"Bagaimana keadaan Qiandra?" Ezell baru saja keluar dari mobilnya tapi ia langsung menanyakan keadaan Qiandra pada Robert yang membukakan pintu mobil untuknya.
"Nona Qiandra baik-baik saja. Saat ini Nona sedang istirahat."
"Istirahat?"
"Ya."
"Kau membohongiku." Ezell segera melangkah meninggalkan Robert. Ia benar-benar hafal bagaimana wajah Robert ketika berbohong.
"Sial!" Robert memaki pelan, ia segera menyusul langkah Ezell. "Tuan, Nona sedang tidur. Dia butuh istirahat, jadi jangan menggaggunya."
"Semakin terlihat jelas jika kau mengatakan kebohongan!"
Robert ingin mencegah Ezell naik tapi yang ia lakukan adalah melangkah dengan cemas menuju ke kamar Qiandra.
Cklek.. Jantung Robert nyaris berhenti berdetak, ia memilih untuk menunggu di luar kamar. Ia tidak ingin masuk dan menyaksikan Ezell memarahi Qiandra. Robert sudah berusaha untuk melindungi Qiandra, dan ia tidak salah karena sudah berusaha.
Robert mengintip, ia memajukan kepalanya, harusnya sekarang Ezell marah-marah tapi saat ini senyap. Apa yang terjadi?
Syukurlah.. Robert menghela nafas lega. Di atas ranjang, Qiandra tengah tertidur pulas. Pelayan yang menjaga Qiandra berdiri 2 meter dari ranjang Qiandra. Karena tak ada keributan, Robert masuk ke dalam kamar Qiandra.
"Tetap berada disini. Jangan lengah memperhatikannya!" Ezell memberi perintah pada pelayan yang wajahnya terlihat sedikit takut. Semua orang yang mengenal Ezell memang berpikir Ezell menakutkan, tapi untuk pelayan yang sudah bekerja bertahun-tahun dengan Ezell, wajah takut tak terlihat di wajah mereka.
Ezell membalik tubuhnya, matanya bergerak memperhatikan sekeliling bersamaan dengan putaran tubuhnya. Matanya menemukan sesuatu yang tergeletak di dekat sofa. Ia tahu apa yang terjadi tapi ia memilih keluar dari kamar Qiandra dan berpikir seakan tak terjadi apapun disana.
Pintu tertutup, mata Qiandra terbuka.
"Ah, syukurlah. Aku tidak dapat hukuman lagi malam ini." Qiandra mengurut dadanya lega.
"Nona, sebaiknya anda benar-benar istirahat. Astaga, saya tidak membayangkan jika Tuan menghukum kami karena bermain kartu dengan anda."
Qiandra tertawa kecil, "Sekali-kali kalian harus berada di zona yang berbahaya, itu tadi menyenangkan, bukan?"
Pelayan itu tak tahu jika Qiandra memiliki sisi riang seperti ini, yang mereka tahu selama ini Qiandra lebih banyak diam dan terlihat serius.
"Baiklah, aku harus segera istirahat. Kaki dan tanganku mulai terasa nyeri lagi." Qiandra merapikan selimutnya, "Selamat malam, Flo."
"Malam, Nona."
Di ruang kerjanya, Ezell membuka laptopnya. Membuka sebuah aplikasi yang berikutnya muncul rekaman yang terjadi di kamar Qiandra saat ini. Ayolah, Ezell punya kamera pengintai di ruangan itu. Dia tidak perlu mengancam Robert untuk bicara, dia bisa melihat sendiri.
Ia memutar kejadian beberapa menit yang lalu, memundurkannya lagi ke menit sebelumnya. Ia berhenti, mengamati jalannya video rekaman itu.
"Wanita ini, benar-benar." Ezell menggelengkan kepalanya. Ia melihat bagaimana Qiandra memerintahkan pelayan untuk mengajak beberapa pelayan lain untuk bermain. Bahkan Robert juga ada disana. Dengan kaki dan tangannya yang di perban, Qiandra berjalan menuju ke arah sofa, duduk di atas karpet bulu, dan mengeluarkan kartu dari kotaknya.
