webnovel

6. Kecemasan Ben

Ben tampak menikmati kopinya dipagi hari. Dengan mengenakan pakaian santainya, dia duduk diruang tengah rumahnya sambil membaca surat kabar terbaru. Hal yang selalu dilakukannya saat libur akhir pekan tiba.

Sudah seminggu ini Robin putranya tak mau berbicara padanya. Dia hanya diam saja saat Ben mengantarnya berangkat sekolah, lalu sepulang sekolah dia akan mengurung dirinya didalam kamar seperti pagi ini. Sepertinya dia masih merajuk, karena seminggu yang lalu Deddy tidak mengizinkannya untuk pergi bersama Bibi Alena. Dan yang membuatnya semakin marah adalah, Daddy memintanya untuk tidak menemui Bibi Alena lagi.

Ben sebenarnya tidak bermaksud membuat hati putranya bersedih. Dia juga tidak tega melihat wajah putranya yang tampak selalu murung. Namun dia tak memiliki pilihan lain, dia tidak suka jika putranya itu terlalu bergantung pada wanita yang bernama Alena. Terlebih wanita itu sudah berani ikut campur serta berkomentar tentang caranya mendidik Robin, putra semata wayangnya.

Ben masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Alena mengatakan jika dirinya adalah seorang Daddy yang jahat. Dan pernyataan jahat yang ditujukan untuknya itu, membuat dirinya sedikit geram sehingga sulit untuk melupakan wanita tersebut. Dia jadi merasa sedikit penasaran dengan wanita yang bernama Alena itu, wanita yang sudah menunjukkan keberaniannya dengan melontarkan ucapan pedasnya.

"Ben." Panggil seorang wanita yang kini sudah memasuki ruang tengah rumahnya.

Ben melipat kembali surat kabar yang tadi dibacanya. Dia menatap kearah tamunya, meneliti wanita tersebut dari atas hingga bawah. Wanita itu adalah Elena, mantan istrinya. Penampilannya benar-benar seperti wanita-wanita penggoda diluar sana.

"Dari mana kau tahu rumahku?" Tanya datar Ben menatap mantan istrinya itu.

"Sangat mudah bagiku menemukanmu. Ahh.. buka dirimu, lebih tepatnya adalah Robin putraku." Balas Elena diakhiri senyumnya.

"Kenapa kemari? Apa suamimu yang kaya itu sudah jatuh miskin? Atau dia sudah mendapatkan wanita lain yang lebih muda darimu?" Ben mengucapkannya sambil tertawa pelan, seolah mengejek Elena yang tampak geram mendengar ucapannya.

"Jaga ucapanmu, Ben! Aku kemari ingin menemui putraku Robin." Marah Elena yang membuat Ben kembali tertawa pelan.

"Elena, kau seharusnya bercermin! Lihatlah dirimu, prilakumu bahkan semakin parah! Kau kira aku tidak tahu, bagaimana dirimu terlalu mudah mungumbar tubuhmu itu!" Ben menaikan sedikit nada bicaranya, membuat Elena berjalan mendekatinya.

"Terserah apa pun yang ingin kau katakan, Ben. Intinya saat ini aku bahagia dengan keluargaku yang sekarang." Senyum Elena menatapnya sinis.

"Ya benar. Seorang wanita murahan dengan pria yang bodoh. Kalian memang benar-benar cocok." Ben kembali tertawa pelan, lalu matanya menangkap sosok sang putra yang sedang berdiri mematung diatas tangga.

"Robin?" Panggil Elena yang kini bersiap untuk mendekati putrnya. Namun belum sampai satu langkah, Ben lebih dulu mencekal lengannya.

"Jangan coba-coba mendekati putraku! Kau membawa dampak buruk baginya!" Marah Ben yang kemudian menarik paksa tangan Elena agar keluar dari dalam rumahnya.

"Kau gila, Ben! Aku Ibunya, dan aku ingin bertemu dengannya!" Teriak Elena yang kini sudah berada didepan pintu rumah mantan suaminya.

"Kalau kau merasa dirimu seorang Ibu, kau pasti akan mencontohkan hal-hal baik padanya. Pulanglah ke rumahmu, Elena! Urus saja keluargamu itu, bukankah kau juga sudah memiliki anak?" Dengan cepat Ben menutup pintu rumahnya, lalu menguncinya. Membuat Elena menggelengkan kepala dan tidak percaya dengan sifat anehnya.

