webnovel

Das Ultimatum [Erster Teil]

"Rio ...."

"Iya ... ada apa?"

"Besok nol tujuh lima belas bangunan tua sebelah timur laut sekolah."

"Maksudmu di belakang sekolah?"

"Iya."

"Oh oke ...."

>===X===<

Di pagi hari yang cukup cerah, Rafael sedang berjalan meninggalkan gedung asramanya. Tampangnya masih saja terlihat lesu seperti hari kemarin. Dia cukup lelah karena telah memikirkan beberapa hal dalam semalam.

Tidak seperti biasanya, kali ini dia benar-benar berjalan kaki seorang diri ke sekolah. Hal itu bukanlah sebuah kebetulan namun sudah direncanakan. Bahkan Rafael sendiri berangkat lebih awal dibandingkan hari-hari sebelumnya. Bukan berarti dia sedang bersemangat menunggu hasil voting nantinya.

Beberapa murid telah melewatinya dengan tergesa-gesa, sedangkan Rafael sendiri masih berjalan cukup santai. Saking santainya berjalan, dia sendiri cukup malas untuk menyadari keberadaan beberapa murid laki-laki di belakangnya yang sedari tadi sudah berjalan sambil menjaga jarak.

Masih berjalan cukup santai. Rafael tetap tidak memedulikan murid-murid tersebut, meskipun sekarang mereka semua mulai sedikit ribut.

"Jika mereka benar-benar teman kelasku, tak mungkin menjaga jarak seperti itu, apalagi hanya aku seorang di kelas yang gemar berjalan kaki menuju sekolah," gumam Rafael.

Rafael mulai mengubah rute perjalanannya, yang biasanya akan terus berjalan lurus, sekarang dia mulai memutar ke beberapa tempat.

Saat Rafael berjalan di tempat yang benar-benar sepi. Para lelaki itu masih mengikutinya dan mulai mempersempit jarak. Salah satu diantara mereka terlihat cukup sangar dan memendam sebuah kekesalan terhadapnya. Orang itu mulai mengeluarkan sebuah tongkat yang tidak terlalu panjang dari dalam tas punggungnya. Meskipun Rafael sendiri malas menanggapi tindakan dan sikap mereka, dia sendiri secara terang-terangan membuka pertahanannya.

Hingga akhirnya ....

Dengan kecepatan yang seharusnya bisa dihindari Rafael. Tongkat yang diperkirakan berukuran empat puluh sentimeter itu telah terbentur ke punggung hingga leher bagian belakangnya. Membuatnya terbelalak dan jatuh tak sadarkan diri.

Dua puluh lima menit telah berlalu semenjak Rafael ditaklukkan oleh beberapa murid misterius. Aula mulai dikerumuni banyak siswa kelas sepuluh. Hari ini mereka semua tak mendapatkan jam pelajaran. Lain halnya dengan kelas sebelas dan dua belas yang tetap melakukan kegiatan belajar. Mungkin terlihat menyenangkan karena tidak mendapatkan jam pelajaran, akan tetapi murid-murid kelas A dan E yang berada di balik panggung mulai memperlihatkan hawa-hawa panasnya sebuah persaingan.

Terutama pada kelas A yang kemarin sudah terlihat akrab dan akur, kini mulai berkelompok dan saling menyisihkan lagi. Lain halnya dengan Kelas E yang nampak terlihat tenang namun cukup misterius. Di kelas A sendiri yang saat ini terlihat berpotensi menguasai panggung yaitu, kubu Arkan dan Edward.

Dari kedua kubu tersebut, masing-masing dari mereka sibuk menyiapkan rencana akhir agar bisa menarik banyak suara dari atas panggung. Namun tidak dengan kubu milik Rafael. Kubu atau kelompok yang satu ini nampaknya tak didampingi oleh seseorang yang cukup berpengaruh. Meskipun begitu, kelompok ini tak terlihat gelisah maupun panik. Hanya saja ada seseorang diantara mereka yang cukup terlihat kebingungan.

