webnovel

31. Bakti Sosial

Dhika dan Okta tengah nge-gym bersama, karena ini akhir pekan. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama untuk nge-gym. Dhika yang tengah melakukan pec deck fly, Sedangkan okta tengah melakukan calf press. Keduanya saling berdampingan. "gimana perkembangan loe dan lita?" Tanya Okta.

"begitu saja, tidak berubah. Tapi gue bisa merasakan kalau dia masih mencintai gue. Walaupun dia masih menahannya dan seakan menyembunyikan perasaannya sendiri" ujar dhika masih sibuk dengan aktivitasnya.

"semuanya butuh proses, dhik. Gue yakin dia masih mencintai loe, tapi rasa sakitnya juga masih ada. Loe harus terus berjuang mengambil hatinya kembali" ujar okta yang sibuk melakukan calf press.

"iya" ujar dhika, peluh sudah membanjiri wajah dan badan mereka berdua. Kaos yang mereka pakaipun sudah basah karena keringat.

Dhika selesai melakukan olahraganya dan segera merogoh botol aqua dan meminumnya. Saat dhika tengah meminum air dalam botol aqua, terlihat di televisi berita hari ini.

Di televisi itu menayangkan berita tentang bencana alam. Telah terjadi gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter dan disusul oleh tsunami yang menghantam Aceh, Pantai Barat Semenanjung, Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri langka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Gempa terjadi pada waktu tepatnya jam 7:58:53 WIB.

Dan saat itu juga handphone dhika berbunyi dan menampilkan nama om hans disana, segera dhika tekan tombol hijau untuk mengangkatnya. Setelah mematikan telephonenya, dhika segera menyambar kunci mobilnya dan juga jaketnya.

"mau kemana loe?" Tanya okta yang sudah berdiri disamping dhika.

"gue harus ke rumah sakit, ada hal penting katanya." Ujar dhika

"oke, Kalau begitu hati-hati dijalan" ujar okta seraya meminum minumannya.

"sip" Dhikapun bergegas pergi.

Okta menatap televisi yang menayangkan berita gempa dan tsunami itu, okta merasa ngeri melihat kondisi yang terekam oleh camera televisi.

***

Dhika dan beberapa dokter dan suster lainnya mendapat tugas yang cukup mulia. Mereka di utus untuk pergi ke Aceh. Dan disinilah dhika sekarang, tenggah membereskan pakaiannya ke dalam tas ransel miliknya. Tak lama okta datang dengan sudah memakai tas ransel berukuran besar. Membuat dhika mengernyitkan dahinya."loe mau pindahan kemana?" Tanya dhika bingung

"ck, gue mau ikut loe ke tempat bencana alam" ujar okta

"kenapa? Ah gue tau, loe pengen ikut karena chacha ikut kan" ujar dhika

"emang si nela ikut?" Tanya okta mengernyitkan dahinya.

"loe gak tau?" Tanya dhika membuat okta menggelengkan kepalanya.

"nggak, orang gue ikut loe karena ingin jadi relawan dan ikut membantu" ujar okta santai seraya duduk di sisi ranjang.

"berjiwa sosial juga loe" ledek dhika.

"ya iyalah, gue bukan tipe orang yang tegaan. Gue merinding banget pas tadi lihat beritanya, makanya gue tadi balik dulu ke bandung dan bawa beberapa pakaian" ujar okta

"terus perusahaan loe gimana?" Tanya dhika

"ada si Andre asisten gue, dia yang akan menghandle buat sementara. Lagian abang gue juga lagi di sini, jadi biar dia yang ngurusin perusahaan sekalian" ujar okta santai membuat dhika mengangguk paham dan kembali membereskan pakaiannya. "loe serius si nela ikut?" Tanya okta penasaran.

"iya, gue serius" ujar dhika sibuk mengepak pakaiannya.

"wah bagus deh, jadi bisa menyelam sambil minum air" kekeh okta

"dasar modus loe" ujar dhika melempar handuk ke arah okta membuat okta semakin terkekeh.

