webnovel

Bab 12: Sebuah Petunjuk?

Arvin memarkirkan kendaraannya ketika sampai di tempat tujuan. Untuk beberapa saat, dia terdiam dan menatap rumah sederhana dengan halaman cukup luas itu. Tidak ada yang aneh selain garis polisi yang melintang di sekitar sana. Tidak ada penjagaan pula. 

Arvin mengamati sekitar. Mulai dari lampu jalan yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, pohon rindang serta tidak ada CCTV satu pun. Suasananya hampir sama dengan TKP di Jalan Bukit Golf. Yang membedakan hanya, area ini memang bukan jalan utama. Tidak aneh jika terabaikan begitu saja.

Akan tetapi, bukan berarti harus dibiarkan begitu saja tanpa pengamanan. Fakta bahwa tidak sedikit kendaraan yang biasa melewati jalan ini, harusnya diperhatikan. Jika ada tindak kriminal yang terjadi, polisi bisa terbantu dan mendapat sedikit petunjuk. Tidak buntu seperti yang Arvin hadapi.

Kedua bola matanya beralih menatap tanah. Mencari jejak ban mobil. Meski terdapat beberapa jejak ban di sana, dia tidak bisa memastikan apakah itu jejak mobil yang Daryo maksud, atau justru dari ban kendaraan milik mereka. Arvin mendesah dengan berat. Sesuatu yang sangat mustahil untuk dipastikan.

Arvin berjalan menuju pohon mangga tempat Daryo bersembunyi. Melewati genangan darah yang sudah mengering, saksi bisu atas apa yang terjadi dini hari tadi. Dia juga mengamati area itu beberapa saat.

Jika Indra Wijaya masih memiliki sanak saudara, sudah dipastikan area itu akan dipenuhi dengan taburan bunga. Entah tujuannya apa. Arvin sendiri tidak paham mengenai hal seperti itu.

Tidak terasa langkah kaki membawanya ke bagian belakang rumah. Area ini sepertinya memang jarang sekali dibersihkan. Rumput-rumput tumbuh tinggi seenaknya.

Beberapa sampah berbagai jenis dan ukuran berserakan di beberapa sudut. Arvin menyibak setiap rumput yang dia pijak, mencari sesuatu. Sesekali dia juga berjongkok ketika matanya menangkap sesuatu yang menurutnya mencurigakan.

Arvin tidak menyangka sejauh ini. Keluarga Indra Wijaya benar-benar mengalami kemerosotan yang tajam. Dia masih ingat, dulu sekali, istri Indra Wijaya sangat mencintai kerapian.

Satu sampah pun tidak akan dia biarkan mengotori area tempat tinggalnya. Kendati demikian, setelah suaminya bangkrut sepertinya dia tidak peduli akan hal seperti itu lagi.

Arvin terus melangkah ke arah pojok di mana terdapat beberapa tumpuk balok kayu di sana. Ukurannya berbagai macam dari yang kecil sampai berukuran besar. Kebanyakan berukuran sama dengan balok kayu yang mereka temukan di sekitar mayat Indra Wijaya. Sudah bisa ditebak, pelaku mendapatkannya dari area ini juga.

Arvin menyibaknya dan terlihat mulai memindahkan beberapa potong kayu ke tempat lain. Terlalu asyik sampai tidak menyadari jika ada yang mengamatinya dari belakang. Seseorang dengan tangan yang terselip ke saku bagian dalam jaket. Tampak hendak mengambil sesuatu.

Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Pria itu semakin mendekat pada Arvin. Cara berjalannya sangat lembut, dan tidak mengeluarkan suara apa pun.

Namun pada langkah berikutnya, ekor mata Arvin menangkap kehadirannya. Terang saja, penyidik itu langsung memberi serangan terlebih dahulu. Melempar satu balok kayu berukuran kecil, dan berniat memberi pukulan lain dengan balok yang berukuran sedang.

Pria itu, tanpa diduga bisa dengan mudah menghindari serangan Arvin. Dia meliukkan badannya ke bagian bawah untuk menghindari serangan pertama. Lalu, kembali meliuk ke samping dengan gerakan ingin menyerang. Pergerakannya sangat cepat sampai Arvin tidak sempat berkutik, ketika moncong senjata api sudah berada di depan wajahnya.

Keduanya saling tatap untuk waktu yang lumayan lama. Otak mereka masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Sampai akhirnya ....

"Arvin/Kino?" Mereka berucap berbarengan.

Menyadari kesalahpahaman yang ada, Kino langsung menurunkan senjatanya. Dia juga kembali memasukkannya ke dalam saku jaket bagian dalam. Arvin kembali mengambil sikap biasa. Ditodong senjata tepat di wajah, memang bukan hal mengenakan. Namun, bukan berarti dia harus meributkannya. Toh, dia juga yang pertama melakukan serangan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Kino.