"Luna ... luna ...."

"Apa?"

"Cuek banget sih ... kelompok lain udah pada diskusi tuh, terus kelompok kita gimana? Rafael dimana? kok belum dateng sih ...."

Luna merasa tidak enak dengan Clarissa yang terlihat kebingungan karena sama sekali tidak tau tentang situasi kondisi yang sebenarnya. Dia ingin menjelaskan hal tersebut, hanya saja ia sempat berpikir bahwa akan merusak rencana yang disusun Rafael. Mau tak mau Luna harus mengabaikannya.

"Ehm ... Clarissa ....," panggil Ivan.

"Kenapa van?"

"Kamu harus sedikit bersabar lagi, Rafael pasti datang kok ...."

"Sampe kapan aku harus bersabar?"

"Yaa ... sampe Rafael datang?" ucap Ivan tersenyum berniat sedikit bercanda.

Namun raut muka Clarissa tambah murung setelah mendengar ucapan Ivan. Luna semakin kesal dengan tindakan Ivan yang ingin sedikit menghibur Clarissa, mau tak mau dirinya harus membungkam Ivan dengan kata-kata.

"Apa sih Ivan nih! Ga jelas banget dah ...."

Seketika Ivan terdiam dan memalingkan pandangan, di samping itu dia mulai merasa bosan dan sesekali melihat ke kubu-kubu lainnya. Sempat saja dirinya bergumam, "kenapa aku harus bersama dua gadis yang sedang datang bulan ...."

"Ehmm Ivan ... apakah kamu mengatakan sesuatu?" tanya Skyla.

"Ah ga juga sih ... hanya sedang memikirkan beberapa hal," balas Ivan.

Saat mendengar respon Ivan, Skyla hanya bisa percaya begitu saja. Hingga saat ini, orang yang sangat tidak memiliki peran hanyalah Skyla. Rafael sendiri sengaja untuk tidak memberinya tugas apapun dan menggapnya sebagai pelengkap dalam kelompoknya.

"Halo adik-adikku! Sini-sini ... ada yang mau aku kasik tau ...,"panggil salah satu kakak kelas berambut hitam ikat dua nan panjang.

Murid dari kelas A dan E sudah sangat kenal dengan kakak kelas yang satu ini. Bahkan mereka sendiri sudah menganggapnya sebagai diva Sekolah Wissenschaft. Namanya Ruka Manami, seseorang yang saat ini memegang kendali atas acara pemilihan ketua kelas.

Mereka semua mulai berkumpul dan merapat. Ruka mulai menjelaskan beberapa hal mengenai sistematis acara ini. Mulai dari urutan acara hingga cara merekap jumlah suara. Setelah beberapa menit telah berlalu.

"Nah jadi begitu lah ... waktu tinggal 2 menit lagi sebelum acara dimulai, apakah ada pertanyaan?" ujar Ruka.

Setelah Ruka melontarkan pernyataan tersebut. Ada dua orang yang secepat mungkin mengacungkan tangannya. Dua orang tersebut adalah Ivan dan Yurika.

"Oh oke ... jadi siapa yang ingin bertanya duluan? Tolong jangan berbelit-belit yaa ... waktu kalian sempit nih," ucap Ruka.

Kedua murid tersebut mulai saling bertatap muka. Terlihat jelas mereka akan meributkan sesuatu yang pada dasarnya tak akan sama seperti yang terlihat.

"Ah silahkan duluan ...," ucap Ivan.

"Eh gak ... mending kamu duluan ...," sahut Yurika.

"Ladies first ...."

"Kurasa murid yang berada di kelas tertinggi harus di dahulukan ...."

Ivan mulai merasa aneh dengan ucapan Yurika yang terkesan merendahkan derajatnya. Sementara itu, Ruka sedikit kesal akan pertikaian antara keduanya. Hingga akhirnya dia menunjuk Ivan untuk mengutarakan pertanyaannya.