"Lihatlah betapa mahirnya dia menyusun kartu. Mungkin profesinya selain wakil CEO dia juga pejudi handal." Ezell mengomentari tanpa ia sadari.
4 pelayannya berkumpul, permainan dimulai dengan Qiandra yang mengocok kartunya. Robert tak ikut bermain disana, dia lebih seperti bodyguard yang menjaga tempat perjudian kaum elite.
Putaran pertama sudah mulai, dan kekalahan di dapatkan oleh salah satu pelayan. Qiandra dengan senang hati memasang penjepit pakaian di telinga para pelayan. Ah, benar, Ezell melihat telinga pelayannya memerah, jadi karena kekalahan bermain.
Video itu terus berjalan, setiap kemenangan membuat Qiandra bersorak senang. Wajah dingin Qiandra yang sering Ezell lihat berganti dengan wajah ceria beserta tawanya yang indah. Sederhana sekali cara Qiandra tertawa bahagia, bermain dengan para pelayan saja sudah membuatnya tertawa seperti itu.
Tawa Ezell terlihat ketika permainan selesai, wajah panik Qiandra yang ia yakini karena kepulangannya begitu lucu. Wanita itu bahkan melangkah tanpa memikirkan kakinya yang sakit. Ia melangkah cepat ke ranjang, masuk ke selimut dan menutup mata.
"Baiklah, kali ini aku tidak akan menghukummu." Ezell menutup laptopnya, ia masih saja tersenyum karena wajah panik Qiandra.
Pintu ruangannya terbuka, wajahnya berubah kaku ketika melihat Robert di depan ruangannya.
"Sepertinya kau mulai tak setia, Robert."
"Maksud, Tuan?"
"Harusnya kau ikut bermain tadi, Robert. Terlihat menyenangkan bermain dengan 4 pelayan dan Qiandra."
"T-tuan." Robert mulai kedinginan. Dari kakinya hawa dingin naik hingga ke lehernya, mencekiknya hingga membuatnya sedikit pucat. "I-tu."
"Tidak apa-apa. Aku mengerti, menyenangkan bagimu berkumpul dengan wanita. Aku tahu sisi kewanitaanmu itu." Jelas saja itu sindiran pedas untuk Robert.
"Nona Qiandra masih sakit, saya hanya tidak tega melihatnya disiksa." Robert menundukan kepalanya. Memberikan akses bagi Ezell untuk memukul kepalanya.
"Auch!" Robert meringis sakit namun posisinya masih tak berubah. Ia sudah siap menerima hukuman. Paling buruk ia akan di pukuli hingga babak belur.
"Kau benar-benar berhati baik, Robert. Harusnya kau membuka tempat perlindungan wanita." Ezell melangkah melewati Robert.
Robert menatap punggung Ezell dengan tatapan heran, bosnya hanya memukulnya satu kali karena melindungi Qiandra. Padahal saat pertama kali ia mencoba membantu Qiandra, ia mendapatkan tembakan. Sesuatu sepertinya sudah berubah.
♥♥
Deanne meradang di tempatnya ketika melihat apa yang terjadi di depan matanya. Sebuah pemandangan yang begitu membuat mata dan hatinya terasa sangat sakit. Di depan sana, tepat 5 meter di depannya, sang suami tengah berciuman dengan wanita yang baru 15 menit lalu datang ke rumah mereka untuk melihat-lihat keadaan kediaman mereka. Bagaimana bisa ini terjadi tepat di kediaman mereka.
Menguatkan hati dan kakinya, Deane meneruskan langkah kakinya dan membuat suara langkahnya terdengar. Benar saja, Albert menjauh dari Stevy dan segera melihat ke arah Deane. Sementara Stevy, tangannya bergerak mengelus bibirnya lalu tersenyum pada Deane.
"Aku cukup menyukai rumah ini. Harusnya kemarin aku tidak membatalkan untuk melihat-lihat rumah ini."
"Jadi, Anda bisa menaikan harga beli rumah ini?"
