webnovel

DUCAN KAYLER (1)

Lima bulan kemudian...

Di sebuah tempat rehabilitasi penyandang candu narkoba.

"Lepaskan aku!! lepaskan aku! aku mau obat itu! berikan padaku! aku mohon berikan padaku!" ucap Ducan dengan wajah berkeringat memohon pada anak buah Daddynya yang memegang kedua tangannya.

"Maaf Tuan Ducan, Tuan Kayler tidak mengizinkan Tuan memakai obat ini lagi." ucap Anak buah Kayler yang di perintahkan menjaga Ducan di tempat rehabilitasi pencandu narkoba yang sangat terkenal di kota Jakarta.

"Tolong aku!! aku akan memberikan apapun asal kamu memberikan obat itu padaku." ucap Ducan yang sudah berusia dua puluh empat tahun namun menjadi pencandu narkoba sejak usia lima belas tahun.

"Tidak bisa Tuan, Tuan Ducan sebaiknya Istirahat. Sebentar lagi keluarga Tuan Ducan akan datang untuk melihat Anda." ucap anak buah Kayler masih memegangi kedua tangan Ducan.

"Persetan dengan mereka semua!! aku hanya mau obatku!! tolong! berikan obatku saja! Aku akan berterima kasih padamu, tolong berikan padaku sekarang!!" ucap Ducan dengan duduk meringkuk dan meratap menginginkan obatnya.

"Jhon! bagaimana ini? apa yang harus kita lakukan. Sebaiknya kamu pergi, panggil Dokter Avanz." ucap Jeremy dengan pikiran panik melihat Ducan mulai menyakiti dirinya sendiri. Dan sebentar lagi bisa di pastikan akan mengamuk dan menghajar siapa saja yang ada di dekatnya.

"Baiklah, aku akan pergi memanggil Dokter Avanz. Kamu hati-hati di sini." ucap Jhon merasa kuatir meninggalkan Jeremy dengan Ducan sendiri di kamar.

"Cepatlah pergi Jhon, sebelum Tuan Ducan hilang kesadarannya." ucap Jeremy berdiri tegang setelah melepas Ducan Kayler yang terkenal sebagai pencandu narkoba dan seorang psikopat.

Dengan cepat Jhon pergi meninggalkan Jeremy dan segera memanggil Dokter Avanz untuk segera memberikan suntikan pada Ducan agar Ducan bisa tenang kembali.

"Aaaakkhhhh!! di mana obatku!! cepat ambil obatkuuuu!!" teriak Ducan dengan tiba-tiba berdiri dari tempatnya dengan membuang dan menghancurkan semua yang ada di kamarnya.

Dengan wajah merah dan kemarahan yang terlihat jelas, Ducan menendang sebuah guci yang ada di dekatnya.

"PYARRR"

Guci besar itu seketika pecah berserakan di lantai. Dengan gerakan pelan Ducan mengambil satu pecahan guci yang berserakan dilantai. Sambil memegang satu pecahan guci, Ducan mendekati Jeremy dengan tatapan kedua matanya yang sangat dingin.

"Kamu! Kenapa kamu tidak mengambil obatku!! kenapa kamu diam saja dari tadi di sini!! cepat berikan obatkuuuu!! kalau tidak, kamu akan tahu akibatnya! aku bisa membunuhmu disini!" ucap Ducan dengan tatapan dingin sambil menggoreskan pecahan guci itu di dada Jeremy yang terbuka yang sedang berdiri di hadapannya.

"Tuan...Tuan Ducan!! tolong aku Tuan, jangan sakiti aku. Jhon sedang mengambil obat Tuan. Sebentar lagi Jhon datang dengan membawa obat itu." ucap Jeremy dengan wajah ketakutan memohon ampun pada Ducan.

"Pembohong! kalian semua pembohong!! lihat saja kalau kalian membohongiku lagi! aku akan membunuh kalian semuaaaa!!!" teriak Ducan sambil mendekatkan pecahan guci yang di pegangnya pada wajah Jeremy.

Belum lagi pecahan guci itu menggores wajah Jeremy, seseorang memanggil nama Ducan.

"Ducan! hentikan!... hentikan Ducan! lepaskan Jeremy!" teriak seseorang itu mendekati Ducan dan berusaha mengambil pecahan guci yang di bawa Ducan.

Ducan tertawa keras, dengan tubuh yang terhuyung-huyung menghadap Lucken.