Semuanya sudah berkumpul di bandara soekarno Hatta, tinggal menunggu kedatangan dhika.

Semuanya akan menaiki pesawat jet milik tentara militer yang akan sama-sama membantu korban bencana alam di Banda Aceh. Disana sudah ada Dr. Thalita, Dr. Khairul, Dr. Reza, Dr. Claudya, suster Meliana, Dr. Clarissa, dr. Riri (asisten clarissa), dan Sally (suster dr. Clarissa).

Tak lama dhika muncul dengan okta, membuat chacha terpekik kaget dibuatnya. "hai semuanya" sapa okta yang memang sudah mengenal mereka semua.

"kenapa dia ikut?" Tanya chacha kesal

"oh, ini pengusaha muda yang ikut menjadi relawan untuk membantu korban disana. Dia akan membantu kita, kalian bebas meminta bantuan apapun padanya" ujar dhika.

"apa kabar pak okta, lama tak melihat anda" ujar khairul

"saya baik, dr. Khairul" jawab okta tersenyum.

"baiklah, mari kita berangkat" ujar salah seorang tentara dan semuanya menaiki pesawat militer yang sudah berada disana. Chacha duduk berhadapan dengan okta. Okta terlihat memalingkan wajahnya dari chacha, sedangkan chacha mencuri-curi pandang ke okta.

Thalita yang duduk di samping chacha dan berhadapan dengan dhika. Terus menatap keluar jendela, melihat pemandangan awan putih dan langit biru diluar. Sedangkan dhika terus melihat ke arah Thalita. Sedangkan yang lainnya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Tak lama mereka sampai di tempat pengungsian. Semuanya turun dari dalam pesawat, dan beberapa tentara langsung berlari menghampiri dan membantu membawakan peralatan kesehatan dan beberapa obat-obatan yang sudah dipersiapkan. Dokter dan suster perempuan langsung menuju klinik, sedangkan dokter laki-laki termasuk okta membantu mengangkat beberapa kardus berisi obat-obatan dan beberapa alat medis yang sudah dipersiapkan dari AMI hospital.

Thalita yang baru sampai disekitar klinik, terdiam melihat pemandangan dihadapannya, beberapa tenda besar yang terbuka berisikan korban dengan beberapa luka termasuk di dalam klinik dan ada juga yang sedang di angkat oleh para tentara menggunakan tandu.

Tak jauh darisana beberapa tenda berisi para korban yang selamat dan tidak mengalami luka-luka. "dokter, barang-barang anda bisa disimpan di tenda sebelah sana" sahut seorang tentara seraya menunjukkan tenda berukuran sedang berwarna putih. Semuanya berjalan menuju tenda itu.

Disana terdapat 3 tenda, dua tenda untuk istirahat dan satu tenda berisikan makanan dan alat memasak.

Selesai membereskan barang-barang, dhika mengumpulkan semua dokter dan suster di depan tenda. Kecuali okta yang sudah turun membantu para tentara mengangkat beberapa korban yang baru saja di selamatkan atau dibawa dari TKP. "baiklah semua, tolong kenakan jubah kalian, agar mereka bisa mengenali kalian. Kalian bawa juga tas ini." Ujar dhika seraya menyerahkan tas ransel berukuran sedang ke para dokter dan suster.

"Disini sudah tersedia perlengkapan dan obat-obatan untuk melakukan tindakan pertolongan pertama. Kalian tahu mengenai protocol triase, kan?." tanya dhika.

"hijau untuk non-darurat, kuning untuk cedera ringan, dan merah untuk pasien gawat darurat yang membutuhkan pengobatan cepat" jawab dr. Reza.

"merah juga untuk pasien yang Kritis di TKP. Dan terakhir yang warna hitam untuk pasien yang meningal dunia" jelas dhika "Ingat tandai setiap pasien dan periksa dengan baik. Dan fokus pada mereka yang bisa diselamatkan" tambah dhika membuat semuanya mengangguk.

