webnovel

Kecemasan

Kecemasan

"Ada apa dengan Zio, kenapa dia berlari keluar tanpa mengenakan pakaian?" Mommy Kisya langsung berjalan untuk menghampiri sang buah hati.

"Zio Sayang mau kemana, Nak?" tanya Mommy Kisya kepada putra bungsunya.

"Mommy?" Zio menoleh kearah sang Mommy.

"Mau kemana sayangnya Mommy?"

"Zio ada keperluan Mom, Zio mau pergi dulu sebentar." Pria tampan itu berkata dengan harapan sang Mommy mau mengijinkan dia pergi.

"Tapi tidak begini juga kan, Sayang?" Kisya terkekeh.

"Kenapa Mom, ada apa?" Zio merasa sangat kebingungan, bisa-bisanya sang Mommy menertawakan dirinya tanpa alasan.

"Lihatlah dirimu Sayang, rambut berantakan, dan hanya mengenakan celana pendek tanpa kaos." Wanita paruh baya itu masih terkekeh dengan sikap sang buah hati. Ketaran banget kalau Zio memang baru bangun tidur.

"Apa?" Zio tersadar dengan penampilannya. Dia sungguh berantakan dan sangat memalukan. Mimpinya tentang Asya telah membangunkan tidur lelapnya. Mimpi buruk itu membuatnya cemas dan resah. Sehingga Zio ingin segera menemui Asya tanpa peduli penampilannya yang sumberawut.

"Mau menemui seorang gadis harusnya berpenampilan rapih dan wangi, bukan seperti ini, Sayang." Kisya tersenyum manis.

"Iya Mom, terima kasih telah mengingatkan Zio ya," Zio tersenyum manis lalu kembali ke kamarnya. Dan langsung mengenakan pakaiannya untuk segera pergi ke tempat Asya berada.

Mimpinya begitu menyeramkan dan seolah semua itu terasa nyata. Karena itulah pada saat dia terbangun dari tidurnya, Zio langsung berlari untuk menemui wanita tersebut. Saat ini pria itu sudah tampan dan wangi, Zio meminta Ijin kepada sang Mommy untuk pergi menemui Asya. Dan Mommy Kisya pun setuju.

Mommy Kisya tidak pernah mengekang buah hatinya untuk pergi kemana pun. Wanita paruh baya itu begitu sayang kepada anak-anaknya dan tidak pernah otoriter. Yang penting setiap hari minggu anak-anaknya berkumpul walau hanya beberapa jam saja.

Setelah mendapatkan Ijin dari sang Mommy, akhirnya Zio dengan segera berangkat dengan sepeda motor kesayangannya. Pria itu melajukan sepeda motonya dengan kecepan penuh untuk menuju ke tempat balapannya Asya dan Reyvan.

Sesampainya di sana, benar saja. Telah terjadi sesuatu hal yang tidak dia bayangkan sama sekali. Ternyata Asya kecelakaan dan kini sudah di bawa ke Rumah Sakit oleh teman-temannya. Zio merasa sangat gelisah dan ketakutan. Pria itu takut terjadi sesuatu hal kepada sahabatnya tersebut.

Pasalnya Asya adalah wanita yang selama ini sudah menjadi teman curhatnya.

"Mana Asya? Asya di bawa kemana?" tanya Zio dengan kecemasannya.

"Sudah di bawa ke Rumah Sakit, kamu tenang aja Zio," kata Anton kepada temannya itu.

"Apa yang terjadi? Ceritakan semuanya," kata Zio dengan rasa tegang yang sudah membuat keringatnya mengalir deras.

"Tadi remnya tiba-tiba blong, Asya tidak bisa menginjak rem. Dan akhirnya dia oleng dan terjatuh," kata Anton.

"Cuma jatuh kan, tidak terlalu parah?" Zio merasa sangat gelisah. Pria itu takut Asya kenapa-napa.

"Aku pun tidak tahu karena tadi langsung di bawa oleh Reyvan dan di bawa ke Rumah Sakit," sahut Anton.

"Baiklah Rumah Sakit apa?"

"Rumah Sakit, aduh aku sendiri tidak tahu." Anton berkata sambil menggelengkan kepalanya.

"Baiklah paling Rumah Sakit terdekatkan ya, ayo kita kesana." kata Zio bergegas memacu kendaraannya dengan cepat agar bisa sampai dan segera melihat keadaan Asya sang sahabat.