"Wow!!! saudara kembarku yang paling sempurna sudah datang! seorang Lucken yang sempurna, kenapa repot-repot datang kemari? Ah ya Luck, di mana orang tua kita? apa mereka berdua akan datang? tentu saja tidak!! mereka tidak akan datang sebelum melihat aku mati!" teriak Ducan dengan tatapan matanya yang merah.

"Kamu bicara apa Duc? mereka selalu datang. Hanya kamu yang tidak mau menemui mereka. Sadarlah Duc, kalau kamu sudah sembuh kita akan membawamu pulang." ucap Lucken sambil memegang lengan Ducan.

***

"Tidak!! Aku tidak percaya!! kalian membawaku kesini! kalian tidak mau menerima seorang pembunuh kan? makanya kalian membawaku kesini!!" kata Ducan mendorong tubuh Lucken dengan keras.

"Kamu telah salah paham Duc, aku juga Momy dan Daddy selalu memikirkan keadaanmu. Kamu salah jika mengatakan kami tidak peduli padamu." ucap Lucken dengan sabar menghadapi sikap Ducan.

"Jika kalian peduli padaku di mana kalian ketika aku membutuhkan kalian untuk membantu Diana?! Diana meninggal karena kalian tidak peduli padanya." ucap Ducan dengan kedua matanya berkaca-kaca.

"Itu terjadi karena kami tidak tahu kamu sudah mengirim pesan Duc! Ketika kami tahu, kami langsung datang kan? semua yang terjadi tidak sepenuhnya kesalahan kami Duc." ucap Lucken berusaha menjelaskan kepada Ducan.

"Aku tidak percaya!! kalian benar-benar telah memisahkan aku dari Diana. Karena kalian tahu Diana wanita malang yang hidup di jalanan. Benar kan?!" teriak Ducan sambil meremas rambutnya merasa hatinya tertekan mengingat semua itu.

"Itu tidak benar Duc, kami semua mencintai Diana karena dia wanita yang kamu cintai. Saat itu kami benar-benar tidak tahu langsung pesan kamu." ucapLucken merasa putus asa dengan apa yang Ducan pikirkan.

"Apakah kamu bahagia sekarang? Diana sudah mati. Hidupku sudah hancur!! apakah kamu puas? semoga kalian masuk neraka!!" ucap Ducan dengan perasaan marah berjalan terhuyung-huyung.

"Cukup Duc, kamu harus tenang. Kamu tidak akan bisa sembuh jika kamu tidak bisa melupakan hal itu. Hal itu sudah terjadi dua tahun yang lalu." ucap Lucken berharap Ducan segera sadar dan melupakan peristiwa kematian Diana.

"Sangat mudah bagimu untuk mengatakan hal itu!! Aku sendiri melihat bagaimana Diana meninggal. Aku seperti orang gila karena tidak bisa menyelamatkannya. Dan itu semua karena kalian!!" ucap Ducan berjalan ke arah Lucken.

"Pergi!! Pergi!! dan jangan pernah kesini lagi!! aku benci kalian!! pergi!!!" Ducan berteriak sambil meraih kursi dan melemparkannya ke Lucken yang sudah pergi.

"BRAKKK"

Seketika kursi itu terpelanting jauh hampir saja mengenai Jhon yang baru datang dengan Dokter Avanz.

"Dokter, lihatlah dadaku yang berdarah ini. Dari tadi Tuan Ducan mengamuk ingin membunuh semua orang." ucap Jeremy mendekati Dokter Avanz yang cukup dekat dengan Ducan.

Tanpa menimbulkan suara Dokter Avanz mendekati Ducan dan memegang lengan Ducan.

"Dokter... Dokter, suruh mereka pergi! aku tidak mau melihat wajah mereka di sini! aku muak dengan wajah mereka Dokter." ucap Ducan dengan tenaga yang sudah habis memeluk Dokter Avanz.

"Tolong kalian pergi dulu, aku harus menenangkan hatinya Ducan. Setelah itu, baru kalian bisa melihatnya." ucap Dokter Avanz sambil mengusap punggung Ducan yang memeluknya dengan erat.

"Ducan, kemarilah.. berbaringlah di sini." ucap Dokter Avanz sambil mengeluarkan jarum suntiknya.

Tanpa di sadari Ducan, Dokter Avanz sudah menyuntikkan obat penenang dosis tinggi padanya.

Beberapa saat kemudian kedua mata Ducan mulai meredup dan terpejam.

"Jhon, panggil keluarga Ducan kemari. Ducan sudah tidur, mereka bisa melihatnya." ucap Dokter Avanz sambil memeriksa denyut nadi Ducan.

Nächstes Kapitel