webnovel

PENYUSUP

Come lay with me for hours so we can talk about thousands of nothings while it means millions of somethings

-Anonymous-

***

Hari berikutnya, semua foto- foto mengenai Torak dan Raine sudah di turunkan, tapi ada beberapa diskusi on line yang masih membahas hal ini.

Berita tentang Torak dan gadis misterius sedang ramai dibicarakan di seluruh negeri dan Raphael sedang memutar otaknya untuk melakukan sesuatu agar dampaknya sedikit berkurang.

Sisi baiknya adalah; Torak tidak mendesaknya mengenai masalah ini sehingga sang Beta bisa sedikit bersantai untuk sesaat.

Dan 'sesaat' yang dimaksudkan adalah; benar- benar hanya sesaat, karena pagi- pagi sekali Alpha Xavier sudah mengamuk karena putrinya telah di tangkap dan di tahan oleh Torak.

Dia menuntut untuk berbicara pada Supreme Alpha secara langsung, tapi Raphael tidak bisa mengabulkann permintaannya ini.

"Supreme Alpha Torak tidak bisa bertemu denganmu untuk saat ini." Raphael mengulangi kata- katanya lagi dan lagi. Namun, sang Alpha yang marah tidak mau mendengarkannya.

"Kalau dia tidak mau bertemu denganku, maka tidak masalah!" sembur Alpha Xavier. "Tapi, aku menginginkan putriku kembali!"

"Kami tidak bisa melepaskan putrimu tanpa ijin dari Supreme Alpha Torak." Raphael berkata dengan tegas. "Alpha Torak akan menginformasikan padamu kapan kalian akan bertemu."

Mata Alpha Xavier berubah gelap, monster di dalam dirinya sangat marah, tapi hal ini tidak meluluhkan sang Beta. Dia tetap tenang seperti biasa.

"Aku akan menemuinya sekarang!" Dia berteriak.

Seluruh kamar di lantai tiga hotel ini telah di booking untuk Torak, Raphael, Calleb dan para petarungnya. Karena masalah kemarin, Torak telah memberikan mereka sebuah perintah yang jelas kalau dia tidak ingin ada manusia yang tidak berkepentingan atau makhluk lain kecuali orang- orangnya yang berada di lantai ini.

Alpha Xavier menekan tombol elevator untuk membawanya ke atas, tapi Raphael menahan pundaknya dengan kuat.

"Xavier, aku tidak akan mencoba peruntunganku kalau aku mejadi kamu." Raphael memperingatkan Xavier dengan suaranya yang kasar seraya matanya yang hijau berubah menjadi hitam. "Mundur!"

Sebuah geraman rendah terdengar dari dada Alpha Xavier. Raphael sudah sangat kurang ajar dengan memanggilnya dengan nama saja tanpa statusnya sebagai Alpha.

Tapi, walaupun statusnya sebagai Alpha, Raphael pun bukan sosok biasa. Dia adalah orang kedua bagi lycan paling brutal dan buas yang pernah di atas bumi ini.

Kenyataan ini sendiri layak untuk dipertimbangkan.

Kemarahannya telah membuatnya buta, tapi Alpha Xavier tidak mendesak lebih jauh, ini bukan hanya karena dia tidak akan mendapatkan putrinya kembali, tapi besar kemungkinan kalau dia akan kehilangan kepalanya juga.

Dengan kasar Xavier menepis tangan Raphael dari pundaknya yang telah menahan dirinya dan pergi ke arah yang berbeda.

Ketika sang Alpha yang murka sudah tidak dapat terlihat, Calleb menghampiri Raphael dengan santai. Dia telah menonton pertengkaran ini dari sisi lain, tidak mau repot- repot untuk ikut campur karena dia tahu kalau situasi seperti itu dapat ditangani oleh sang Beta dengan baik.

"Jadi, kamu tidak penasaran apa yang Alpha kita lakukan sekarang?" Calleb bertanya dengan santai, sebuah cengiran menghiasi bibirnya ketika dia melihat Raphael melotot padanya.

"Pikirkan urusanmu sendiri Cal." Raphael bergumam seraya matanya berubah menjadi warna aslinya.

Cengiran di wajah Calleb berubah menjadi sebuah senyum genit, "Well, kalau aku menemukan pasanganku aku tidak akan mau kalau pagiku di interupsi juga." Dia tertawa kecil.

"Imajinasimu terlalu jauh." Raphael memukul punggung Calleb.

***

Di dalam presidential suite, dimana Torak sedang memandangi Raine yang tengah tertidur, matahari telah bersinar, tapi dia mencegah agar cahayanya masuk.

Torak tidak mau membangunkan Raine, jadi dia menutup seluruh hordeng. Dia telah membersihkan jadwalnya pagi ini dan siang hari, maka dari itu dia ingin menghabiskan setiap detik waktunya bersama dengan Raine.

Tanpa sadar, Torak menyusuri wajah Raine, memainkan helaian rambut hitamnya diantara jemarinya dan tersenyum pada dirinya sendiri.

