Mereka belajar di kamar Haoran di lantai dua yang luasnya ternyata hampir tiga kali lipat luas apartemen Oma Lin. Emma terkagum-kagum melihat penataan perabotan yang serba mewah di kamar pemuda itu.
Pelayan rumah yang bernama Bibi Chan membawakan mereka banyak sekali camilan dan minuman untuk menemani belajar.
"Baiklah.. aku ingin tahu sampai di mana kemampuanmu yang sebenarnya, biar aku bisa menentukan cara mengajarimu dengan baik. Aku sudah menyiapkan beberapa tes Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi."
Emma mengeluarkan beberapa kertas dan menyerahkannya kepada Haoran. Pemuda itu meneliti soal di kertas-kertas tes tersebut dengan penuh perhatian lalu mengangguk.
"Bagus sekali, kapan kau membuatnya?" tanya pemuda itu sambil mengangkat wajahnya. "Kau sudah pernah mengajar les sebelumnya?"
Emma mengangkat bahu. "Sejak pindah ke sini aku sudah berencana untuk mengajar les. Aku hanya tidak menyangka akan secepat ini mencari murid. Terima kasih atas bantuanmu."
"Sama-sama. Baiklah... berapa lama waktu yang kau berikan kepadaku untuk mengerjakan masing-masing soal?" tanya Haoran.
"Lima belas menit. Satu jam lagi aku akan memeriksanya dan memberikan penilaianku."
"Baiklah. Haoran menyesap jus yang ada di sampingnya lalu dengan serius mengisi jawaban untuk semua soal yang diberikan Emma. Ia berganti-ganti posisi dari menunduk ke meja, mengangkat kaki ke kursi, berdiri dan berjalan mondar-mandir sambil berpikir, meregangkan badannya ke belakang dan memejamkan mata selama lima menit, dan lain-lain.
Emma sendiri berjalan mengitari kamar luas itu untuk mengamati berbagai tanaman dalam pot yang ada di beberapa sudutnya. Pintu menuju balkon terbuka dan dengan penuh minat gadis itu berjalan ke sana. Ia membelai tanaman cemara di kiri kanan balkon lalu berdiri di tepian balkon menatap pemandangan taman di bawahnya. Villa besar ini memiliki taman yang sangat indah dan jelas dirawat oleh seorang tukang kebun profesional.
"Sudah selesai," kata Haoran setengah jam kemudian. Emma terhenyak dan menoleh ke arah pemuda itu yang mengacungkan kertas-kertasnya dengan ekspresi penuh kemenangan.
Cepat sekali, pikir Emma. Ia berjalan menghampiri Haoran dan memeriksa jawabannya dengan cepat. Soal yang ia berikan kepada Haoran tadi adalah soal-soal tingkat dasar, hanya untuk mengetahui tingkat pemahaman pemuda itu akan keempat mata pelajaran tadi.
"Hmm... jawabannya benar semua..." Emma mengangkat wajahnya dari kertas di tangannya dna menatap Haoran dengan pandangan penuh selidik. "Aku tidak percaya kau pernah tinggal kelas dua kali. Bagaimana bisa?"
Haoran mengangkat bahu.
"Bisa saja. Setiap ujian aku selalu membiarkan kertas jawabannya kosong. Mereka tidak punya pilihan selain membiarkanku tinggal kelas."
Emma menatap pemuda itu dengan pandangan tidak percaya.
"Kau.. sengaja? Kenapa?" Seketika ia merasa kedatangannya kemari menjadi sia-sia.
"Aku tidak mau bersekolah. Aku hanya berangkat ke sekolah setiap hari karena dipaksa. Kau tahu kan, kalau anak tidak masuk sekolah, maka orang tuanya bisa dihukum pemerintah. Jadi aku dipaksa bersekolah," jawab Haoran.
Emma menggeleng-geleng. "Aku tidak mengerti... Kenapa kau memberiku pekerjaan mengajar les kalau nanti kau hanya akan merusak ujianmu sendiri? Kau membuang-buang waktuku..."
"Kau tidak usah kuatir. Aku pasti akan bertanggung jawab. Aku tidak akan merusak ujianku lagi." Haoran tersenyum manis sekali. "Ayahku akan berterima kasih kepadamu karena sudah membuat anaknya termotivasi untuk belajar."
Emma hanya dapat menatap Haoran dengan pandangan rumit. Ia sudah menduga pemuda itu sebenarnya tidak bodoh. Pasti ada alasannya kenapa ia sengaja merusak nilai-nilainya dan dimasukkan ke kelas F.
"Hmm.. baiklah. Aku percaya kepadamu." Emma meneliti kembali jawaban-jawaban Haoran di soal yang ia berikan dan mengambil kesimpulan bahwa pemuda itu sebenarnya pintar. "Kau sepertinya tidak sungguh-sungguh membutuhkan guru les."
Haoran mengangkat bahu. "Aku? Memang tidak. Tetapi keempat temanku di kelas F memang benar-benar bodoh. Mereka bersedia membayarmu untuk memberi mereka les sepulang sekolah kalau aku sudah memastikan kepada mereka bahwa kau adalah guru yang baik."
