webnovel

THE SOUL (3)

There is no such thing as a soulmate… and who would want there to be? I don't want half of a shared soul. I want my own damn soul.

-Rachel Cohn-

***

Kabut tipis menjalar turun bersamaan dengan gerimis kecil yang tercurah di wajah Raine.

Seorang gadis menarik hoodie ke atas kepalanya untuk melindungi dirinya dari hujan yang turun, walaupun hal ini tidak banyak membantu. Dia membiarkan rambut hitam panjangnya jatuh di sisi wajahnya, membuat orang- orang yang dia lewati sulit untuk melihat warna kulit wajahnya yang pucat.

Mata Raine yang hitam menatap lurus ke jalanan di bawah kakinya, dengan melihat sepatu- sepatu di sekelilingnya, Raine berusaha menghindari menabrak orang- orang disekitarnya.

Raine tidak berani untuk mengangkat kepalanya.

Tidak peduli dimanapun dia berada, dia akan seringkali melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat. Ada makhluk lain di sekitar mereka dan hal ini membuatnya sangat takut karena tidak ada seorangpun yang dapat melihatnya kecuali Raine sendiri.

Raine telah berusaha untuk berpura- pura tidak dapat melihat 'mereka' sejak satu tahun lalu ketika dia dinyatakan 'sembuh' dari rumah sakit jiwa, tapi sebenarnya hal itu lebih sulit dilakukan daripada hanya dikatakan.

'Makhluk itu' ada dimana- mana.

Saat ini, Raine sudah membentuk suatu kebiasaan untuk menundukkan kepalanya dan menatap lekat- lekat sepatunya sendiri, untuk membantu dirinya agar tidak melihat 'mereka'.

Raine telah belajar kalau makhluk- makhluk itu tidak akan memberikan perhatian padanya kalau dia bersikap seolah dia tidak melihat mereka dari awal.

Malam ini hujan turun dan Raine tidak suka berada di jalanan sendirian, terutama ketika matahari telah terbenam karena makhluk- makhluk yang berkeliaran pada jam ini lebih menakutkan daripada yang Raine pernah lihat.

Orang- orang di panti asuhan, tempat Raine tinggal sekarang, akan mengatakan kalau dia menderita Agrophobia, ini adalah penyakit kecemasan yang mana penderitanya merasakan kalau sekelilingnya merupakan tempat yang tidak aman.

Raine tidak bisa membantah hal ini, secara harfiah, dan ini juga merupakan penjelasan paling mudah ketika rasa panik menyerangnya daripada Raine harus menjelaskan apa yang telah dia lihat.

Kalau bukan karena untuk mengambilkan obat Ny. Sullivan untuk penyakit asma- nya dari apotek karena dia kehabisan persediaan, maka Raine tidak akan pernah berada di luar dan setengah kebasahan seperti ini.

Raine mengeratkan genggamannya pada kantong obat yang dia letakkan di bawah sweaternya agar tidak basah.

Ketika Raine sampai di trotoar jalan, dia menekan tombol dan mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat lampu lalu lintas.

Ketika lampu hijau menyala dengan figure orang yang tengah berjalan di permukaannya, Raine segera berjalan melintasi jalan raya.

Pada saat yang bersamaan, di dalam SUV hitam.

Raphael tidak menyadari kalau lampu lalu lintas telah berubah warna menjadi merah ketika Calleb dan dirinya berpaling ke arah Torak, yang duduk di bangku belakang.

"Apa yang kamu katakan?" Raphael terkejut.

"Pasangan jiwa?" Calleb menambahkan. "Alpha, kamu pasti sedang bercanda sekarang? Bukankah tidak mungkin untukmu memiliki pasangan jiwa…?"

Torak membeliakkan matanya terhadap Calleb yang langsung membuat pemuda itu bergidik di bawah tatapan sengit Torak.

Calleb sering berpikir kalau mulutnya akan membawa kematian padanya lebih cepat daripada tindakannya. Calleb menundukkan kepalanya, bersikap sepatuh yang dia bisa sambil bermain dengan jari jemarinya.

Sementara itu, Raphael masih melihat Torak secara intens dari kaca spion tengah dengan mulut yang sedikit terbuka, bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak dapat menghasilkan kata- kata yang tepat untuk pernyataan Torak.

Disebelahnya, Calleb melihat cahaya lampu merah, tapi karena dia berpikir Raphael juga akan melihat hal ini, Calleb tidak mengingatkan sang Beta, bagaimanapun juga Raphael yang memegang kemudi.

Namun, ketika Calleb menyadari kalau mobil mereka sama sekali tidak melambat dan seorang gadis akan menyeberang jalan di zebra cross, matanya menggelap dalam keterkejutannya.

"Shit!" Calleb mengumpat dengan keras. Detika berikutnya, dengan kecepatannya sebagai Lycan, Calleb mengangkat kakinya, menginjak kaki Raphael dan memijak rem dengan keras.

Suara melengking dari ban yang memakan aspal jalan, sungguh menyakitkan telinga mereka.

"Damn." Raphael bergumam ketika dia melihat seorang gadis dengan sweater cokelat, hanya satu inchi jauhnya sebelum tubuh gadis itu terpental menabrak mobil mereka.

"Terimakasih kembali." Calleb memberikan Raphael sebuah senyum setengah hati seraya warna matanya berubah kembali menjadi hijau.

Mereka tidak bisa melihat gadis itu dengan jelas karena hoodie dan rambutnya yang berantakan, tapi dari apa yang mereka lihat, mereka sangat yakin kalau gadis itu baik- baik saja. Syok, tapi tidak apa- apa.

Itu dibuktikan ketika gadis itu berjalan menjauh dari pandangan mereka dengan terburu- buru, lebih tepatnya dia berlari.

"Berhenti mengintip sang Alpha, Beta- ku sayang. Kamu hampir membunuh kita bertiga." Calleb membentak Raphael.

Ketika Raphael baru akan membantah kata- kata Calleb, sebuah suara pintu terbuka dan menutup, mengejutkan mereka berdua. Di detik berikutnya, mereka melihat Torak telah berlari menembus rintik hujan.

"Lalu apa sekarang?" Calleb melirik pada Raphael.

"Turun." Raphael memberi perintah pada Calleb seraya dia mendorong pintu untuk terbuka, keluar dari dalam mobil dan mengejar Torak.

"Turun? Sekarang? Hujan- hujanan seperti ini?" Calleb menggerutu sambil membuka seat belt yang membelengunya.

Nächstes Kapitel