"Edward? Untuk apa kau membunuhnya?" tanya Siane yang sekarat menahan sakit akibat racun yang mulai menjalar ke tubuhnya.
Edward menoleh.
"Ia mencelakai orang yang kucintai, apa aku harus diam saja?"
Nafas Siane semakin berat. Sementara Kartika yang berusaha melawan dan merangkak. Tubuhnya seolah mengatakan ia tidak sudi dan tidak rela mati.
"Ming" kata Siane terbata-bata. "Bawa aku masuk, biarakan Edward yang menyelesaikan sisanya"
Ming segera memanggil sesoorang mendekat untuk membantu Yang Mulia Permaisuri berjalan. Baru dua langkah, ia terjatuh. Padangannya semakin kabur. Ia jatuh tak sadarkan diri.
"Ha ha ha ha ha ha ha" tawa Kartika diujung nyawanya.
"Lihat, dia mati! Dia mati! Ha ha ha ha ha ha, aku akan menjadi Ratu! Aku akan menjadri Ra.." dan hilanglah nyawa Kartika dengan satu tusukan pedang lain di pungungnya.
"Sudah mau mati, masih saja berisik!"
Edward segera membuang pedang dan mendekati tubuh Siane.
"Joel, bunuh semua orang yang terlibat dalam aksi ini" kata Edward sambil mengangkat tubuh Siane.
"Hamba mengerti Yang Mulia, serahkan pada hamba"
Edward dengan semua amarah mengangkat wanita yang ia cintai dan membaringkannya di tempat tidur. Ming segera memeriksanya.
"Ada, nafasnya masih ada tetapi sangat lemah. Kita harus menemukan penawarnya jika tidak, kita akan kehilangan Yang Mulia Permaisuri"
Edward berfikir dengan cepat.
"Kau, siapa namamu?" tanya Edward pada salah seorang dayang-dayang yang ada di kamar. Dayang-dayang itu tidak mengerti apa yang Edward katakan, Ming segera menerjemahkannya.
"Kumpulkan semua orang dari Artha Pura secepatnya. Semua tamu kerajaan minta mereka berkumpul!"
Dayang-dayang itu mengerti. Ia segera pergi melaksanakan perintahnya. Dengan bantuan dari panglima besar Ken Asa, semua hal yang diperintahkan segera dilakukan. Tak lupa, Edward juga memanggil George yang adalah seorang missionaris.
"Yang Mulia, apa yang harus saya lakukan?" tanya George.
"Berdoalah untuknya." Kata Edward sambil menunjuk kepada Siane yang tergeletak lemas. Ming berusaha menolong Siane, ia dibantu dengan seorang tabib dari Tawang.
Tiga pulu meniht, sesuatu tidak terjadi. Bahkan tubuh Siane semakin dingin.
"Joel, apa semua sudah beres?" tanya Edward.
"Yang Mulia, aku sudah membereskan semuanya, anda bisa lihat semua orang yang berasal dari rombongan Artha Pura berlulut di depan"
Edward semakin gelisah. Kegelisahannya membuat pria ini menggila. Ia mengambil pedang milik Joel dan berjalan keluar.
"Oh, Tuhan ini tidak baik!" seru George yang seorang missionaris.
"Yang Mulia akan membunuh orang lagi. Tuhan ampunilah Raja kami" pintanya dalam doa.
Joel yang mendengar George berdoa hanya menggeleng. Bagi Joel, George seperti seorang yang sedang bercanda. Joel adalah seorang berdarah dingin. Baginya membunuh atau dibunuh hanya tinggal menungu waktu dan saat yang tepat. Tuhan, adalah sesosok abstrak yang tak pernah ia mengerti.
"Tristan, terjemahkan setiap kataku pada mereka dengan jelas dan gamblang. Apa kau merngerti?"
Tristan, yang merupakan ahli bahasa mengangguk.
"Permaisuri kalian mencoba membunuh Permaisuri Tawang dengan racun. Maka siapa saja, yang terlibat dan tidak mengakui perbuatannya akan kami eksekusi ditempat. Katakan! Siapa yang memberinya racun atau memberinya ide busuk ini!" teriak Edward yang diterjemahkan oleh Tristan.
Semua orang diam tanpa jawaban.
"Baiklah, siapa yang diantara kalian bisa membuat racun?"
Semua masih diam.
"Tristan, apa kau menerjemahkan hal yang benar?"
Tristan mendadak berkeringat dingin.