"Kita lihat nanti Ben Abraham, apa yang bisa ku lakukan kepadamu!" Gumam Elena saat meninggalkan teras rumah Ben, lalu memasuki mobilnya dan melaju untuk pulang ke rumah.

Ben mengusap wajahnya kasar saat dirinya sudah kembali berada diruang tengah. Kenapa bisa Elena mengetahui keberadaannya, wanita licik itu pasti akan merencanakan suatu hal yang tak terduga.

Ben teringat akan putranya, dia pun menaiki anak tangga untuk menuju kamar sang putra. "Robin?" Panggil Ben yang kini sudah berdiri didepan pintu kamar sang putra. "Robin, Daddy ingin berbicara padamu." Ucap Ben lagi sambil membuka pintu kamar putranya yang ternyata tidak terkunci.

Ben mengerutkan keningnya, saat tidak menemukan Robin didalam kamarnya. "Robin? Jangan bersembunyi dari Daddymu ini!" Ben mencari disetiap sudut kamar putranya, namun tak kunjung juga menemukan keneradaan putranya.

Ben kembali keluar dari dalam kamar putranya, lalu turun kebawah untuk mencari keberadaan sang putra.

"Robin?" Panggil ben dengan sedikit berteriak, hingga membuat salah satu pelayan di rumah tersebut menghampirinya.

"Tuan mencari Tuan muda?" Tanya pelayan tersebut yang dibalaa anggukan kepala oleh Ben. "Tuan muda ada di kamarnya. Baru saja saya antarkan biskuit kesukaannya." Lanjutnya menjelaskan.

"Dia tidak ada di kamarnya, aku sudah mencarinya." Ben mengucapkannya dengan nada sedikit meninggi. Lalu dia melangkahkan kakinya keluar rumah, dan mulai memasuki mobilnya. Dia merasa takut jika putranya itu dibawa pergi oleh Elena.

**

Robin berlari mengejar mobil Ibunya, suaranya bahkan sudah hampir habis untuk meneriaki Ibunya yang sama sekali tidak bisa mendengarnya. Tadi saat dia melihat Daddy menarik tangan Ibunya, dia berlari keluar melalui pintu belakan rumahnya. Dia takut jika Daddynya itu tahu, lalu mecegahnya untuk pergi menemui Ibunya.

Saat dirinya berhasil keluar dari dalam rumah, dia justru melihat mobil Ibunya yang sudah melaju pergi meninggalkan pekarangan rumahnya. Dia berlari dengan sekuat tenaga untuk mengejar mobil tersebut. Namun tampaknya mobil itu justru melaju dengan begitu kencangnya, bahkan teriakannya pun tidak bisa membuat Ibunya itu memberhentikan mobilnya. Hingga dipertengahan jalan, dia pun terjatuh dan menangis disana sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Beberapa orang tampak melihatnya dengan rasa simpati, bahkan tak jarang dari mereka yang menghampiri dirinya dan membawanya untuk duduk ditepian jalan.

Robin duduk disana, dengan air mata yang begitu deras membasahi pipinya. Selain rasa sakit yang berasal dari luka dikakinya, dia juga merasakan sakit didalam hatinya karena sang Ibu tidak sedikit pun mendengar teriakannya. Setelah tangisnya meredah, dia kembali berlari ketempat seseorang yang bisa membuatnya tenang dan nyaman.

**

Alena baru saja selesai membersihkan meja kotor disudut kanan sana, sampai tiba-tiba suara anak kecil yang amat dirindukannya membuatnya menoleh kearah pintu masuk kaffe tempatnya bekerja. Dan benar saja, dia melihat Robin sedang berdiri disana dengan wajah berantakan yang penuh dengan sisa air matanya.

"Bibi." Ucap anak kecil yang sudah seminggu ini tidak ditemuinya. Dia memang sengajak tak menemui Robin lagi karena merasa malas untuk berurusan dengan Daddynya. Namun jika melihat kondisi anak kecil tak berdosa yang kini berdiri dihadapannya, membuatnya tersentuh dan ingin melindunginya.

"Robin?" Panggil Alena yang kini tampak menghampirinya. Dia membawa Robin kedalam pelukannya, dan dapat dia rasa tubuh mungil itu bergetar tanda jika anak kecil tersebut menangis tanpa adanya suara.

"Apa yang terjadi, sayang? Tenang ya, ada Bibi disini bersamamu." Alena mengelus lembut punggung Robin yang bergetar dalam pelukannya.

"Kakiku sakit, Bibi." Ucap Robin pelan, membuat Alenan menatap lututnya yang terdapat luka gores disana.