Stevy tersenyum, "Tentu saja. Aku menyukainya. Aku akan membayar berapapun untuk apa yang aku sukai." Stevy bermaksud lain, ia melihat ke arah Deane. Menyiratkan bahwa yang ia sukai bukan hanya rumah itu tapi si pemilik rumah. Stevy tengah bermain-main dengan Deane. "Besok datang ke tempatku untuk menyelesaikan masalah pembayaran dan lainnya. Aku masih memiliki beberapa pekerjaan hari ini jadi aku harus pergi."
"Baiklah, terimakasih."
Stevy mengulurkan tangannya pada Albert lalu beralih ke Deane, "Senang rasanya apa yang aku sukai akan segera jadi milikku."
Deane memasang wajah dingin, ia tahu sekali wanita jenis apa Stevy ini.
"Sampai jumpa besok, Pak Albert." Stevy memberikan senyuman terbaiknya.
"Ya."
Stevy pergi. Meninggalkan Albert dan Deanne dengan wajahnya yang terlihat puas. Membuat wanita cemburu adalah hal yang paling ia kuasai.
"Apa yang kau lihat tadi tidak seperti yang kau pikirkan. Matanya kemasukan debu, aku hanya membantunya." Albert memberikan penjelasan yang memang benar kejadiannya seperti itu.
Deane tidak percaya pada Albert, dua hari lalu dia melihat noda lipstik di kemeja suaminya dan hari ini ia melihat suaminya berciuman. Ini tidak bisa ia biarkan. Ia harus melakukan sesuatu, tak akan ada yang bisa merebut miliknya.
"Aku percaya padamu, Sayang." Deane tak akan gegabah, dia tak akan menunjukan wajah cemburunya pada Albert. Dia tahu bahwa Alber tidak menyukai wanita yang cemburuan. Dan ia akan mempertahankan wajah malaikatnya itu setiap ia berada di depan Albert.
Albert bersyukur karena kepercayaan Deane, jika saja Deane menampakan ketidaksukaannya pada Stevy, dia pasti akan mundur. Tak apa jika rumahnya dibeli dengan harga murah asalkan Deane tak berpikir macam-macam.
♥♥
Ezell melihat Qiandra di dapur, dimana pelayan yang menjaga Qiandra? Kenapa Qiandra yang harusnya berada di atas ranjang malah berada di dapur.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Prang..
"Aish,,, Ezell!" Jantung Qiandra nyaris lepas. "Kenapa mengejutkan seperti itu! Mau membunuhku karena jantungan, hah!" Oceh Qiandra kesal.
"Dimana pelayan, kenapa kau ada disini?"
"Kenapa? Muak melihatku?"
"Kau mungkin saja jatuh dari tangga lagi, bodoh!"
Qiandra tersenyum, rasa terkejutnya tadi hilang begitu saja, "Terimakasih karena mencemaskanku."
"Kepalamu terbentur keras, kau tidak bisa membedakan mana cemas dan mana marah!"
"Aku ingin minum. Flo tadi sedang ke kamar mandi. Dia tidak tahu aku disini."
Ezell mendengus, ia melihat ke pecahan yang berserakan di dekat Qiandra. Kakinya melangkah mendekat ke Qiandra, ia menggendong Qiandra dan mendudukan wanita itu di atas kursi yang ada di pantry. Ezell kembali ke lemari pendingin, mengambilkan air untuk Qiandra.
Qiandra melihat Flo melangkah, ia segera menggerakan tangannya mengusir Flo untuk menjauh dari area itu. Saat ini Ezell tengah baik padanya, ia harus menggunakan kesempatan ini agar bisa menembus dinding tinggi yang Ezell bangun padanya.
"Habiskan ini!" Ezell memberikan segelas air pada Qiandra.
"Tanganku sakit."
"Tadi kau bisa menggenggam dengan baik, Qiandra. Jangan main-main!"
"Sakitnya baru datang sekarang."
Ezell mengangkat tangannya, ia memegang gelas dan membiarkan Qiandra minum.