"Oh.." Emma tertegun. Rupanya isi SMS Haoran tidak bohong. "Begitu. Siapa saja nama mereka?"
"Aku akan memberitahumu, asalkan kau berterus terang kepadaku.. kenapa kau harus ke Paris."
Haoran menatap Emma dengan pandangan penuh selidik. Gadis itu berpikir sejenak. Sejak awal pertemuannya dengan Haoran, pemuda itu selalu memperlakukannya dengan baik dan sampai sekarang ia terlihat selalu berusaha membantu. Haoran adalah orang pertama yang disukai Emma sebagai teman. Akhirnya gadis itu mengangguk. Lagipula ia tidak memiliki pilihan lain.
Ia mengambil duduk di sebelah Haoran dan bicara dengan nada yang sangat serius.
"Aku ingin mencari jejak orang tuaku."
Pemuda itu tertegun mendengar kata-kata Emma. Ia sudah menduga ada sesuatu di balik tekad Emma untuk pergi ke Paris. Tetapi ia tidak mengira gadis itu ingin mencari orang tuanya.
"Kau... tidak punya orang tua?" tanya pemuda itu dengan nada hati-hati. "Kau di sini dengan siapa?"
Emma tertunduk. Ia telah begitu lama menyimpan sendiri kesedihannya tanpa dapat berbagi kepada orang lain. Mabel telah membuatnya terkucil dan tidak memilki teman selama sebelas tahun. Tidak pernah satu kali pun ada orang yang menanyakan keadaannya dengan nada penuh perhatian seperti yang dilakukan Haoran sekarang.
Tanpa terasa setetes air mata mengalir turun dari sepasang mata topaz Emma.
"Aku... ditinggalkan di depan panti asuhan ketika umurku belum empat tahun," kata Emma lirih. "Aku tidak tahu mengapa orang tuaku melakukannya... Tetapi saat itu mereka tampak sedih sekali."
Haoran sangat terkejut melihat Emma tak kuasa menahan air mata. Saat itu juga ia seketika mengerti bahwa Emma sedang meluapkan kesedihan yang telah ditahannya selama bertahun-tahun.
"Oh.. maafkan aku yang tidak peka. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih..." Haoran menyentuh tangan Emma dan menepuk-nepuknya halus. "Kau tidak perlu menceritakannya. Aku mengerti."
Ia sebenarnya ingin tahu lebih banyak tentang orang tua Emma, tetapi ia tak ingin membuat gadis itu bertambah sedih. Air mata Emma barusan membuatnya sangat terkejut. Ia tidak mengira, gadis cantik tangguh yang sikapnya acuh tak acuh itu ternyata menyimpan beban demikian berat.
Jangan pernah menilai buku dari sampulnya, pikir Haoran. Ia menunggu hingga Emma tenang dan kemudian menyerahkan selembar kertas dengan empat buah nama.
"Ini adalah nama keempat anak kelas 2F yang membutuhkan guru les dan bersedia membayarmu. Kau bisa mengajar mereka di sini bersama-sama, kalau kau mau. Menurutku ini lebih praktis. Jadi mereka bisa sekalian ada teman belajar, dan kau juga akan dapat menghemat waktu."
Emma menatap Haoran dengan penuh terima kasih. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa demikian beruntung dan berteman dengan pemuda sebaik ini.
"David Wijaya, Tien Nguyen, Eric Pei, dan Alex Chu."
"Semuanya laki-laki?" tanya Emma.
"Kenapa? Kau bukan orang seksis, kan? Apa kau mendiskriminasi kami berdasarkan gender?" Haoran bertanya balik. "Mereka anak buahku. Kalau aku mau pindah kelas, maka mereka juga harus ikut. Aku berencana pindah ke kelas A di tahun ajaran depan."
"Eh..?" Emma tidak mengerti maksud Haoran. "Kenapa?"
"Aku sudah bosan di kelas F. Aku sengaja menggagalkan ujianku dua tahun berturut-turut karena ingin membuat malu ayahku. Sekarang kurasa dia sudah cukup malu. Aku mau pindah ke kelas A agar bisa sekelas denganmu... hehe..."
Emma hanya memutar matanya mendengar kata-kata Haoran. Ia tidak tahu seperti apa kemampuan Haoran yang sesungguhnya. Dia memang sebenarnya tidak bodoh.. tetapi apakah cukup untuk pindah ke kelas A?
Setiap akhir semester, semua siswa di setiap level akan diurutkan rankingnya di sekolah berdasarkan nilai ujian masing-masing. 30 siswa teratas akan masuk ke kelas A, 30 siswa berikutnya masuk kelas B, dan demikian seterusnya.
Karena Haoran dan teman-temannya ada di urutan 150-180, maka untuk bisa pindah ke kelas A, mereka harus mengalahkan nilai ujian 150 siswa di atas mereka.
Ugh... Tiba-tiba Emma merasa uang 2000 dolar ini akan diperolehnya dengan bekerja lebih keras daripada yang dibayangkannya.