"kalian pegang alat komunikasi ini" dhika membagikan satu per satu alat komunikasi militer ke semua dokter dan suster. "Ini khusus diberikan oleh kapten tentara untuk mempermudah kita berkomunikasi" dhika menjelaskan cara pemakaiannya. "Semuanya sudah siap, sebelum bekerja lebih baik kita berdoa dulu menurut kepercayaan masing-masing" ujar dhika dan semuanya berdoa bersama. "Ayo bergerak sekarang" ujar dhika dan semuanya mulai berlari menuju para pasien.

Beberapa suster dan dokter sudah memeriksa beberapa pasien di dalam dan di luar klinik dibantu oleh dokter dan suster dari klinik. Thalita juga sudah sibuk memeriksa dan memakaikan pita di tangan korban.

Tak lama datang mobil dengan membawa beberapa korban lagi, tentara mengangkat semuanya menggunakan tandu menuju tenda kesehatan. Terlihat korban dengan luka yang sangat parah. Seorang anak kecil, nenek-nenek, kakek-kakek, remaja dan banyak lagi korban lainnya dengan luka yang cukup parah.

Thalita menghampiri seorang anak laki-laki yang sebelah tangannya terluka parah. "dokter tolong, sakit" gumamnya lirih sambil menangis. Thalita memeriksa pasien dengan menggunakan stetoscopnya.

Setelahnya lita mengeluarkan suntikan yang masih baru dan mengisinya dengan cairan bening. "dokter akan menyuntikkan anestesi. Ini untuk menghilangkan rasa sakitnya. Ditahan yah" ujar Thalita dengan lembut dan anak itu mengangguk patuh dengan masih sesegukan menahan sakit saat lita menyuntiknya di bagian tangan yang sakit.

"sudah selesai, setelah ini dokter akan mengobati luka kamu" ujar Thalita mengeluarkan cairan infusan untuk membersihkan luka anak itu.

Setelah selesai mengobatinya lita memasangkan pita berwarna kuning di pergelangan pasien. "jangan dilepas yah, ini untuk tanda kalau kamu mengalami cedera ringan" ujar lita membuat sang anak mengangguk patuh.

Seharian sudah semuanya sibuk mengurusi korban gempa yang terus berdatangan. Hingga saat ini korban yang meninggal mencapai 500 orang dan yang hilang sekitar 1000 orang.

Semua dokter masih sibuk mengurusi pasien hingga petang menjelang. Okta tengah duduk bersandar di sebuah truk militer sambil mengibas-ngibaskan kaosnya yang sudah basah karena keringat. "Disini panas sekali" gumamnya. Tiba-tiba saja seseorang menyodorkan sebotol aqua membuat okta menengok dan chacha berdiri disana.

"jangan ke geeran dulu, gue baik sama loe karena pengen sekalian minta maaf soal yang kemarin gue nimpuk loe" ujar chacha. Okta meraih botol itu tanpa menjawab ucapan chacha dan meminumnya, sebagian dia siramkan ke kepalanya dan mengibaskan rambutnya menghilangkan air yang ada di rambutnya.

"ih crocodile, basah muka gue" keluh chacha menghindari okta.

"ah segar sekali" gumam okta. "Thanks yah nela" ujar okta tersenyum manis.

"ya udah kalau gitu gue pergi" chacha beranjak hendak meninggalkan okta tetapi okta menahan lengan chacha membuat chacha tertarik dan menabrak dada okta.

"wajah loe kotor" bisik okta seraya mengusap pipi chacha yang terlihat kotor membuat chacha mematung di tempatnya. Matanya menatap wajah okta dengan jarak yang sangat dekat. "sudah selesai" tambahnya lagi dan melepas genggamannya pada chacha. "ayo kembali bekerja" ujar okta dan berlalu pergi meninggalkan chacha yang masih mematung di tempatnya.