"Ah oke, kalau begitu ... saya ingin bertanya, apakah murid yang tidak hadir dapat diwakilkan suaranya?"

"Memangnya ada yang tidak hadir? Terus kenapa kamu menanyakan hal itu?"

"Yaa ... saya hanya memastikan beberapa kemungkinan kak ...," ujar Ivan berusaha meniru gaya bicara Rafael.

Ruka mulai memikirkan jawaban atas pertanyaan Ivan, namun sambil memikirkan hal tersebut. Dirinya mulai menunjuk Yurika, "kalau kamu?"

"Sama kak ...."

Ruka sedikit membuang pandangan dan sedikit bergumam, "memangnya kalian ini bersekongkol ya."

"Kenapa kak?" tanya Ivan.

"Ah bukan apa-apa kok ... jadi suara untuk orang yang tidak hadir boleh-boleh aja diwakilkan, asal yang mewakili adalah teman sekelasnya, lalu ... apakah ada pertanyaan lagi?" jelas Ruka.

Setelah Ruka usai berbicara, tanpa ditunggu sejenak. Edward langsung mengangkat tangannya dan tanpa diberikan ijin untuk berbicara, "Maaf memperpanjang waktu ... saya lihat di sana, kalau tempat duduk kami lagi-lagi diurutkan sesuai nomor absen ...."

"Ya ... lalu, masalahnya apa?" ujar Ruka.

"Apakah kita boleh menempati tempat duduk secara acak maupun tidak sesuai nomor urut?"

"Eeehh ... tentu saja tidak boleh ... pihak Osis telah mengatur hal tersebut, jadi kalian tidak boleh dong seenaknya menentukan tempat duduk!" jelas Ruka.

"Keberatan ...."

Satu lagi murid dari kelas A mulai angkat bicara.

"Hmm ... adik manisku yang di sana ... kamu keberatan akan apa?" tanya Ruka.

"Maaf saja meyela pembicaraan kalian, nama saya Luna Lusiana dari kelas A, saya keberatan dengan pengurutan tempat duduk itu ...."

"Ya lalu?" sahut Ruka.

Luna sedikit membuang muka dan kesal, dirinya menatap tajam kakak kelasnya itu dan berkata, "seharusnya dari pihak osis maupun kakak sendiri paham mengenai situasi relasi yang ada di kelas kami ...."

Sayangnya respon dari Ruka sendiri hanya terlihat raut muka kebingungan yang rupanya telah dibuat-buat. Luna berusaha untuk tenang dan mengendalikan emosinya, mengingat yang ia ajak berbicara adalah kakak kelasnya sendiri.

Sedikit menarik dan mengembuskan nafas lalu, "jadi tolong dipertimbangkan lagi mengenai posisi tempat duduk kami, masalah kedisiplinan ... tolong dimengerti ... kami ini adalah murid dengan derajat tertinggi, kami ini murid kelas A yang pastinya sadar diri soal sikap."

Ruka sedikit tersenyum setelah mendengar ucapan Luna. Dia serasa menemukan seseorang yang pantas untuknya.

"Oke kalau gitu ... untuk murid kelas A silahkan duduk sesuka kalian ...," ucap Ruka.

"Lalu bagaimana dengan kami?" tanya salah satu murid kelas E.

"Kalau kalian ... ya harus tetap mengikuti urutan yang telah ditentukan," jelas Ruka.

"Heh? Ga adil dong kalau gitu ...," sahut Yurika.

Luna tertawa kecil mendengar sahutan lembut dari Yurika dan dia ingin membalas ucapannya dengan sedikit niat buruk.

"Adil dong ... yaa ... adil kok ... untuk para murid rendahan seperti kalian," ledek Ruka.

Setelah itu Ruka menyuruh para murid tersebut untuk bubar dan mempersiapkan diri masing-masing.