Matanya menelisik penampilan Arvin. Serba hitam seperti dirinya.

"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu." Arvin menimpali dengan sedikit tidak ramah.

Tahu betul jika Unit II sangat mengincar kasus ini. Ditambah lagi, Kino ikut bagian dalam penangkapan Daryo. Mau tidak mau, diakui atau tidak, ini bisa menjadi kesempatan bagus bagi mereka untuk mendapat informasi sebanyak mungkin. Dan jika pihak itu masih menginginkan kasus ini, mereka benar-benar akan diuntungkan.

Ngomong-ngomong soal Unit II, Arvin jadi penasaran dengan reaksi Kanit Iva setelah tahu bahwa Unit I juga kecolongan. Orang yang mereka awasi, justru sama-sama tewas dalam hitungan jam setelah mendatangi kantor polisi.

Apa reaksi Kanit Iva sama meremehkan seperti yang Kanit Gerdian berikan padanya waktu itu? Atau merasa iba? Atau justru .... Ah, kenapa jadi melenceng seperti ini? Fokus!

"Orang yang kita tangkap dini hari tadi, apa dia benar pelakunya?"

Kino memperhatikan Arvin yang kembali sibuk dengan potongan balok kayu bakar. Entah apa yang penyidik itu lakukan, tapi cukup membuat Kino tertarik.

"Masih dalam tahap penyelidikan," jawab Arvin sekenanya.

"Tentu saja. Jika pun dia mengaku dengan mudah, barang bukti yang dibutuhkan masih kurang satu."

Kino berjalan ke sisi lain. Kakinya menyibak-nyibak rumput yang dia pijak. Jelas sekali tengah mencari sesuatu.

Arvin terdiam cukup lama. Mengamati setiap gerak dari penyidik Unit II itu, yang seharusnya tidak berada di sini sekarang. Dari gelagat Kino, dia bisa menebak tujuan penyidik itu kembali ke tempat ini hampir sama dengan dirinya.

Mencari senjata yang pelaku pakai untuk memotong tangan korban. Jika Daryo benar pelakunya, senjata itu pasti masih ada di sekitar sini. Tidak mungkin melayang berpindah tempat begitu saja.

"Aku tidak sempat bertanya tentang hal ini. Tapi, apa yang kau lakukan di sini dini hari tadi?"

Fakta bahwa keduanya tidak akrab, bahkan bisa dibilang masih asing, membuat Arvin sedikit waspada. Masih segar kejadian ketika Unit II menerobos ruangan Unit I dan meminta menyerahkan kasus ini. Sekarang entah kebetulan atau disengaja, Kino ambil bagian dalam penangkapan Daryo.

Hal itu tentu mencurigakan. Dia bahkan berani kembali ke TKP untuk memastikan banyak hal seperti dirinya. Itu berarti, Kanit Iva memberinya perintah.

"Tidak ada. Hanya lewat dan mendapati kalian sudah ada di sini, jadi aku penasaran dan mampir," jawab Kino.

Dia berjalan ke pojok kiri rumah, di mana terdapat tumpukan baju kotor. Dengan bantuan sepotong kayu, Kino menyibaknya satu per satu. Mulai dari gaun, celana panjang, sampai sebuah topeng serigala berwarna cokelat yang masih terlihat mulus.

"Seingatku, ini bukan jalan menuju rumahmu."

"Memang bukan. Aku pulang menemui seorang teman."

Nihil. Hanya tumpukan baju kotor dan mungkin sudah tak terpakai di sana. Kino tidak menemukan satu pun benda mencurigakan. Dia lalu beralih ke sudut lain. Menggedor pintu belakang yang terbuat dari kayu dilapisi seng. Pintu itu terkunci dari dalam.

"Apa kau berangkat melewati jalan ini juga?" Fokus Arvin teralih pada Kino sepenuhnya.

"Ya."

"Sekitar pukul berapa kau melewati tempat ini?"

Kino yang tengah sibuk dengan pintu rumah Indra Wijaya, kini mulai beralih menatap Arvin. Sebelah alisnya terangkat. Jelas sekali merasa heran.

"Kau mencurigaiku?" tanya Kino.

"Jawab saja!"

Kino menyeringai, "Aku tidak ingat."

Arvin mendesah kasar. Dia tidak suka seringai yang Kino tunjukkan. Alih-alih membuatnya merasa curiga, hal itu justru membuatnya ingin menghajar penyidik itu. Lagi pula, jika Kino merasa dicurigai olehnya, itu salah besar.

"Kau membawa mobil atau motor?"

"Apa itu penting?"

