Aku adalah serang Raja, apa yang tidak bisa aku dapatkan di dunia ini? Tidak ada. Prinsip dalam hidupku sangatlah jelas. Mendapatkan semua yang aku inginkan, atau tak seorang pun mendapatkan hal itu. Siane Yang, jika kau mengira dengan mengancam akan membunuh permaisuri akan membuatku melepaskanmu, maka aku katakan dengan lantang sekali lagi.
"Jika kau memang ingin menyingkirkan Permaisuri Kerajaan Artha Pura, aku tak keberatan sama sekali."
Wanita itu terlihat bingung dan tak mengeluarkan satu kata apapun. Ia mungkin tak terlihat berekspresi, tapi percayalah, ia sedang dalam kebingungan saat ini.
Maka, aku mendekatinya. Dan mulai bicara lagi.
"Kau membenci Permaisuri?", tanyanya mencoba menjebakku.
"Apa ini? Kau mencoba menjebakku?, tanya ku padanya.
"Yang Mulia, Ku dengar Permaisuri adalah sosok ibu negara yang akan diangkat dan diberikan jabatan karena Kaisar menginginkan hal tersebut. Jika kau membiarakan akau membunuh Permaisuri, maka aku bisa menyimpulkan, dia adalah seorang yang sudah sangat merepotkanmu."
Wanita cerdas, ia memang layak dipertahankan karena kecerdasannya.
"Wahai, Selir Yang Kucintai, kau harus menjaga mulutmu dengan baik. Tapi sepertinya kecerdasanmu tidak pantas dihargai hanya sebagai selir. Masuklah istanaku, dan jadilah Permaisuri. Jika kau memang merasa perlu menyingkirkan mereka semua yang menghalangi jalanmu, aku siap menjadi pendukungmu. Asalkan kau bahagia, aku akan berbahagia."
Aku memelukanya dari berlakang, ia terlihat tak bisa melawan.
"Bahkan, jika kau memang menginginkan tahta, aku tak akan keberatan memberikannya padamu. Hanya saja, ikutlah denganku. Atau…"
"Atau apa?"
"Aku akan menyerahkanmu pada para pemburu hantu dan pemburu hadiah." Kataku lirih. Aku mendekatkan bibirku untuk berbisik kepadanya.
"Kau tahu, hari ini Kaisar mengumumkan, bagi siapa saja tak peduli dari mana asal mereka, asal bisa membawamu atau membunuhmu. Mereka akan menjadi penerus tahta kerajaan. Ayahmu memasang dan menyebar wajahmu di mana-mana. Aku tahu, kau memang mahluk abadi saat ini, tapi bukan berarti tidak bisa merasakan sakit bukan? Bahkan, kurasa, dengan semua yang ayahmu tawarkan, kau harus mulai hati-hati pada orang sekitarmu."
Wanita itu menoleh tepat kearahku. Tatapan matanya sangat tajam dan terlihat indah bagikan malam.
"Apa kau mencoba mengancamku?"
"Yang Mulia, aku mencoba melindungimu." Aku melepaskan Siane perlahan.
"Sudahlah, kita akan berangkat besuk pagi. Yang Mulia, sebaiknya beristirahat. Setelah tiba di istanaku, apa Yang Mulia ingin lakukan, aku tidak akan ikut campur maupun melarangmu. Kau hanya harus ingat, mulai sekarang, Yang Mulia Putri adalah Selirku. Aku tak sabar menantikan Anda menjadi Permaisuri dan membuat kerjaan kita semakin kuat. Selamat malam"
"Tunggu, bahkan aku tak berkata apapun." jawabnya. Aku sengaja tak menoleh dan membiarkannya.
Menghadapi wanita sepertinya, tidaklah semudah mendapatkan putri anggun dan jelita yang akan cocok dengan pelajaran menari dan menulis saja. Harus dengan taktik khusus dan membuatnya tak bisa melawan.
"Oh kau di sini rupanya", kataku pada Jenderal Huo yang dari tadi menguping.
"Kau pasti sudah mendengar semua dengan baik, mulai sekarang. Pastikan, tak ada orang lain yang mendekatinya selain aku. Satu lagi, jika kau biarkan seseorang menghancurkannya, aku adalah orang pertama yang akan menghacurkan hidupmu."
"Kau!", katanya kesal.
"Jenderal Huo, aku adalah suaminya sekarang, jaga sikapmu saat bicara padaku! Atau aku akan membunuhmu!"
"Membunuhku?" jawabnya. "Akulah yang akan membunuh Anda dengan mudah!", gertaknya.
Ia mengeluarkan pedangnya dan menghunuskannya.
"Hentikan, tidak ada gunanya membunuhnya."
Maka dengan kesal, Huo mengembalikan pedangnya dan menuruti perintah Siane. Bagus, bahkan Siane pun tahu siapa dia dan posisinya.
