Seumur-umur dirinya baru mengganti seprei kamarnya sendiri, dan ternyata tidak segampang yang dia pikirkan, apalagi mata yang sudah sangat kelelahan. Bolehkah dirinya langsung tidur saja tanpa mengganti seprei? . Tapi sepertinya tidak bisa, dirinya pencinta kerapian. Pantang bagi dirinya tidur tanpa seprei.
Di tengah dia berusaha untuk merapikan seprei yang dari tadi tidak mau rapi seolah mengajak Alif untuk berperang, tiba-tiba datang sebuah tangan lentik yang membantunya. Dan ajaibnya tidak butuh berapa lama seprei itu sudah terganti dengan rapi. Apakah jika ingin melakukan sesuatu lebih bagusnya jika di lakukan berdua? Sepertinya teori itu benar.
Setelah pekerjaannya di rasa sudah selesai, tidak menunggu lama Alif langsung melemparkan tubuhnya ke kasur untuk menjemput mimpi. Sementara Alifah, menuju ke sopa untuk istirahat. Seolah lupa jika Alif pernah melarangnya untuk tidak tidur di sopa. Perlukah dirinya untuk di ingatkan kembali?.
"Kamu tidak tidur? Pagi masih ada 2 jam lebih lho. Lagian kamu lagi haidkan. Mending istirahat saja, baru juga baikan. Sini tidur"
Alifah yang sudah hendak mencari posisi nyaman kembali duduk tegak mendengar perkataan Alif.
"Ayolah Alifah, saya tidak cukup punya tenaga untuk menggendongmu. Dan saya sangat mengantuk untuk mendengar sanggahanmu. Dan itu semua gara-gara kamu. Sekarang kamu ke sini dan tidur sebelum saya marah".
Perlahan Alifah berjalan dengan ragu. Dan mengambil posisi yang kosong di samping Alif. Dongkol. Ingin rasanya dia membungkus Alif dengan selimut yang pakainya setelah itu melemparkannya ke jendela. Astagfirullah hal Adzim.
***
Suara adzan membangunkan Alif. Dirinya kaget ternyata Alifah sudah ada salam pelukannya. Kenapa selalu seperti ini. Pasti Alifah yang menggeser ke badannya, tapi jika melihat posisinya seperti ini justru sebaliknya, dirinya yang sepertinya mencari tubuh Alifah di jadikan bantal guling. Begitu nyamannyakah tubuh Alifah sehingga di sangkanya bantal guling? Opps Jika Alifah duluan yang bangun pasti pantatnya akan mencium lantai lagi. Sebaiknya dirinya segera bergegas sebelum singa betina itu bangun.
Segera dia paksakan menyeret tubuhnya untuk mengambil air waduh, sebelum melaksanakan Shalat menghadap Rabb sang yang Maha Agung.
***
Pagi hari telah menyapa, matahari sudah memancarkan sinar dengan gagahnya ke seluruh penjuru Bumi. Setiap makhluk mulai dengan aktivitasnya masing-masing. Termasuk sang gadis yang sudah ada dalam bagasi untuk mengeluarkan sepedanya. Sepertinya dia sudah hampir telat.
"Mau kemana? " tanya Alif tiba-tiba nongol di belakang Alifah.
"Sudah jelas kan saya mau kemana. Jadi sepertinya saya tidak perlu menjawab kan". Kesal Alifah di tanya dengan pertanyaan yang tidak penting. Kemudian membawa sepedanya keluar.
"Kita barengan aja perginya. Kamu juga belum sehat betulkan?" cegah Alif.
"Sejak kapan Alif seperhatian ini? ". Ejek Alifah curiga sambil tersenyum mengejek.
"Jangan ke ge-eran. Eyang yang menyuruh saya kita barengan perginya. Kalau bukan perintah Eyang, jangan mimpi kamu saya ajak naik motor saya". Balas Alif tak mau kalah. Sepertinya dia melupakan sesuatu.