Sementara itu, suasana yang ada di depan panggung cukup ramai dan rapi. Para murid kelas sepuluh telah menempati tempat duduk sesuai urutan kelasnya. Seperti biasa, tempat duduk yang paling depan untuk kelas A dan disusul di belakangnya kelas B dan seterusnya hingga kelas E yang berada di paling belakang. Tidak seperti saat acara penerimaan murid baru kemarin. Kali ini jajaran para OSIS yang berada di bawah tanggung jawab Ruka, sengaja mengatur tempat duduk seperti itu. Susunannya sendiri sangat mudah dipahami, satu kelas hanya terdiri dari satu deret mulai dari kiri yaitu nomor absen satu lalu menuju ke kanan hingga akhirnya nomor absen terakhir.

Setelah murid-murid dari kelas A dan E usai bersiap, mereka semua langsung menempati kursi sesuai urutan nomor absen dan kelas. Terlihat jelas di depan sana, ada dua buah kursi kosong. Seluruh murid dari deret itu mulai mempertanyakan ketidakhadiran mereka berdua. Edward mulai berkomentar, "kurasa kebiasaan yang sama seperti saat acara penerimaan murid."

Dia mulai melihat ke arah belakang dan berusaha memastikan keberadaan Rafael yang mungkin saja saat ini berada di belakang.

"Huh ... mungkin dia terlambat ...," ucap Edward selepas itu langsung berbalik menghadap ke depan.

Suasana yang tadinya cukup ramai, kini sejenak hening secara spontan. Hal itu terjadi karena munculnya seorang siswa dari balik panggung dan dengan nekatnya merusak suasana banyak orang. Para murid cukup mempertanyakan kehadiran dan identitasnya. Wajar saja jika mereka kebingungan, karena dari kalangan murid kelas sepuluh atas hingga ke bawah tak ada yang pernah melihatnya.

Tampangnya cukup tampan dengan rambut yang disisir rapi dan kacamata yang cukup bersinar karena pantulan cahaya membuat beberapa siswi terlena. Selain itu, proporsi tubuhnya sungguh ideal dan nampak tinggi. Setelah menilai beberapa penampilannya, maka sudah terlihat jelas potensinya untuk merubah situasi dengan cepat.

Tak lama kemudian, muncullah seorang gadis yang menyusul dari belakang. Dia adalah seseorang yang mempunyai posisi setara dengan Ruka namun bakatnya tak sebanding, bahkan berbeda jauh. Gadis itu berjalan dengan senyumannya yang manis dan membawa dua mic. Saat sampai di tengah panggung, dia sedikit menarik nafas dan mulai mengambil ancang-ancang untuk berbicara.

"Halo Semwaanyaa!!!"

"Halo ...."

Sayangnya, sangat sedikit yang merespon sapaannya, padahal suaranya cukup keras dan bersemangat. Bahkan lelaki yang ada di sampingnya hingga geleng-geleng kepala dan akhirnya merebut salah satu mic yang ia pegang.

"Ckckck ... dirimu masih saja seperti yang dulu ...."

"Maksudmu?"

"Sok asik dan sok imut, padahal menjadi polos dan lembut sudah menjadi personality mu."

Gadis itu mengerucutkan bibirnya, tak suka dengan jawaban yang ia terima. Namun begitu, dia terlihat manis walau sedang menahan marah. Lelaki itu hanya bisa mengabaikan raut mukanya yang manis dan kembali mendekatkan mic ke mulutnya dan segera mengatakan sesuatu.

"Halo semuanya ... perkenalkan nama saya Darius Hank, kalian semua bisa memanggilku Darius. Kalau cewek yang di sebelah saya ini sudah pasti tau, kan? Kalau gitu tanpa perkenalan untuk dirinya-"

"Eehh!!! Darius! Ga boleh gitu tau!" ujarnya.

"Hehehe maaf kan saya ... ya sudah langsung saja ... Saya dan di sebelah saya Hannah Mitchell. Kami di sini sebagai pengisi acara dan karena waktu sudah cukup mepet ... mari kita mulai acaranya ...," ucap Darius terdengar terburu-buru.

