Untuk pertama kalinya dalam 13 tahun, Emma merayakan ulang tahunnya. Ia merasa sangat berterima kasih kepada Haoran karena pemuda itu sangat baik kepadanya. Ia bukan hanya mengingat hari ulang tahun Emma, tetapi juga memberinya hadiah berupa potret wajah ayah dan ibu Emma. Dengan berbekalkan potret itu, mereka akan dapat mencari orang tua Emma dengan lebih mudah.
"Terima kasih, Haoran. Aku akan selalu mengingat hari ini," kata Emma saat makan malam mereka berakhir.
Haoran hanya mengangguk dan tersenyum, "Ini bukan apa-apa. Aku senang kau menyukainya."
Mereka lalu berjalan bergandengan turun dari Menara Eiffel setelah selesai makan malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 malam tetapi langit masih terlihat cerah dan matahari perlahan-lahan mulai terbenam di ujung barat.
"Cuacanya indah sekali," kata Haoran sambil melongok ke langit. "Kau mau berjalan kaki pulang ke hotel?"
Gadis itu hanya mengangkat bahu.
"Boleh saja, kenapa tidak. Tapi, aku tidak akan memegang tanganmu..." kata Emma sambil melepaskan diri dari genggaman tangan Haoran. "Bagaimana kalau ada orang yang melihat kita?"
Haoran hanya bisa mendesah pendek dan menggeleng. "Emma, apakah sebegitu memalukannya terlihat berjalan bersama-sama denganku? Seorang anak kelas A berjalan-jalan dengan anak kelas F?"
"Bukan itu maksudku." Emma buru-buru menggeleng. "Mungkin kau tidak tahu, tetapi seorang teman sekelasku sangat menyukaimu. Kalau sampai tersebar berita bahwa kau dan aku punya hubungan dekat, Mary akan marah kepadaku."
"Kenapa kau memikirkan pendapat orang lain? Tadinya aku mengira kau bukan gadis seperti itu. Dari pertama aku melihatmu, aku mengira kau adalah seorang gadis yang cuek dan tidak memusingkan pendapat orang. Kenapa sekarang kau berubah?" tanya Haoran sambil menatap Emma dalam-dalam.
Emma terdiam mendengar kata-kata pemuda itu. Memang benar bahwa dulu memang Emma terbiasa menyendiri dan tidak mau berteman. Tetapi selama beberapa bulan terakhir, Nadya dan Mary telah memperlakukannya dengan sangat baik dan mereka menerima Emma sebagai bagian dari mereka.
Karena merekalah, Emma sekarang merasa diterima di kelasnya. Selama belasan tahun ia telah hidup sendiri tanpa siapa pun. Baru akhir-akhir ini ia memiliki teman perempuan dan juga beberapa teman lelaki. Kini rasanya menjadi sulit bagi Emma untuk kembali pada situasi dimana ia tidak memiliki teman.
"Kalau Mary dan Nadya tidak mau lagi berteman denganmu, masih ada aku, masih ada Dinh, David, Eric, dan Alex," kata Haoran sambil mengangkat bahu.
Emma menatapnya dengan sepasang mata kecewa. "Aku tidak punya banyak teman, Haoran. Kenapa kau membuatku memilih?"
Setelah berkata demikian Emma lalu berjalan meninggalkan Haoran dengan langkah-langkah panjang. Pemuda itu segera menyadari kesalahannya dan mengejar Emma.
"Hei... hei, maafkan aku. Aku hanya merasa tidak enak karena kau harus menyembunyikan pertemanan di antara kita. Tapi kalau itu yang kau inginkan, baiklah, aku akan mengalah." Pemuda itu tersenyum dan berjalan menjajari langkah-langkah Emma dengan kedua tangannya di dalam saku.