Setelah perdebatan panjang itu, aku kembali ke kamarku. Aku membuka catatan yang baru saja aku dapatkan. Ini tidak baik. Akan sangat sulit untuk keluar dari negeri ini.
"Hei, katakan padaku. Apa orang-orang istana menyadari keberadaan kita?"
"Tidak, Yang Mulia"
Ro, keluar dari persembunyiannya. Ia memakai pakaian serba hitam. Ia bersembunyi bagaikan banyakan selama ini.
"Baguslah. Itu artinya, harusnya malam ini tidak akan ada yang bisa membahayakan Siane bukan?"
Ro, diam dan terlihat tak yakin.
"Yang Mulia, Ku dengar hadiah itu cukup gila. Saya takut, seseorang akan menghianti Tuan Putri dan mencoba membunuhnya. Mengingat secara tidak langsung, Yang Mulia Putri memiliki banyak sekali musuh. Di tambah lagi, berita mengenai Yang Mulia Tuanku Raja lari bersama Putri Siane sudah tersebar, ada beberpa orang kita yang keberatan akan hal …"
Aku tak ingin Ro melanjutkan ucapannya. Maka aku menyuruhnya diam.
"Tidak setuju? Bagaimana mungkin. Jika orang-orang kita ada yang tak setuju akan keputusanku, akau akan membunuh mereka!"
"Yang Mulia, sejak awal tujuan kita kemari bukan untuk mendapatkan seorang selir baru. Kita ke sini untuk"
"Jika kau masih ingin hidup, diam dan pergilah." Ancamku.
"Baik Yang Mulia", katanya lalau menghilang bersama bayangan.
Tak kusangka, berita aku lari bersama Siane sudah terdengar ketelinga beberpa orang. Ini pasti karena Kaisar itu memberitahu semua orang. Ia juga mengadakan permusuhan dengan kerajaan Artha Pura karena kejadian ini. Apa aku sebaiknya membunuh dan mengambil kekuasannya?
Hmmm, ini akan sangat merepotkan. Aku kelur dari kamar, dan berniat pergi mencari angin.
"Yang Mulia" sapa seorang pelayan memberi hormat dan segera pergi. Ia membawa air panas dan menuju kamar Siane. Apa ia akan mandi? Selarut ini?
Prang!!!!
Aku mendengar suara barang terjatuh. Apa itu? Pikirku penasaran. Suaranya dari kamar Siane, apa ia menggila dan memukul pelayan tadi sebagai bentuk pelampiasan amarahnya?
Tunggu? Yang Mulia? Pelayan itu memanggilku Yang Mulia? Mengapa? Harusnya tak ada yang menyadari siapa aku bukan, kecuali.
Dengan tergesa, aku membuka kamar Siane.
"Ha ha ha , aku, aku akan menjadi Permaisuri setelah ini!", kata pelayan itu. Ia membabi buta menusukkan pedangnya ke tubuh Siane.
Sial! Kemana Huo?
"Mati! Mati! Mati!" teriaknya sambil mengoyak Siane.
"Cukup!" , aku menendang dan membuat pelayan itu tersungkur. Kepalanya terbentur ke dinding. Aku segera mendatangi Siane yang penuh darah dan luka.
"Apa yang terjadi?", aku berusaha mengangkat tubuhnya dan.
"Mati! Mati! Mati ayo bantu aku membunuhnya Yang Mulia! Kau akan mendapatkan tahka kerajaan!"
Aku tiba-tiba emosi dan menampar wanita gila yang sudah bercucran darah kepalanya. Aku meletakkan Siane ke lantai dan mengampiri wanita itu.
"Kau! Siapa Kau? Mengapa kau ingin membunuhnya!", tanyaku sambil menendangnya berkali-kali.
Bagaikan kesetanan, wanita ini tidak takut mati.
"Yang Mulia, jika kita membunuhnya. Kita akan menjadi Kaisar berikutnya! Ayo, bantu aku membunhunya. Aku…"
Aku tak tahan lagi dan langsung membunuhnya dengan pisau kecil yang aku sembunyikan. Aku tepat mengenai jantungnya. Saat ia tak bergerak, aku kembali pada Siane.
Ia terlihat lemas.
"Apa yang terjadi?", tanyaku padanya yang mulai sadar.
Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya ke ranjang, darahnya sangat banyak dan membanjiri lantai.
"Kemana Huo?", tanyaku. Ia menggeleng. Ia seperti tak memiliki tenaga.
"Aku akan memanggil seseorang untuk mengobatimu." Kataku beranjak. Diluar dugaan ia menarikku. Ia terlihat ingin bicara namun tak sanggup. Perlahan aku kembali padanya.
"Ia, ia membunuh Huo!"