"Ah, leganya." Qiandra bersikap seakan dia tidak minum selama satu minggu.
"Apa lagi yang kau mau?"
Qiandra nampak berpikir sejenak, "Tidak ada."
Ezell kembali meraih tubuh Qiandra, menggendong wanita itu dan membawanya kembali ke kamar Qiandra.
Qiandra menyukai posisi ini, benar-benar menyukai ketika Ezell yang kejam mau menggendongnya.
"Terimakasih." Qiandra bersuara tulus.
"Aku bisa menjatuhkanmu dari tangga, Qiandra. Jangan berterimakasih dulu sebelum kau tahu kemana arah aku membawamu!"
"Aku tahu kau tidak akan melakukan itu."
Ezell tak menjawab kata-kata Qiandra, dia memang tidak akan melakukan itu. Dia sudah benar-benar sadar. Qiandra sudah cukup menerima penyiksaan darinya, kemarin ia juga menerima kabar dari seseorang yang menjaga makam Elizabeth. Ia cukup berpikir bahwa Qiandra setidaknya memiliki kesadaran meskipun itu terlambat. Tapi bagi Ezell, terlambat untuk Qiandra lebih baik dari pada tidak sama sekali. Mungkin lain cerita jika yang mendatangi makam ibunya adalah Deane, ia tak akan mengatakan terlambat lebih baik. Sudah cukup waktu bagi Ezell untuk memberikan kesempatan bagi Deane untuk menyesali tapi wanita itu tak kunjung sadar.
Pintu kamar Qiandra terbuka, Ezell melangkah ke ranjang kemudian merebahkan Qiandra dengan hati-hati.
"Kau benar-benar pria yang kuat, Ezell. Aku suka sekali tangan kokohmu." Qiandra mulai tak memiliki batasan untuk bicara.
Ezell menatap Qian dingin, "Sepertinya kau tidak memanggilku kakak lagi, sudah menyerah menegaskan persaudaraan antara kau dan aku?"
"Karena kau memang bukan kakakku. Kita tidak lahir dari ayah atau ibu yang sama. Memanggilmu 'kak' membuat jarak yang sangat jauh. Jadi, aku memutuskan untuk memanggil namamu, jadi kita bisa bersama sebagai Ezell dan Qiandra, bukan sebagai kakak dan adik tiri yang dibenci. Aku milikmu, kan?" Qiandra menampilkan senyuman polosnya.
"Baguslah jika kau menyadari itu."
"Bisakah kau memperlakukan aku sebagai milikmu, bukan sebagai adik tirimu yang kau benci?" Qiandra mencoba menyentuh Ezell semakin jauh. Baik, lupakan saja batasan bahwa mereka adalah saudara tiri. Toh tak ada darah yang mengalir di antara mereka.
Ezell menarik selimut untuk menutupi tubuh Qiandra, "Aku tidak pernah memperlakukan milikku dengan istimewa, Qiandra." Setelah mengatakan itu ia membalik tubuhnya dan meninggalkan Qiandra.
"Aku tidak pernah ingin diistimewakan, Ezell. Aku hanya ingin sedikit lebih dekat denganmu." Qiandra menghela nafas pelan.
Ezell masuk ke dalam ruang kerjanya, dibandingkan dengan kamarnya, ia jauh lebih suka ruang kerjanya namun daripada ruang kerjanya dia jauh lebih suka ruang latihan. Hanya saja dia sudah berlatih beberapa jam lalu.
"Trik apa yang coba kau mainkan, Qiandra? Kau tidak akan berhasil menghentikan aku menyiksa ibumu sampai tewas dengan caramu seperti ini. Kau hanya akan mendapatkan luka yang lebih dalam jika kau terus memaksa untuk menyentuh hidupku lebih jauh." Ezell mungkin tak akan melukai Qiandra secara fisik lagi, tapi dia pasti akan menyakiti Qiandra secara batin karena jelas dia akan menyengsarakan Deane hingga tewas. Dan ketika itu terjadi maka Qiandra adalah orang yang akan terluka.
tbc