Thallita kerepotan membawa beberapa dus berisi obat dan cairan infus. Langkahnya terhenti saat melihat tali sepatu sebelah kanannya terlepas. "astaga, pake lepas segala" gerutu lita dan berjongkok menyimpan barang bawaannya. Tangannya terulur untuk membetulkan tali sepatu yang terlepas, tetapi sepasang tangan milik orang lain lebih dulu menyentuhnya membuat lita menengadahkan kepalanya.

Dan tepat dihadapannya Dhika tengah berjongkok dan mengikatkan tali sepatu Lita. Tubuh Thalita langsung menegang dan mematung. Thalita menatap wajah dhika yang terlihat fokus menatap ke sepatunya.

Tak jauh dari sana, dokter Claudya yang tengah memeriksa pasien. Melihat ke arah Dhika dan Thalita membuat hatinya teriris sakit.

"sudah selesai, berhati-hatilah" ujar Dhika dan beranjak pergi meninggalkan Lita. Thalita masih terdiam dalam posisinya, jantungnya berdetak sangat cepat, membuatnya tak mampu berkutik.

Setelah lama terdiam, Thalita beranjak dan kembali membawa barangnya dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.

Hari semakin larut, tetapi tidak ada yang menghentikan pekerjaannya. Para tentara yang tengah mencari korban di TKP terus berdatangan dengan membawa beberapa orang korban. Semakin banyak korban yang datang, dan banyak juga korban yang meninggal. Semua dokter sibuk bekerja, mereka bahkan belum sempat makan apapun.

Saat Chacha sedang meneguk air dalam botol tiba-tiba saja Sally datang menghampiri Chacha. "dokter Clarissa, ada pasien yang mengalami pendarahan disana" ujarnya dengan cemas dan ketakutan. Chacha bersama Sally berlari menuju pasien yang di maksud Sally tadi. Disana sudah ada Riri yang tengah memasang alat infusan ke pasien.

"dokter, pendarahannya sangat parah" jelas Riri dan Chacha segera memeriksa pasien.

"ini bisa melakukan persalinan normal" jelas Chacha. "Tetapi kita butuh penerangan yang cukup" tambah Chacha

"saya akan meminta bantuan ke tentara" ujar Sally beranjak pergi.

"ibu, ini bagaimana bisa terjadi?" Tanya Chacha

"saya terguling saat berlari menuju lapangan" ujar ibu yang terengah-engah menahan sakitnya. "ini sudah bulan ke Sembilan kehamilan saya" ujarnya

"sayang!!" seorang laki-laki datang mendekati ibu itu.

"mas, kamu selamat mas" isaknya.

"iya sayang, aku selamat. Bagaimana anak kita?" Tanya laki-laki itu

"a-aku tidak tau" ucapnya. Tak lama Okta datang bersama Sally dengan membawa lampu neon yang cukup besar untuk penerangan.

"Crocodile, tolong sebelah sini" ujar Chacha menunjuk di sampingnya dan tepat di hadapan bagian intim ibu yang terbaring itu.

"kenapa disitu sih Nela? Gue disini saja" ujar Okta menolaknya.

"gue butuh penerangannya disini, bukan disana" ujar Chacha ngotot

"gue tidak mau, gue nggak enak lah" ujar Okta tak mau kalah.

"Crocodile cepat, jangan protes." Ujar Chacha mulai kesal.

"gue tidak mau" ujar okta masih dalam pendiriannya. Semua orang yang ada disana menatap aneh ke arah mereka berdua.

"Crocodile !!!" ujar Chacha kesal.

"gue gak mau" ujar Okta dengan cuek

"ini kapan akan dilakukan persalinannya? Istri saya sudah kesakitan !!!" pekik suami pasien dengan kesal membuat Okta dan Chacha terdiam. Okta akhirnya mengalah, dan memalingkan wajahnya ke arah lain seraya memegang alat penerangan itu.