"Jika tidak ada yang mengakui telah membantu Kartika membunuh Yang Mulia Ratu. Maka, semua akan dieksekusi dengan hukuman pancung saat ini juga. Entah kalian bersalah atau tidak bersalah. Dan tentunya, ini juga berlaku kepada smeua keluarga kalian hingga keturunan ke tujuh!"
Semua orang panik. Ada yang menangis, ada pula yang berlutut memohon ampun hingga ke tanah. Suasana berubah menjadi gaduh. Ditengah kegaduhan Ming keluar.
"Kita kehilangan Yang Mulia Ratu" bisikanya pada Edward.
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Menyambar tepat ditubuh Edward. Murkanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Murka itu, tidak hanya muncul di hati Edwrad, tetapi juga di hati Ming. Ia kesal dan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa melidungi orang yang paling ia kagumi, Siane. Orang yang selalu membantunya, kini sudah tidak ada lagi. Semua sudah terjadi.
"Apa yang harus aku lakukan?" teriak Edwrad membanting pedang ke tanah.
Ming perlahan berjalan menunduk dengan perkabungan yang dalam.
"Terserah anda Yang Mulia Raja, lakukanlah apa yang menurut anda benar" jawab Ming dengan wajah seperti orang mati.
Tristan yang mendengar percakapan itu terjatuh ke tanah lemas.
~Habis sudah, mereka semua akan mati. Batin Tristan~
"Seret semua tawanan yang berhubungan dengan Artha Pura Kencan Kemari. Persiapkan mereka untuk dikubur hidup-hidup menemani permaisuri!"
"Yang Mulia mohon luputkan kami, kami tidak bersalah. Kami memang para abdi dalem, namun kami tidak bersalah terhadap nyawa baginda Permaisuri" teriak seorang dayang yang tengah hamil.
"Tidak bersalah! Jika kau orang benar maka, harusnya kau menasehati tuanmu!"
Isak tangis meronta menggema ke seluruh penjuru istana malam itu. Para prajurit yang ada menyeret semua tahanan yang ada di bawah tanah untuk menghadap ke Raja Edward. Semua dikumpulkan. Edward yang benar-benar kesal meminta Joel membawa Rendra ke hadapannya.
Saat Rendra terjatuh dihadapan Edward, Raja itu menyuruh Joel melemparkan mayat Kartika ke depan Rendra.
"Kau sudah puas?" tanya Edwrad dengan pedang yang siap menikam Rendra.
"Kau adalah seorang raja bodoh yang bahkan tidak sanggup membuat istrimu tunduk dibawah kakimu!"
Melihat mayat Kartika yang mengenaskan Rendra hanya bisa menunduk.
"Wanita itu membuh Siane dan aku ingin membunuh siapapun yang berhubunga dengan Artha Pura Kencan malam ini! Baik mereka terlibat atau tidak!"
Hati Rendra hancur mendengar orang yang dicintainya meninggal ditangan seorang wanita yang bahkan ia tidak cintai sama sekali.
~Wanita bodoh, bukankah aku menyuruhmu pergi. Kau malah membelaku dengan cara seperti ini. Lihat dirimu, kau mati mengenaskan.~
"Izinkan aku melihatnya untuk yang terkahir kalinya" pinta Rendra pada Edward.
"Melihatnya? Tentu kau akan melihatnya." Kata Edwrd. "Pengawal siapakan pemakaman untuk semua orang. Kubur hidup-hidup sebelum menguburkan Yang Mulia Permasiuri. Sebelum matahari terbit, aku ingin mereka semua sudah menemani yang Mulia Ke alam baka! Untuk Yang Mulia Raja Redra, akan di makamkan hidup-hidup yang pertama!"
Rendra yang mendengar hal itu tak bisa berbuat apa-apa. Seandainya saja, ia tidak gegabah dan melakukan penyerangan maka semua ini tentu tidak akan terjadi. Kini semua sedah terjadi, nasi sudah menjadi bubur.
Malam itu juga mereka akan dikuburkan hidup-hidup. Tangisan terdengar ke seluruh pelosok negeri. Raja Edward resmi menjajah Tawang dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.
~Tamat~
Terima kasih sudah membaca sampai akhir kisah ini.
Kisah ini sudah berakhir di season yang pertama. Cerita ini masih akan ada kelanjutannya di season ke 2, dengan Judul "Ratu Tanah Jawa"
Jangan lupa untuk terus membaca lanjutan kisahnya.
Berikan dukungan kalian, dengan memberikan komentar atau pun masukan untuk kisah-kisah berikutnya.
Untuk kisah-kisah lain juga bisa kalian baca yang tentunya tidak kalah seru.
Terima kasih