Sebagai orang yang lebih tua dari Emma, sudah seharusnya Haoran lebih dapat bersikap dewasa. Ia kemudian menyadari bahwa bagi seorang gadis penyendiri seperti Ema yang tidak memiliki banyak teman, perasaan Kehilangan teman akan sangat mempengaruhinya. Tidak seperti Haoran yang tidak peduli hal-hal semacam itu karena ia punya empat teman dekat sedari kecil. Apa pun yang terjadi kepadanya, ia selalu memiliki keempat orang itu.
Mereka lalu berjalan berdampingan melintasi Sungai Seine menuju ke hotel mereka sambil mengobrol tentang hal-hal yang mereka alami di Paris sejauh ini.
"Ngomong-ngomong, kau sudah tahu apa yang terjadi tadi malam?" tanya Haoran di tengah perjalanan.
Emma menggeleng. "Tidak, aku kan sudah bilang kalau aku berjalan dalam tidur. Aku malah melupakan banyak hal dan tidak ingat apa yang terjadi sebenarnya. Bukankah kau bilang ada rumor tentang serangan teroris?"
"Iya, tapi itu rumor tidak benar. Jadi, kemarin ada kerusakan di gardu listrik besar yang menyuplai listrik ke kota Paris dan sekitarnya. Hal ini aneh sekali karena gardu listrik itu disambar petir sehingga semuanya rusak. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Apalagi kau tahu sendiri, cuaca tadi malam baik-baik saja, tidak mendung dan tidak hujan," kata Haoran menambahkan. "Hal itu kemudian menimbulkan berbagai teori konspirasi bahwa ada pihak tertentu yang sengaja merusak gardu itu."
"Ada pihak tertentu yang sengaja merusak gardu? Maksudmu ada orang yang bisa mengendalikan petir lalu sengaja menyambarkan petir ke gardu itu supaya rusak?" Emma hanya tertawa mendengar kata-katanya sendiri. "Lucu sekali..."
"Bukan... bukan itu maksudku. Mereka berbohong tentang sambaran petirnya. Bagaimana mungkin bisa ada sambaran petir sementara kemarin cuaca baik-baik saja, tidak ada hujan tidak ada angin sama sekali. Jadi aku mengira sebenarnya terjadi serangan teroris atau entah ada penjahat mana yang merusak gardu listrik, tetapi pemerintah sengaja menutupinya supaya masyarakat tidak menjadi resah. Kerusakannya lumayan parah, lho. Mereka perlu waktu cukup lama untuk memperbaikinya, lebih dari 6 jam."
Emma seketika teringat bahwa saat ia terbangun di menara Eiffel dan menyadari sekelilingnya telah menjadi gelap karena mati lampu, di dalam hatinya ia sadar bahwa peristiwa itu adalah hasil perbuatannya, walaupun ia tidak yakin apa yang telah terjadi.
Kini saat ia mendengar bahwa petirlah yang telah menyambar gardu listrik itu, Emma seketika menjadi yakin bahwa ia memang bisa mengendalikan petir. Tanpa sadar ia menoleh ke arah tangan kanannya dan melihat bintik-bintik berkilauan di telapak tangannya, yang disertai dengan sedikit rasa kesemutan.
"Tunggu sebentar," kata Haoran tiba-tiba. Ia lalu bersimpuh dan mengikat tali sepatunya yang sedikit terlepas.
Melihat Haoran sibuk dengan sepatunya, Emma yang penasaran segera menangkat tangan kanannya ke atas kepala dan segenap pikirannya dikerahkan untuk menciptakan petir. Ia harus mencoba kemampuannya untuk mengetahui bahwa ia memang dapat mengendalikan petir.
Tiba-tiba terlihat sebuah petir menyambar di atas mereka dan 1 detik kemudian terdengar suara gemuruh menggelegar!
Haoran yang baru selesai mengikat tali sepatunya dan hendak bangkit berdiri hampir terjatuh karena kaget.
"Astaga, Emma... Kau lihat itu? Kilatnya aneh sekali... padahal sekarang cuaca sangat cerah tapi kenapa tiba-tiba bisa ada kilat dan petir?" seru Haoran sambil bangkit berdiri dan mengamati langit dengan keheranan.