Hannah dan Darius mulai mengeluarkan beberapa lembar kertas yang telah mereka lipat dari dalam saku. Mereka berniat membaca beberapa peraturan dalam pemilihan nantinya. Namun dibalik itu, peraturan-peraturan tersebut yang merancang adalah Samuel Gilbert Saragi selaku wali kelas A, hanya saja tak menutup kemungkinan adanya perbedaan antara yang ia terapkan di kelas A dengan yang situasi saat ini.

Sementara itu dari kursi terdepan. Clarissa cukup merasa khawatir dan tidak tenang dengan situasi kondisi saat ini. Dia sudah memikirkan dan melakukan beberapa hal agar dirinya lebih tenang. Namun, hasilnya nihil dia tetap merasa khawatir kepada seseorang yang tak kunjung hadir. Dirinya sudah menanyakan berulang kali ke teman-teman di samping kanan dan kirinya, akan tetapi tak ada satupun yang tahu dan menjawab.

Hingga akhirnya, Clarissa mulai mengepalkan tangannya dan tatapan muka yang sedari tadi menunduk telah mengumpulkan emosi ketidakpastian.

"Oh oke ... kalau gitu," ucap Clarissa berusaha tuk bangkit dari kursi.

Namun ....

Baru saja ingin bangkit sekitar beberapa senti. Tangannya dipegang oleh Luna yang nampaknya sudah memperkirakan hal ini. Bukan memperkirakan, lebih tepatnya sudah diperingati oleh Rafael untuk menjaga sikap Clarissa.

"Apa sih Luna! Lepasin!"

"Kamu mau kemana?"

"Ehm ... mau ke toilet."

"Bohong!"

"Eh? Bohong?"

"Iya ... kamu mau mencari Rafael, kan?"

Mendengar ucapan Luna, membuat Clarissa terdiam dan kembali duduk dengan sikap sempurna serta kembali menunduk ke bawah. Namun dirinya sempat berpikir kalau dia tidak bisa tinggal diam begitu saja.

"Kamu ngerti, kan? Luna ...," ucap Clarissa masih menundukkan kepala serta mengepalkan tangan.

Luna sendiri masih merasa kesal dengan sikap Clarissa yang baru kali ini membuatnya jengkel. Dia menganggap Clarissa seperti anak kecil yang sedang terpisah dengan kakaknya atau ayahnya. Sampai sekarang, dia cukup bosan menanggapi kekhawatiran Clarissa.

"Hem?"

"Acaranya sudah mulai loh ... dan dia juga belum datang ...."

"Lalu?" balas Luna dengan pandangan masih ke depan.

Emosi Clarissa mulai memuncak dan dia semakin heran dengan suasana yang terjadi diantara teman-temannya, hingga akhirnya dia menatap Luna dan mengatakan sesuatu.

"Dan kau sendiri masih bisa bersikap tenang seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi?"

Luna tetap terdiam menghadap ke depan dan sempat berpikir jika Clarissa sama sekali tidak tau apapun mengenai kemampuan akting miliknya. Namun, Luna masih bersikeras untuk tidak menjelaskan kronologis sebenarnya.

"Apakah aku terlihat cukup tenang untuk yang terjadi saat ini?" ujar Luna tetap menghadap ke depan.

"Kurasa iya ...."

"Itu artinya kamu meragukan seorang Rafael ...."

"Maksudmu?"

"Aku tak bisa menjelaskan lebih banyak lagi, tolong tetaplah tenang dan ikuti apa saja yang aku perintahkan ...."

"Hah? Maksudmu aku harus menurutimu begitu saja?"

"Cukup untuk hari ini saja ... tolong ... ini demi kebaikkan fraksi kita."

"Ehm ... oke ...," ucap Clarissa.

Setelah Luna mengatakan hal itu. Clarissa mulai sedikit tenang dan berusaha berpikir positif. Balik lagi ke atas panggung. Kedua pengisi acara telah memaparkan beberapa peraturan dalam pemilihan nanti.

