webnovel

Penindasan {Broken Memory}

Badannya sedikit panas bila kusentuh. Dia terlihat menggigil. Aku hanya bisa duduk di hadapannya dan menunggunya sadarkan diri sembari berulang kali memanggil namanya.

"Yurika! Yurika!"

Apa yang harus kulakukan! Aku sangat kebingungan untuk saat ini. Dia belum sadarkan diri sampai sekarang, sedari tadi masih menggigil dan badannya terasa sedikit panas bila kusentuh. Bajunya juga masih basah. Masa iya aku harus membuka bajunya di tempat seperti ini.

Ah aku salah fokus!

Mungkin aku harus menelpon seseorang. Tapi siapa yang harus kuhubungi?

"Hacchim ...."

Dia sudah sadar?

"Hei Yurika ...," panggilku menggoyang-goyangkan pundaknya.

Matanya perlahan terbuka. Syukurlah jika dia sudah sadar. Tapi, apakah aku tetap harus menghubungi seseorang? Matanya sudah sepenuhnya terbuka, namun dia memandangiku dengan menunjukkan mimik wajah kebingungan.

"Si ... siapa kamu?" kaget Yurika mencoba menyingkirkan tanganku dari pundaknya dan bergeser menjauh dariku.

"Hah? Kamu tidak mengenalku?"

"Jangan mendekat!" ujar Yurika terlihat panik.

"Oke oke ... aku tidak akan melakukan apapun ...," ucapku.

Dia hanya terdiam ketakutan mengetahui keberadaanku.

"Si ... siapa kamu!" Kedua kalinya dia mengatakan hal itu.

"Kamu benar-benar tidak mengingatku?"

"Memangnya kita pernah bertemu?"

Tunggu dulu, ada apa dengannya? Yurika yang kukenal tak akan sepanik ini. Hmm ... apakah dia benar-benar Yurika?

"Kumohon ... tenang sebentar saja ...," pintaku.

"HAH BAJUKU! TASKU!"

Eh? Dia baru sadar dengan pakaiannya.

"Apa yang telah kamu perbuat kepadaku?!" bentaknya.

"Yurika! Kamu salah paham-"

"Jangan sok akrab memanggil namaku!" sergah Yurika.

Haaah? Dia ini Yurika yang pernah kukenal, kan? Tapi, setelah keperhatikan lebih detail. Berkulit putih, rambutnya lurus panjang membentai hingga perut, dan yang paling kuingat adalah poni sampingnya yang manis itu. Kurasa dia benar-benar Yurika.

"Dasar mesum! Kamu melirik kemana hah?" bentaknya mencoba menutup bagian tubuhnya yang sedikit terekspos karena baju yang basah.

Aku rasa ....

Dia bukanlah Yurika yang kukenal.

"Ah maaf ... aku ke sini untuk menyelamatkanmu tadi ...."

"Menyelamatkanku?"

Buang-buang waktu. Kurasa dia bukan Yurika. Mungkin saja Edward telah berbohong kepadaku.

"Ah sudahlah ... sepertinya aku salah orang ...," ucapku datar sembari membuang pandangan.

Aku langsung berdiri dan berniat meninggalkannya. Sebenarnya aku tidak tega untuk melakukan ini. Hanya saja membuang-buang waktu adalah kebiasaan yang sangat kubenci.

Ya sudah ....

Sepertinya aku benar-benar salah orang. Aku berbalik dan melangkah pergi meninggalkannya. Mana mungkin Yurika bersekolah di tempat seperti ini.

"Ehh tunggu sebentar!"

"Kenapa?" sahutku tanpa melihat ke arahnya.

"Jika yang kamu katakan ada benarnya ...."

Sangat labil. Aku tak mengerti dengan maksudnya.

".... te ... teri ...."

Ikan teri? Aku tau badannya masih menggigil, wajar saja jika ucapannya sangat terbata-bata.

"... terima ...."

"Kasih?" sambungku.

"Ah iya ... terima kasih ...."

"Sama-sama ...." Setelah itu aku berbalik dan kembali mendekat kepadanya. Lalu mengulurkan tangan. Setelah diterima olehnya, aku langsung membantu dia berdiri.

"Bisa?" tanyaku.

Dia hanya menganggukkan kepalanya. Terlihat jelas dari raut mukanya kalau dia masih bertanya-tanya siapa sebenarnya diriku ini. Aku segera melepas jasku dan berniat meminjamkannya.

"Yurika ... tolong lepas jasmu," ucapku sambil melepaskan jas.

"Eh? Kamu mau ngapain?!"

"Mengenakan jas yang basah tak baik untuk kesehatanmu ... lebih baik kamu mengenakan milikku," ujarku menyodorkan jasku.

Setelah itu, dia melepas jasnya dan memakai milikku.

"Ehm ... gak apa-apa nih? Punyamu jadi basah juga loh."

"Ah gak apa-apa kok, kamu bisa mengembalikannya nanti malam."

