Pagi itu terasa kelam bagi kami. Pikiran kami terasa buntu. Sementara Kak Yanto menyiapkan sarapan pada pagi itu, aku dan ibu hanya bisa menatap meja makan dengan mata nanar. Mata ibu sembab dan badannya terasa lumpuh. Diantara kami bertiga, mungkin hanya Kak Yanto yang masih bisa bergerak luwes untuk menyambut hari sementara kami hanya bisa terdiam seperti boneka. Otak kami masih mencoba untuk menyangkal kenyataan yang terjadi kemarin.
Perlahan, Kak Yanto menaruh sarapan kami di atas meja. Ia bilang kalau bengkelnya libur hari itu jadi ia bisa menemani kami hari ini. Aku hanya mengangguk pelan tapi pikiranku entah ada di mana.
Mendadak, sebuah ide terlintas di kepalaku.
"Kak, tolong temani aku ke Pasar Dukuh sebentar ya?" kataku tiba-tiba.
Kening Kak Yanto langsung berkerut saat mendengar permintaan anehku itu.
"Buat apa?" tanyanya bingung. Setaunya, Pasar Dukuh sudah habis terbakar kemarin. Pasti tidak ada apa-apa yang akan tersisa kecuali puing arang dan debu abu di sana.
Tapi aku bersikeras. Akhirnya, Kak Yanto hanya bisa mengalah untuk mengikuti keinginan nekatku asalkan ia harus ikut menemaniku ke sana. Aku langsung mengangguk setuju.
Tak lama, kami berdua sudah melaju diatas sepeda motor Kak Yanto. Dalam waktu singkat, kami sudah sampai di Pasar Dukuh. Tidak banyak orang yang ada di sana, tapi kalau sudah semakin siang, aku yakin akan banyak orang yang datang ke lokasi kebakaran ini. Para pedagang Pasar Dukuh yang akan mencoba sebisa mungkin untuk mencari dan mengais sisa-sisa dari kios mereka yang terbakar kemarin. Sekecil apapun asa yang ada, pasti akan kami perjuangkan. Seperti aku.
Tapi, pemandangan berikutnya yang aku lihat, sungguh membuat hatiku tercekat.
Di sana, sesosok tubuh kurus sedang berdiri sambil setengah dipandu oleh seorang wanita tua.
Keningku berkerut saat melihat kedua sosok tersebut sambil berjalan mendekati mereka.
"Tante Lintang…?" sapaku dengan nada ragu.
Wanita yang kusebut namanya tidak bereaksi sama sekali. Matanya hanya terpaku pada lokasi kebakaran yang ada di hadapannya. Tubuh gempalnya sudah mengalami penyusutan yang luar biasa selama sebulan setengah ini sehingga aku hampir tidak bisa mengenalinya.
Aku bingung dan perlahan berjalan makin dekat untuk menyapanya sekali lagi.
"Tante Lintang….??"
Wanita itu tetap tak bersuara lalu ketika aku melangkah untuk menengok wajahnya, mataku terperanjat kaget dan aku langsung menutup mulutku karena syok.
Tidak ada kehidupan di sorot mata Tante Lintang.
Mata itu kosong dan hampa saat melihat Pasar Dukuh yang dulunya berdenyut hidup dan kini hanya tinggal puing arang yang masih berasap panas.
Hanya bibirnya yang sedikit bergetar saat melihat pemandangan yang memilukan tersebut. Lalu, air mata mulai meleleh ke pipinya.
"Ah… ah…" Suaranya tercekat oleh rasa duka yang menyayat.
Semenit kemudian, tangisnya pecah dengan suara melolong pilu yang panjang. Seakan ia ingin melampiaskan semua emosi yang ada di dalam hatinya saat itu juga.
Tubuh kurusnya langsung jatuh berlutut ke atas tanah. Badannya berguncang hebat karena isak tangisnya yang sangat keras. Aku terpana saat melihat pemandangan tersebut. Belum pernah kulihat seumur hidupku kalau Tante Lintang akan menjadi serapuh itu. Kak Yanto hanya bisa memelukku dari samping dan perlahan, air mataku mulai menetes juga.
Duka ini…
Ternyata, dirasakan juga oleh Tante Lintang.
Pasar Dukuh selalu merupakan jantung dan paru-paru bagi kehidupan kami. Denyutnya selalu memberikan nafas bagi keberlangsungan tungku dapur dan periuk nasi kami. Sekarang, kami harus ke mana?
Aku tak tahu. Tante Lintang juga.
Perlahan, aku lalu berjalan dan mendekap tubuh kurus beliau. Tercium bau obat yang samar dari tubuhnya, tapi aku tak peduli. Hari itu, kebencianku pada Tante Lintang sirna sudah. Hatiku dan hatinya menjadi satu pagi itu.
........................…..
TANTE LINTANG
Aku masih ingat ketika Kungkung dan Popoh menggandeng tangan kecilku saat menyusuri beceknya tanah Pasar Dukuh saat itu 40 tahun yang lalu. Dengan hati-hati, mereka berdua menjalankan tugas hariannya yaitu menarik setoran harian dari para pedagang kios satu persatu dan hasil setorannya itu kemudian dibagi-bagi lagi di rumah kami.
Kungkung dan Popoh lalu menyisihkan sebagian untuk pemerintah kota, sebagian untuk para preman yang bantu menjaga ketertiban dan keamanan pasar, sebagian lagi untuk tukang sampah dan petugas kebersihan, sebagian lagi ditabung untuk manajemen pasar, dan sisanya baru ditabung untuk kebutuhan kami. Itu jumlahnya tidak banyak. Tapi Kungkung dan Popoh selalu menekankan kami untuk hidup hemat dan bersahaja. Yang penting ada makanan dan minuman serta kami bisa sekolah. Itu cukup.
Falsafah itulah yang kupegang sampai sekarang. Falsafah itu juga yang dipegang kuat oleh ayah ibuku sampai mereka meninggal. Hasilnya, Pasar Dukuh yang sudah berdiri selama puluhan tahun di atas lahan keluarga kami, kini bisa berdiri megah dengan beberapa renovasi besar-besaran dari hasil tabungan keluarga kami yang sudah dikumpulkan susah payah sejak puluhan tahun yang lalu.
Bahkan dengan manajemen yang tetap berjalan sama seperti pendahulunya, omzet Pasar Dukuh bahkan jauh lebih besar dari pasar-pasar tradisional yang lain.
Pasar Dukuh bagiku adalah sebuah amanat. Sebuah warisan keluarga. Aku melihat rekam jejak keluargaku di sana. Jejak sejarah turun temurun dari napak tilas keluargaku.
Kini, semuanya hanya tinggal abu dan asap.
Aku merasa seperti mau mati saat itu.
Pasar Dukuh adalah separuh jiwaku. Kini, ia sudah lenyap tak berbekas
Rasa bersalah memenuhi rongga paru-paruku. Hatiku terasa nyeri sekali serasa ribuan tombak yang dihujam langsung ke jantungku tanpa ampun.
Aku gagal, Pa…
Aku gagal, Ma…
Kungkung, Popoh…. Maafkan Linlin. Linlin gagal jaga warisan keluarga kita… Maaf….
.....................….
ERIKA
Aku sedang memeluk Tante Lintang bersama dengan Bi Ningsih ketika aku merasa kalau tubuhnya semakin lama semakin berat ke belakang.
Ya ampunn, Tante Lintang pingsan….
Aku langsung berseru-seru panik sambil memanggil Kak Yanto….