Semalam, ketika dia kembali dari rapat, Raine sudah tertidur. Maka dari itu tidak tidak tahu kalau dia telah masuk ke dalam selimut dan tidur di sebelahnya.

Mungkin karena perjalanan panjang dan hal yang terjadi kemarin, yang menyebabkan Raine kelelahan, dia sama sekali tidak bangun.

Tiba- tiba, mata Raine bergerak terbuka, mungkin karena sentuhan Torak atau tatapannya yang intense yang telah membuatnya terbangun.

Bulu matanya bergetar sebelum matanya terbuka. Raine mengerjap beberapa kali dan menggosok rasa kantuk dari matanya sebelum dia menyadari keberadaan Torak di sebelahnya.

"Selamat pagi, my love." Torak menyapanya, dengan sebuah senyum sumringah. Dia telah lama melupakan kapan terakhir kali dia tersenyum seperti ini.

Raine memalingkan kepalanya dan mata hitamnya yang seperti batu obsidian bertemu dengan mata biru Torak.

Terkejut, bibir Raine sedikit terbuka sebelum dia akhirnya duduk tegak dan merangkak menjauh dari Torak.

Namun, Torak menangkap pergelangan kakinya ketika dia membalik badannya dan menarik Raine kembali. "Kamu mau pergi kemana?"

Tubuh Raine yang kecil, seperti seekor anak kucing, di tarik kembali oleh sang serigala. Raine meronta dari genggaman Torak, tapi hal ini membuat Torak terhibur saat melihat usaha Raine yang sia- sia.

Torak memeluk Raine dari belakang, memerangkap Raine di antara tangannya yang kokoh. "Aku telah bilang padamu untuk jangan takut padaku…" Torak berkata perlahan, hampir seperti sebuah bisikan, di leher Raine sambil bernapas dari aroma tubuhnya yang khas.

Bukan maksud Raine untuk takut pada Torak, tapi saat dia harus terbangun di samping pria yang baru saja dia kenal, tentu saja ini sangat mengejutkannya.

Setelah beberapa menit meronta dan Torak tidak bergerak sama sekali, pada akhirnya Raine memilih untuk diam.

Rambut Torak menggelitik leher Raine dang tangannya yang memeluk tubuhnya, anehnya, membuat Raine merasa aman.

Dia tidak tahu kenapa dia merasa seperti itu, tapi Raine membiarkan Torak memeluknya.

Setelah Torak merasa kalau Raine tidak melawannya lagi, dia mengangkat kepalanya dari pundak Raine. "Ayo kita sarapan lebih dulu dan setelah itu membeli sesuatu yang cantik untuk kamu kenakan. Bagaimana menurutmu?"

Raine masih mengenakan pakaian kebesaran yang sama dan celana jeans lusuh yang dia kenakan sejak kemarin, dan Torak tidak menyukai ini.

Raine mengangguk perlahan. Apa lagi yang bisa dia lakukan? Itu adalah tawaran yang sangat menarik untuk di dengar.

Bibir Torak membentuk sebuah senyuman. "Aku akan mandi lebih dulu setelah itu kamu dan kita akan sarapan bersama, okay?"

Raine mengangguk lagi.

Torak melonggarkan pelukannya pada Rained an memberikan sebuah ciuman kecil di lehernya. Ciuman sederhana ini membuat Raine takut, tapi juga dia merasa ada kupu- kupu yang tengah terbang di perutnya.

Apakah ini terlalu cepat untuk mempercayai pria ini? Pria yang baru Raine kenal kurang dari empat puluh delapan jam yang lalu? Raine bingung, tapi dirinya percaya padanya.

Raine terdiam, tapi bukan berarti dia tidak menyadari interaksi mereka yang begitu dekat.

Siapa sebenarnya pria ini?

Torak turun dari ranjang dan berjalan menuju bathroom. Setelah itu, suara air dapat terdengar dari dalam. Suaranya begitu jelas, sepertinya Torak membiarkan pintunya terbuka. Raine tersipu ketika menyadari kenyataan ini.

Di atas kasur yang sepertinya cukup untuk tujuh orang, Raine mengamati kakinya. Luka goresan kemarin sudah mulai sembuh. Raine lalu merangkak turun dari kasur dan mencoba berdiri, rasa sakit yang dia rasakan kemarin sudah tidak terasa, jadi dia mengambil beberapa langkah menuju hordeng dan menariknya terbuka.

Dalam sekejap, dia telah bermandikan dengan cahaya matahari yang bersinar. Secara naluri, Raine berbalik dari cahaya yang menyilaukan itu dan menutupi matanya yang masih mengantuk.

Ketika mata Raine sudah terbiasa, dia membukanya secara perlahan.

Akan tetapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan membuat adrenalin Raine memburu di nadinya.

Raine mengerjapkan matanya dengan cepat pada sosok di hadapannya, seolah dia tidak percaya kalau ada orang lain di dalam ruangan.

Tapi, sosok itu mulai bicara dengan suaranya yang rendah dan menakutkan. "Akhirnya dia menemukanmu."

Nächstes Kapitel