"Kau jatuh ya? Biar Bibi obati lukamu." Alena menggendong tubuh mungil Robin, lalu mendudukannya pada salah satu kursi didekat meja kasir. "Tunggu disini sebentar! Bibi akan mencarikan obat untumu." Jelas Alena yang membuat Robin menganggukan kepala.

Alena berjalan meninggalkan Robin, lalu beberapa detik kemudian dia sudah kembali dengan membawakan kotak P3K. Dia berjongko dihadapan Robin, meletakkan kaki mungil itu diatas pahanya dan mulai mengobati lukanya.

Robin meringis saat merasakan perih pada lututnya. Alena yang melihat itu pun langsung meniup-niup luka dilututnya agar terasa dingin, lalu mulai menutup luka tersebut dengan plester khusus luka. "Selesai. Tidak akan sakit lagi." Ucap Alena mengelus kepala Robin.

"Terimakasih, Bibi." Ucap Robin menggerak-gerakan kakinya yang tidak terasa sakit lagi.

Alena menganggukan kepalanya, menatap kearah Robin yang tampak berantakan dengan mata bengkaknya. Sepertinya anak kecil ini habis menangis, bisa dilihat dari sisa air mata yang mulai mengering dikedua sisi pipinya.

"Dimana Daddymu, hem?" Tanya Alena yang hanya dibalas Robin dengan gelengan kepala. Alena menghela nafas panjang, sepertinya terjadi sesuatu antara anak dan Ayahnya. "Apa terjadi sesuatu, Robin?" Tanyanya ragu. Sebenarnya Alena tidak ingin ikut campur lagi dalam masalah keluarga Abraham. Namun rasa sayangnya kepada Robin, membuatnya merasa simpati dan tidak tega saat melihat kesedihan yang terpancar dari sorot matanya.

"Tadi Ibu datang ke rumah, dan Daddy tidak mengizinkannya untuk bertemu denganku." Jelas Robin menundukkan kepalanya, dan kini dia bisa merasakan jika matanya kembali berari.

Alena mengelus pipi Robin dengan lembut, membuatnya mengangkat wajahnya untuk menatap Alena. Robin kembali menangis, lalu dengan cepat berhambur kedalam pelukan Alena yang menenangkan.

"Robin." Suara berat seorang pria yang berasal dari balik punggungnya, membuat Alena mengurai pelukannya pada Robin.

"Daddy?" Panggil pelan Robin menatap kearah Daddynya yang terlihat gusar.

Ben ngusap wajahnya kasar. Ternyata benar putranya itu ada disini, dan bisa-bisa dia kabur dari rumah tanpa meminta izin. "Kau, Robin! Kenapa keluar rumah tidak memberitahu Daddy, heh?" Tanya Ben mencoba bersabar menghadapi putranya ini.

"Maaf Tuan, tengankan diri Anda dahulu. Robin baik-baik saja, dan tidak terjadi apa-apa padanya." Jelas  Alena membawa kembali Robin kedalam pelukannya.

"Maaf, Nona. Tapi ini urusanku dengan putraku! Ayo Robin, kita pulang!" Ben menarik kasar tangan Robin yang tidak mau melepaskan pelukannya dari Alena.

"Tuan, kau menyakitinya!" Marah Alena yang kini sudah berdiri dari posisinya. Dia menatap tajam kearah Ben tanpa memperlihatkan rasa takutnya. "Tidak seharusnya kau seperti ini! Lebih baik berikan saja Robin pada Ibunya, jika kau bertidak kasar padanya seperti ini!" Ucap Alena lagi yang membuat Ben menaikkan alis, lalu tertawa.

"Dia putraku. Tutup saja mulut manismu itu! Dan jangan pernah ikut campur dalam urusan orang, jika kau tidak ingin terlibat dalam suatu masalah!" Teriak Ben yang kemudian menarik kembali tangan Robin untuk berdiri disampingnya.

"Kau membuatnya takut, Tuan. Ku mohon jangan kasar kepadanya lagi!"

"Itu bagus. Berarti dia takut kepadaku." Ben membawa Robin kedalam gendongannya, lalu berjalan cepat untuk keluar dari kaffe tempat Alena bekerja.

Alena mengikutinya dari belakang, dia masih tidak tega melihat Robin diperlakukan secara kasar oleh Daddynya. Saat sudah berada diarea parkiran kaffe, Alena berucap dengan lantangnya, "Aku mau menjadi Ibunya, izinkan aku!"

TO BE CONTINUED.

Nächstes Kapitel