"Itulah peraturan-peraturan apa saja yang telah kami jelaskan ...," kata Darius.

"Pada intinya peraturan-peraturan itu sama saja seperti peraturan pemilihan pada umumnya ... nah untuk sekarang ...," tambah Hannah.

"Pemilihan akan dimulai dari kelas terbawah! Yaitu kelas E! Kepada masing-masing calon ketua kelas ... waktu dan tempat kami persilahkan," sambung Darius.

Para murid yang duduk di depan dari kelas A hingga C mulai melirik dan merubah pandangan mereka ke belakang. Tak sedikit dari mereka yang cukup penasaran dengan seseorang yang berani memimpin kelas terbawah itu.

Namun kenyataan sebenarnya, yang maju sebagai kandidat calon ketua kelas E bahkan lebih sedikit dibandingkan kelas A.

>===o===<

Luna Lusiana POV

Namanya Yurika Roselli , berambut panjang lurus dan berkulit putih. Kurasa berpikir dan mengingat hal tersebut hanyalah sia-sia kalau kenyataannya yang maju hanya seorang laki-laki dan perempuan. Nah sekarang tinggal memikirkan timing yang tepat untuk bernegosiasi secara diam-diam dengannya.

Masalah ucapan dan caraku membujuk, rasanya tak perlu terlalu dipikirkan. Pasalnya penampilan gadis polos sepertinya bisa apa? Melawan? Heh ... palingan juga cuma mengadu ke guru. Mengadu? Heh ... doesn't work ... dia kan cuma seorang murid dari kelas E, gak mungkin lah yaa murid kalangan atas sepertiku bisa disalahkan oleh murid seperti dia.

"Ehm ... selamat pagi semuanya ... hari ini saya akan menjelaskan visi misi ...."

Kalau dipikir-pikir lebih lanjut lagi. Rencana Rafael untuk memilihnya tidaklah salah. Toh juga kelas E, mereka pantas mendapatkan ketua sepertinya. Menutup kemungkinan untuk kelas E menantang kelas A. Namun setelah kuperhatikan beberapa menit, dia cukup mempunyai keberanian untuk berbicara di depan layaknya seorang pemimpin. Sepertinya aku merasakan niat-niat tertentu darinya, ehm ... atau hanya feeling ku saja?

Setelah beberapa menit berlalu. Yurika telah selesai menjelaskan visi dan misinya. Jika calonnya memang dua orang, rasanya buang-buang waktu saja untuk membicarakan visi misi. Cowok itu mulai memegang mic dengan santai dan kurasa akan membuka suara. Jadi ... namanya Mason? Ehm ... Mason siapa ya? Aku tidak terlalu ingat sih soal nama belakangnya. Sedari tadi yang kuingat hanyalah nama Yurika.

Suaranya cukup santai dan membuatku sedikit nyaman. Artikulasi pengucapan visi misinya cukup jelas dan tak terkesan memaksa, bahkan terkesan telah menyerahkan diri untuk menjalankan tugas yang ia harapkan. Aku bisa menganggapnya seperti itu karena intonasi suaranya cukup mendukung. Hanya saja, visi misi yang dia bawa cukup klise di pendengaranku. Aku sendiri tetap sadar bahwasannya, jika orang seperti dia memimpin kelas E. Kelas tersebut memiliki kemungkinan terbesar untuk bangkit dari keterpurukan mereka.

Aaaah ....

Tak terasa lama dirinya berbicara. Meskipun cara berbicara Mason lebih lambat dibandingkan Yurika, akan tetapi keduanya bagiku sama-sama menghabiskan waktu di depan. Kedua orang tersebut telah selesai memaparkan dan dipersilahkan untuk kembali ke tempat duduk masing-masing.

Mulai ... sekarang lah, waktunya untuk diriku dan juga teman-temanku melakukan beberapa hal.

>===o===<

Democracy is a process where people choose someone they will blame late.

- Bertrand Russell (1872-1970)

>===#===<

Nächstes Kapitel