"Mudah sekali berbicara nanti malam, padahal hari sudah mulai sore," ujar Yurika heran.

Terlalu sibuk dengan Ares dan Yurika menyebabkan diriku lupa waktu. Sekilas aku melihat ke langit dan tergambar jelas warna jingga yang menjadi dasar langit saat ini.

"Mau pulang bareng?" ajakku berpaling melihat ke arahnya.

"Hmm ... boleh, lagipula aku tidak tau lokasi asramamu," jawabnya tersenyum.

Aku dan Yurika pulang bersama-sama menuju asrama. Untuk sementara aku tak ingin menyinggung tentang dirinya yang tak ingat mengenai diriku. Aku sendiri sadar jika ingatanku sendiri tidak terlalu sempurna.

Hah ....

Jadi begini yaa, rasanya dilupakan.

Entah hanya aku yang terbawa emosi atau diriku saja yang sudah meragukan identitasnya. Akan tetapi, aku merasakan ada suatu hal yang janggal. Kami berdua telah keluar dari area sekolah. Sebelum benar-benar sampai di asrama, aku harus memastikan sesuatu.

"Kamu pulang naik bus atau jalan kaki?" tanyaku.

"Biasanya jalan kaki sih ...," ucapnya sedikit minder.

"Wah sama sepertiku! Untuk menghemat uang jajan, aku selalu berjalan kaki entah itu mau berangkat atau pulang sekolah."

"Woaah boleh juga tuh ... besok-besok mau barengan gak?" ajak Yurika.

Celaka! Berangkat bareng Clarissa aja udah bikin satu kelas salah paham. Apalagi berangkat bareng murid dari kelas lain. Tapi kalau kutolak, takutnya kenapa-kenapa, terutama dia ini dari kelas terendah. Incaran empuk bahan perundungan.

"Yaa ... boleh aja sih ... tapi biasanya aku berangkat bareng temen kelasku, apa kamu yakin?" tanyaku ragu.

"Aku sih gak masalah selama mereka tidak macam-macam ke aku," jawabnya tersenyum.

"Ah santai aja sama teman kelasku."

Ah tak kusangka akan sesantai ini berbicara kepadanya. Aku sendiri sadar caranya berbicara sangat berbeda dengan Yurika yang pernah kukenal. Coba kuanggap saja, jika kami ini baru berkenalan.

"Hanya untuk memastikan, namamu siapa?" tanyaku.

"Namaku? Oh ... Yurika."

"Nama lengkap."

"Ehm ... Yurika ... Roselli ...."

Kurasa aku bena-benar salah orang. Nama belakangnya saja sudah berbeda. Tapi tak menutup kemungkinan karena penampilannya sama.

"Nama belakangmu Roselli, kan?" tanyaku.

"Iyaaa namaku Yurika Roselli, kalau namamu?" tanyanya.

"Rafael Tendranatha." Kuharap dengan menyebut nama lengkapku, dia bisa ingat diriku yang sebenarnya.

"Hah! Rafael!" kaget Yurika.

Apakah dia mengingat sesuatu? Kurasa tidak, raut mukanya tidak menunjukkan hal tersebut. Dia mulai ketakutan setelah mendengar namaku.

"Ka ... ka ... kamu ... tunangannya Marie, kan?" tanya Yurika ketakutan.

"HAH! enggak enggak ... aku dan dia tidak bertunangan, kami baru saja berkenalan beberapa hari yang lalu ...," ujarku kaget dan heran.

"Jangan mencoba membohongiku! Aku pernah satu sekolah dengannya! Caranya memerintah dan gaya hidupnya yang glamor, apalagi rumor yang beredar saat SMP dulu mengatakan bahwa pacarnya adalah seorang wakil ketua osis bertangan besi," ujar Yurika penuh emosi.

"Haah? Tapi Yurika-"

"SUDAH CUKUP!!! A ... a ... aku tak ingin ... hiks ...," bentak Yurika mulai terlihat sedih.

Yang dia ucapkan setengahnya benar. Aku ini dulunya seorang wakil ketua osis. Namun sebenarnya, aku sendiri tidak ingat jika pernah berpacaran dengan Marie.

"Yurika ...," panggilku ingin meraih pundaknya.

"Sudah kubilang cukup! Jangan menyentuhku! Aku tak ingin ... mengingat apa saja yang pernah dia lakukan kepadaku ...," bentaknya menepis tanganku.

"Tapi ... salahku apa!"

Dia mulai melepas jas milikku dan dengan cepat melemparnya ke arahku.

"Aku tak ingin mengingat masa laluku yang kelam hanya dengan melihatmu! Cukup jangan pernah menemuiku lagi!" ujar Yurika langsung meninggalkanku dengan mata berkaca-kaca hingga meneteskan air mata.

Arrrgghh ....

SUDAH DILUPAKAN! DIBENCI PULA!

Apakah ini karma karena telah ....

Ah hanya firasatku saja!

>===o===<

Nächstes Kapitel