"Oh ya... Jadi siapa tuh, kemarin yang menyeret saya untuk naik di motornya? Bukan kamu ya?. Oh bukan... Orang lain pastinya " ejek Alifah semakin menjadi-jadi. Tapi bagusnya Alif bungkam. Emang enak. "Minggir! "
"Pergi bareng sama saya"
"Ajak Alifah sahabat kamu, jangan saya".
Alifah tidak menghiraukan Alif lagi. Ia tetap membawa sepedanya ke depan. Tapi sayangnya sebelum Alifah sampai di depan pintu bagasi, kembali Alif menghalangi jalannya. Oh ayolah dia bakalan bisa telat jika waktunya di gunakan untuk berdebat.
"Kamu bisa telat jika naik sepeda. Barengan sama saya. Lagian kalau kamu pingsan di tengah jalan bagaimana? "
"Jangan khawatir saya tidak selemah itu. Jadi minggir. Saya beneran bisa telat jika kamu mengha..... " perkataan Alifah terhenti karena sepedanya terlepas dari genggaman tangannya dan....
Bruk...
"Akhhh lif kamu apa-apaan sih". Jeritnya melihat nasib sepedanya yang di banting Alif.
"Makanya jadi orang mendengar. Kamu mau, saya jadikan kamu kaya gitu juga. Supaya tidak ke sekolah sekalian". Ancam Alif sambil memakaikan helm ke kepala Alifah. Dan menyuruhnya untuk naik segera ke atas mobil. Dengan keadaan terpaksa Alifah naik ke atas motor. Dan Alif pun menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.
***
Di perjalanan Alif kembali menambah kecepatan motornya, tapi sebelum itu dia memperingati Alifah untuk berpegangan karena waktunya tinggal sebentar lagi telat. Tapi sama seperti kemarin Alifah lebih memilih jatuh ketimbang pegangan dengan Alif.
Menghampiri pintu gerbang sekolah, Alifah berteriak agar di turunkan sebelum pintu gerbang sekolah, karena dia tidak ingin ada temannya yang melihatnya berboncengan. Bisa gempar sekolah nantinya.
"Alif berhenti...Turunkan saja saya di sini". Teriak Alifah, tapi dasar Alif, dia pura-pura tidak mendengarkan teriakan Alifah. Barulah dia merespon setelah Alifah mencubit lengan Alif dengan sedikit kekuatan. Rasakan, siapa suruh bebal.
"Sakit tau. Bisa tidak sih, kamu itu tidak pake kekerasan. " Tegur Alif marah setelah di memberhentikan motornya dengan cara me-rem mendadak. Dan akibatnya tubuh Alifah langsung tersentak condong ke depan, akibatnya kepalanya membentur kepala Alif, untung keduanya memakai helm, coba kalau tidak bisa retak itu kepala. Dan yang lebih parahnya lagi badan Alifah langsung berhimpitan dengan punggung Alif. Ohhh, ini tidak bagus bagi jantung mereka.
"Kamu yang keterlaluan, berhenti dengan rem mendadak" balas Alifah tidak kalah galaknya. Sungguh dia masih syok, apalagi posisinya yang....ingin rasanya Alifa menghilangkan kepala Alif dari tubuhnya.
"Kan kamu yang tiba-tiba mencubit, kan saya kaget tau". Bela Alif tentu tidak mau di salahkan. Dirinya harus selalu benar dan menang. Entah kenapa mengalahkan Alifah dalam berdebat sesuatu yang menyenangkan untuknya. Meskipun sebenarnya dirinya juga kaget dengan tindakannya sendiri.
"Kamu yang bebal. Sudah di bilang berhenti ya berhenti" balas Alifah kembali tidak mau mengalah. Setelah itu langsung berlari meninggalkan Alif. Dan tanpa sadar seseorang melihat mereka berdebat .
"Bukannya itu Alifah? Tapi siapa yang memboncengnya?"