"Jawab saja!" Arvin kembali menekankan.

Sungguh, jika Kino adalah seorang pelaku kriminal, wajahnya pasti sudah babak belur ketika proses interogasi.

"Apa kau sedang menginterogasiku?" Kino berjalan mendekati Arvin. Matanya menatap dengan antusias.

"Tidak!"

Bersabar adalah satu cara untuk mengatasi orang seperti Kino. Sudah jelas.

"Ah." Kino mengangguk, "kau menemukan sebuah petunjuk?"

Arvin hanya mendesah pasrah. Di balik sifat menyebalkannya, ternyata Kino cepat memahami suasana juga. Jika sudah seperti ini, dia bisa apa? Mengorek info dari Kino sangatlah penting, tapi apa penyidik itu akan memberikannya dengan sukarela? Kino juga tidak tahu mengenai mobil yang Daryo sebut, tapi bukan berarti dia tidak akan mencari tahu, 'kan?

Meski mereka bisa bekerja sama dalam hal ini, atau sekadar bertukar informasi. Arvin tidak yakin Kanit Gerdian akan menyetujuinya. Pun Kanit Iva. Penyidik wanita itu dikenal yang paling galak dan keras kepala di jajaran Sat Reskrim.

Satu lagi, keduanya juga dikenal tidak akur dan selalu bersitegang, membuat anggota masing-masing unit selalu memilih untuk patuh. Jika Arvin dan Kino melakukan sesuatu yang kedua Kanit itu tidak sukai, bisa rumit urusannya.

"Apa kau berpapasan dengan kendaraan lain? Yang arahnya dari jalan ini?"

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Arvin menanyakan hal itu. Persetan dengan konsekuensinya nanti, dia hanya butuh informasi ini. Toh sekalipun Kino tahu, Kanit Gerdian tidak akan melepaskan kasus ini.

"Seingatku tidak ada." Kino tersenyum. Dia mendapatkan informasi itu.

Arvin mendesah entah untuk yang ke berapa kali. Jika Kino tidak berpapasan dengan kendaraan lain, kemungkinannya ada dua. Satu, Kino terlambat dan mobil itu sudah berbelok ke jalan lain. Dua, mobil yang Daryo maksud memang tidak pernah ada. Hanya satu cara untuk memastikan hal ini.

Arvin berlalu begitu saja. Dia seolah tidak peduli jika penyidik dari Unit II yang menemukan senjata itu.

Kino hanya menatap kepergian Arvin tanpa ada niat untuk menyusulnya. Dia bukan tidak tergiur dengan informasi mengenai mobil itu, tapi karena Kino cukup yakin jika kendaraan yang Arvin cari itu tidak ada. Karena jika ada, sudah pasti dialah orang pertama yang akan menjadi saksi.

Matanya beralih pada tumpukan balok kayu bakar yang tadinya acak-acakan, kini sudah tersusun rapi sesuai dengan ukuran masing-masing. Kino menatapnya dengan takjub. Jadi, sedari tadi Arvin merapikannya? Benar-benar membuat Kino geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan kelakuan penyidik Unit I itu.

Setelah memastikan tidak ada yang bisa dia temukan, Kino berjalan meninggalkan area rumah Indra Wijaya. Bertanya pada beberapa orang di sekitar yang dia temui, menjadi salah satu caranya untuk mendapat informasi. Entah itu mengenai korban, atau orang-orang yang pernah datang berkunjung.

Sementara Arvin, dia menelusuri jalan yang dilewati Kino tadi malam. Fokusnya hanya satu. Kamera pengawas. Cukup lama Arvin berjalan hingga sampai di persimpangan jalan. Senyumnya langsung merekah ketika mendapati satu kamera CCTV terpasang di sana.

Dengan bergegas, Arvin mendatangi ruang kendali dari kamera tersebut. Di sana, dia langsung disambut oleh dua orang penjaga dengan sebuah pertanyaan. Langsung saja Arvin menunjukkan tanda pengenalnya sebagai penyidik dan mengutarakan maksud dari kedatangannya.

Dengan ramah, kedua penjaga itu mempersilahkannya untuk duduk dan menunggu mereka memeriksa rekaman dini hari tadi. Pertama mobil dengan logo Jatanras yang lewat. Bisa jadi, itu mobil yang Kino bawa. Berselang lumayan lama, sebuah taksi melewati area itu dan kemudian mobil Kino kembali dari arah berlawanan.

Seringai di bibir Arvin terbentuk. Sebuah petunjuk. Lantas, dia meminta salinan dari video itu, dan mencatat nomor pelat satu-satunya taksi yang lewat. Setelahnya, memberi hormat dan meninggalkan tempat itu dengan perasaan bangga.

Nächstes Kapitel