"ibu, tarik nafas lalu keluarkan. Seperti itu terus yah" intruksi Chacha membuat ibu itu melakukannya. "terus bu, sedikit lagi" ujar Chacha masih berusaha. Okta menatap wajah chacha yang terlihat bersinar dengan peluh yang membanjiri dahinya. Tak lama bayipun keluar, tetapi dengan tubuh yang sangat kaku dan biru.

Kedua tangan Chacha bergetar menggendong bayi kecil itu yang berjenis kelamin perempuan.

"dokter istri saya" teriak suami pasien menyadarkan Chacha yang mematung kaku, pasien terlihat sudah memejamkan matanya. Riri segera memeriksa kondisi pasien.

"dokter, pasien sudah tidak bernafas" ujar Riri. Chacha mendadak menjadi lambat dan suara orang-orang disekitarnya tidak terdengar sama sekali. Ini pertama kalinya Chacha membantu persalinan pasien, dimana anak dan ibunya meninggal bersamaan.

Tubuh Chacha di tarik oleh seseorang, membuat Chacha berhadapan dengan seseorang yang tak lain adalah Okta. Okta mencengkram kedua pundak Chacha.

"sadar nela, sadarlah !!" ujar Okta menghentakkan bahu Chacha.

"TIDAKKK!!!" teriakan seseorang menyadarkan Chacha membuat air mata Chacha mengalir membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat.

"dokter Clarissa, pasien meninggal karena kekurangan darah" Jelas Riri.

Chacha menengok ke arah pasien yang tengah dipeluk oleh suaminya sambil menangis. Dan Chacha kembali menatap bayi mungil di kedua tangannya.

"a-aku gagal" ujarnya bergetar

"kamu sudah berusaha, nela. Kamu sudah kerahkan yang terbaik untuk menolong mereka berdua" ujar Okta

"crocodile,, hikzz...hikzz... aku gagal" isak Chacha membuat Okta menarik kepala Chacha ke dada bidangnya.

"aku terlambat menyelamatkan mereka,,,hikzz" isak Chacha

"tidak, ini bukan salah kamu nela. Ini sudah takdir tuhan" bisik Okta mencium puncak kepala Chacha. Chacha semakin terisak di pelukan Okta, sedangkan kedua asisten Chacha membersihkan dan mengurus jenazah pasien.

Chacha di bantu Okta membersihkan tubuh bayi yang masih dilumuri darah. Lalu sama-sama membaringkannya disamping tubuh ibunya. Suami dari pasien masih menangis disamping jenazah itu. "maafkan saya, karena saya telah gagal" ujar Chacha merasa menyesal.

"tidak apa-apa dokter, ini sudah takdir tuhan" gumam laki-laki itu. Okta masih setia merangkul Chacha yang terlihat lemas.

Setelah memberi pesan ke asisten Chacha. Okta membawa Chacha ke tenda dokter.

"duduk disini, aku buatkan kopi dulu" ujar Okta membuat Chacha mengangguk. Chacha masih menatap kosong ke depan, hatinya merasa sangat sakit menerima kegagalan untuk pertama kalinya. Bahkan tidak ada yang bisa diselamatkannya.

"jangan melamun nela, nanti ke sambet nyonya kunti lagi" ujar Okta yang sudah duduk disamping Chacha membuat Chacha melirik ke arah Okta. "nih minum" Okta menyodorkan segelas kopi dan Chacha menerimanya. "Semua manusia sudah di atur oleh sang pencipta, kapan mereka akan meninggal. Jadi jangan terlalu menyalahkan diri kamu sendiri" ujar Okta dengan lembut.

"gue bahkan tidak bisa menyelamatkan salah satunya" gumam Chacha, air matanya kembali menetes membasahi pipi.

"jangan sedih, mungkin ini yang terbaik untuk mereka" ujar Okta menghapus air mata Chacha.

"tumben loe baik banget sama gue" ujar Chacha melihat ke arah Okta

"gue kan memang selalu baik sama loe, loenya saja yang suka jahatin gue" ujar Okta merengut.