Emma yang sama kagetnya dengan Haoran buru-buru menyimpan kembali tangannya ke balik tasnya. Entah kenapa sesuatu di dalam dirinya tadi berpikir bahwa ia dapat mengendalikan petir. Secara insting ia terdorong untuk mencoba kemampuannya saat Haoran sedang teralihkan perhatiannya oleh tali sepatunya yang terlepas.
Begitu kilat menyambar untuk kedua kalinya, tiba-tiba sekilas bayangan kenangan muncul di hadapan Emma.
Arreya Stardust sedang mengangkat kedua tangannya dan mengerahkan segenap pikirannya untuk mendatangkan hujan. Kaoshin Stardust yang sedang berdiri di belakangnya sambil menggendong Emma kecil tampak tersenyum tipis melihat upaya istrinya.
"Kau lihat, Emma... daerah gersang ini akan segera mendapatkan hujan setelah bertahun-tahun dilanda kemarau dan kelaparan," bisik pria itu ke telinga Emma kecil. "Setelah ibumu bekerja, Ayah akan menghadiahi penduduk daerah ini dengan berbagai tanaman pangan yang akan memberi mereka cukup makanan."
Emma kecil tersenyum dan mengangguk. Ia mengusap kepala ayahnya dengan penuh perhatian. Lima menit kemudian petir pun tiba menyambar-nyambar, dan kemudian tampak rombongan awan gemuk dan tebal tiba-tiba saja berarak dan berkumpul di atas kepala mereka.
Hujan yang sangat lebat kemudian turun membasahi bumi di daerah Afrika Barat yang telah bertahun-tahun mengalami kekeringan. Arreya menoleh ke arah suaminya dengan senyum puas.
"Sekarang giliranmu, Jenderal Stardust," kata wanita itu dengan suara merdu.
Kaoshin Stardust mengangkat tangannya dan tahu-tahu beberapa tanaman sejenis talas yang berdaun lebar tumbuh dari tanah dan langsung memberi mereka perlindungan dari hujan yang turun.
Pria itu menyerahkan Emma kecil kepada Arreya lalu berdiri di tengah hujan dan mengangkat kedua tangannya dengan khimad. Sepasang matanya terpejam saat ia memusatkan pikirannya. Ketika ia membuka mata, tangan kanannya menebarkan benih hingga belasan kilometer jauhnya.
Perlahan-lahan, berbagai tanaman mulai tumbuh di sekitar mereka. Emma terpesona melihat apa yang terjadi. Tidak sampai dua jam kemudian, daerah gurun yang tadi mereka pijak telah menjadi sebuah lembah hijau yang dipenuhi tanaman.
"Emma.. kau tidak apa-apa?" Suara Haoran membuyarkan lamunan Emma. "Kau kaget mendengar suara petir itu ya?"
Perlu waktu beberapa detik bagi Emma untuk menyadari sekelilingnya.
Ia hampir menitikkan air mata karena barusan ia kembali dapat melihat bayangan orang tuanya.
Apakah ini berarti... setiap ia menggunakan kemampuannya, ia akan dapat mengingat mereka? Emma sudah tidak sabar untuk kembali ke hotel dan diam-diam mencoba menggunakan kekuatannya lagi. Ia ingin sekali melihat orang tuanya lagi.
"Aku tidak apa-apa.. Hanya sedikit kaget. Sebaiknya kita segera kembali ke hotel." Ia lalu menarik tangan Haoran agar berjalan lebih cepat.
Pemuda itu sama sekali tidak protes. Karena toh kali ini justru Emma yang memegang tangannya.
.
.
Electromancer = Orang yang dapat mengendalikan petir
Herbomancer = Orang yang dapat mengendalikan tanaman
Telemancer = Orang yang dapat mengendalikan pikiran
Arreya Stardust memiliki kemampuan sebagai electromancer dan telemancer, sementara Kaoshin Stardust terlihat jelas merupakan seorang herbomancer.