Akhirnya pria itu sudah sampai di sebuah Rumah Sakit besar yang tidak jauh dari tempat kejadian. Zio berlari menuju ke ruang instalasi gawat darurat, ternyata di sana tidak ada Asya. Zio merasa frustasi, sebenarnya berada di mana Asya saat ini?

"Suster, adakah korban kecelakaan di rawat di rumah sakit ini?" tanya Zio kepada salah satu Perawat di sana.

"Ada tadi sudah masuk ruang operasi karena kepadanya pecah," kata Suster tersebut.

"Pecah?" Zio terkejut dengan ucapan itu. Dia tidak menyangka bahwa nasib Asya begitu tragis. Zio merasa sangat bersalah karena tidak bisa menemani Asya balapan.

"Lukanya begitu besar lukanya begitu besar. Berdoa saja semoga operasinya sukses dan pasien segera siuman," kata Perawat itu dengan senyum miringnya.

Zio kini hanya bisa terdiam karena rasa cemas dan khawatir telah meremukkan dadanya. Memnuat dia benar-benar tak bisa mengucapkan apapun lagi.

"Asya semoga kamu kuat," lirih Zio di dasar hatinya. Tidak tahu lagi apa yang harus dia katakana saat ini, dia sangat malas untuk berbicara pada siapa pun lagi.

Pria itu terududuk di ruang tunggu ruang operasi, sampai akhirnya seseorang menyapanya.

"Zio sedang apa kamu di sini?" tanya seorang gadis yang kini sudah duduk di kursi dorong.

"Asya, kamu selamat?" Zio berkata dengan wajah penuh dengan kebahagiaan. Dengan segera Zio menghampiri Asya dan memeluk gadis itu.

"Kamu kenapa?" Asya terkekeh saat Zio memeluknya.

"Aku takut terjadi sesuatu hal kepadamu, kamu baik-baik saja kan?" tanya Zio sambil melepaskan pelukkannya. Dan menatap Asya dengan senyuman jahilnya.

"Terima kasih, ya sudah mengkhawatirkan aku, Zio." Asya tersenyum manis, merasa senang melihat Zio seperti itu.

"Aku sangat cemas Asya. Apalagi tadi Suster mengatakan bahwa kepalamu pecah, darahku seolah berhenti mengalir saat itu," ucap Zio.

"Siapa yang mengatakan kepalaku pecah? Aku baik-baik aja," kata Asya perlahan.

"Suster yang mengatakannya, katanya yang di dalam itu kamu Sya, jadi bagaimana aku tidak cemas coba?" Zio menorehkan senyumnya. Dia bisa tersenyum dengan manis karena dia merasa begitu lega Asya ternyata baik-baik saja.

"Aku baik-baik saja, tetapi kakiku," lirih Asya dengan wajah sedihnya.

"Patah?" Zio mengerutkan dahinya.

"Hu um, sakit ," lirih Asya.

"Dokter tadi bilang apa?" Zio kembali cemas.

"Aku tidak bisa balap lagi untuk beberapa waktu," kata Asya dengan senyuman sedihnya.

"Kamu tidak perlu balapan lagi, kalau perlu kamu pensiun saja," sahut Zio.

"Ah separah itu, aku pasti bisa sembuh lagi ko, tenang saja ya," kata Asya dengan senyuman manisnya.

"Iya kamu harus bisa sembuh, karena kalau kamu tidak sembuh kamu akan sulit mendapatkan jodoh, dengan kakimu yang seperti ini." Zio terkekeh. Pria itu mengejek dengan tujuan agar Asya bersemangat kembali, dan tidak menyerah.

"Kalau aku tidak sembuh, dan sulit untuk mendapatkan jodoh, maka kamu yang bertugas untuk menikahiku," kekeh Asya.

"Ah itu sebuah hukuman berat." Zio menggelengkan kepalanya.

"Itu harus Zio," sekali lagian Asya terkekeh.

"Tidak, aku tidak mau." Zio kembali tertawa.

"Pokoknya aku tidak mau tahu." Asya memanyunkan mulutnya.

"Tenang saja masih ada Tito." Zio kembali tersenyum dengan ejekannya.

Saat mereka sedang tertawa tiba-tiba saja seseorang berdehem.

"Ehemm."

Suara itu sontak membuat Asya dan Zio merasa sangat terkejut. Kedua manusia itu kini serempak melihat kearah suara. Zio dan Asya saling bertatapan merasa tidak senang dengan kedatangan orang tersebut.

Nächstes Kapitel