"habis loe nya nyebelin" keluh Chacha

"tapi suka kan? Sampe nanya-nanya ke si Dhika" ujar Okta tersenyum lebar.

"dokter Dhika cerita?" Tanya Chacha kaget membuat Okta mengangguk

"ternyata ember juga" gumam Chacha

"bukan ember, tapi tidak akan pernah ada dusta di antara kita" kekeh Okta

"lebay" cibir Chacha.

Mengalirlah cerita mereka berdua, mereka mulai akrab dan menghabiskan waktu bersama.

***

Dhika baru saja duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari tenda dokter, menatap hamparan langit malam. Tak lama seseorang duduk di sampingnya. "kopi?" tawarnya membuat Dhika menengok dan melihat Claudya yang duduk di sampingnya.

"terima kasih" Dhika menerimanya dan meneguk kopinya.

"banyak sekali korban yang berdatangan, aku sampai bingung harus memeriksa yang mana dulu" ujar Claudya membuat Dhika mengangguk.

"masih banyak korban yang belum ditemukan" ujar Dhika

"Dhika, aku mau minta maaf masalah yang waktu itu. Aku merasa sangat bodoh telah mengungkapkan semuanya padamu" ujar Claudya sedikit berbisik.

"santai saja, aku tidak mempermasalahkannya kok" ujar Dhika kembali menyeduh kopi ditangannya.

"tapi kamu masih mau berteman denganku kan?" Tanya Claudya membuat Dhika terkekeh dan mengacak rambut Claudya. Disaat bersamaan, Thalita baru saja melewat hendak memasuki tenda dapur. Dan tak sengaja melihat adegan mereka berdua.

"kamu tenang saja, kita masih bisa berteman kok. Aku tidak akan memutuskan tali silaturahmi kita hanya karena masalah semacam itu" ujar Dhika membuat Claudya mampu bernafas lega.

"aku sangat lega mendengarnya" ujar Claudya senang.

Dan keduanya mulai berbincang-bincang dengan sesekali tertawa. Thalita yang berada tak jauh disana merasa sangat cemburu.

"tidak berubah sama sekali" gumam Thalita cemberut dan memasuki tenda dapur. Didalam tenda, terlihat Chacha dan Okta tengah membuat pop mie bersama.

"kalian?" Tanya Thalita sedikit kaget melihat keduanya yang terlihat cukup dekat.

"eh ada Lita, mau pop mie?" tawar Okta membuat Lita mengangguk.

"aku hendak membuatnya" ujar Lita

"sekalian yah sama yang si Dhika. Dia belum makan dari tadi siang" ujar Okta

"suruh saja bikin sendiri" jawab Lita dengan ketus.

"amal dikit Tha" ujar Okta membuat Chacha menyenggol lengan Okta.

"kalian sejak kapan dekat? setau gue, di kampus dulu kalian bermusuhan," Tanya Thalita mengalihkan pembicaraan dan menatap curiga ke arah dua orang di hadapannya itu.

"kita tidak dekat kok Tha, kita hanya kenal saja" ujar Chacha seraya memasukkan bumbu ke dalam cup pop mie.

"segini kamu bilang tidak dekat?" protes Okta

"iya" jawab Chacha cuek sambil membawa pop mienya. "gue makan duluan yah Lita" ujar Chacha beranjak meninggalkan Okta.

"dasar nenek lampir" gerutu Okta mengikuti Chacha keluar dari tenda.

"jangan lupa buatkan juga untuk si Dhika yah" ujar Okta sebelum keluar.

"gue bukan baby sisternya" ketus Lita seraya mengambil satu buah pop mie. Thalita sibuk membuka bungkusan pop mie dan tak lama seseorang masuk ke dalam tenda.

"gator" panggil seseorang membuat Thalita menengok dan pandangannya langsung bertemu dengan mata coklat milik Dhika. "aku kira ada Okta," ujar Dhika, Thalita langsung memalingkan wajahnya.

Lita masih kesal saat tadi melihat Dhika dengan Claudya yang begitu akrab dan dekat. "Okta tadi keluar sama Chacha" ujar Thalita ketus dan sibuk membuka bungkusan pop mie.

"ternyata mereka sudah akur" gumam Dhika berjalan mendekati Thalita dan mengambil sebungkus pop mie yang ada disana. Dhika membuka bungkusan pop mie miliknya.

Thalita masih terdiam menunggu mienya matang di dalam cup. Dhika mengambil termos kecil dan menumpahkan air panas ke dalam cup mie.

Saat hampir selesai, airnya mengenai jari telunjuk Dhika yang tengah memegang cup.

"oh shittt!!" umpat Dhika mengibaskan tangannya yang panas.

Tiba-tiba saja tanpa sadar Thalita menarik tangan Dhika dan meniupi tangan Dhika yang melepuh. Dhika yang kaget melihat ke arah Thalita yang terlihat fokus meniupi jari Dhika. 'aku tau, kamu tidak benar-benar membenciku' batin Dhika tersenyum menatap wajah Lita.

"kamu masih tetap ceroboh" gerutu Lita. "lain kali berhati-hatilah" tambahnya dan menghempaskan tangan Dhika begitu saja. Dengan wajahnya yang sudah memerah, Thalita berlalu pergi meninggalkan Dhika dengan membawa pop mie miliknya. Dhika tersenyum menatap Thalita yang sudah menghilang di balik tenda.

***

Okta dan Chacha tengah duduk berdampingan di belakang tenda sambil menikmati pop mie milik mereka.

"kenapa barusan bilang kalau kita tidak terlalu dekat? Padahal kita sudah dekat" ujar Okta.

"menurut gue sih nggak" jawab Chacha cuek sambil memakan mienya.

"jadi menurut loe, yang dekat itu bagaimana?" Tanya Okta dan Chacha hanya mengedikkan bahunya. "apa seperti ini" Okta tiba-tiba saja menyentuh sudut bibir Chacha yang terdapat mie dengan bibirnya.

Chacha melotot sempurna dan menegang dengan apa yang Okta lakukan. Okta kembali menjauhkan bibirnya dari bibir Chacha.

"pedes" Ujar Okta santai, sedangkan wajah Chacha sudah memucat karena syok.

"ba-barusan a-apa yang loe lakuin?" gumam Chacha menyentuh bibirnya.

"aghh,, Crocodile jelekkkkk !!"

teriak Chacha membuat Dhika yang baru keluar dari tenda melihat ke arah mereka. "loe nodain gue!!" pekik Chacha emosi.

"ck, berlebihan banget loe, nel" jawab Okta dengan santainya.

"berlebihan??? Dasarrrrr buaya jelekkk,,," ujar Chacha kesal dan

Byur

Kepala Okta di siram kuah pop mie yang tengah dipegang Chacha. "aghh nelaa,, apa-apaan sih loe !!" pekik Okta kesal.

"nyebelin loe" Chacha pergi meninggalkan Okta sendiri yang masih terdiam dengan kepala yang penuh dengan kuah dan mie dari pop mie milik Chacha.

"hahaha" Dhika tertawa sambil berjalan mendekati Okta.

"jangan tertawa !!!" ujar Okta kesal.

"ternyata si Chacha tidak segampang yang dikira yah" ujar Dhika seraya duduk di tempat Chacha tadi sambil memakan pop mie yang dia pegang.

"tau ah,, kepala gue udah kayak kuah baso saja" gerutu Okta membersihkan kepalanya yang penuh mie dan kuah.

"tidak apa-apa,, baso berbulu" kekeh Dhika

"aghhh sialan dasar,,!! gue harus mandi kalau kayak gini" gerutu Okta.

"sana mandi di sungai,, kan disana tempat loe" ledek Dhika sambil menyeduh pop mienya

"isshhhh !!!" Okta beranjak meninggalkan Dhika dengan kesal.

"pasangan aneh" gumam Dhika.

***

Nächstes Kapitel