webnovel

BAB 32

Beberapa hari kemarin Hinata masih tinggal bersama Naruto. Namun sekarang dia kembali ke paviliun pribadinya dan di sana begitu sangat sunyi. Ia masih dapat merasakan pelukan Naruto di tubuhnya. Kehangatan pria itu—tangan pria itu yang besar membelai pipinya. Bibir pria itu masih terasa menempel di bibirnya, sering kali mencium sebagai ucapan selamat pagi, dan nyaris saling menelanjangi diri untuk melakukan hal lebih. Tetapi yang diingat oleh Hinata, Naruto tidak menginginkannya, karena bukan itu tujuan Hinata berada di rumah laki-laki itu.

Sementara itu, pada akhirnya dia tersedu-sedu sendiri di kamarnya, memeluk selimutnya erat-erat. Ini pertama kalinya dia sangat membenci ayahnya. Walaupun sebenarnya Hinata tidak ingin melakukannya. Ia ingin berbicara empat mata bersama pria itu sebelumnya. Namun sepertinya hal tersebut tidak akan pernah bisa dilakukan olehnya mengingat ayahnya begitu bertemperamen mengerikan yang membuat Hinata merasa takut sendiri sebelum mencobanya. "Ternyata memang tidak mudah." Dia bergumam putus asa.

Dan tidak lama saat dia mengambil duduk, seseorang menggeser pintu kamarnya. "Selamat pagi." Ibunya muncul di kamarnya, tapi tidak membuat Hinata menjadi baik-baik saja. "Ibu tidak akan bertanya apakah tidurmu nyenyak, ibu ke sini untuk membawa sarapan." Hinata mencoba tersenyum meski sebenarnya dia tidak mampu menghapus bekas-bekas air mata dengan benar.

"Sayang, ayo kita pergi jalan-jalan hari ini. Kalau kau tidak ingin sarapan, ibu akan meletakkannya di meja."

"Ayah tidak akan mengizinkannya, beliau pasti akan mencegah kita keluar dari paviliun, kurasa di depan banyak penjaga, dan mereka selalu memastikan bahwa aku tidak kabur dari tempatku." Duduk di samping putrinya, Hikari mengusap pipi putrinya lembut. "Lagi pula, aku sudah terbiasa berada di sini, ibu tidak perlu mengkhawatirkan aku."

"Kau harus menghirup udara segar di luar. Ayah sedang pergi ke suatu tempat. Kita akan membungkam penjaga di luar paviliunmu. Bagaimana?" padahal, di luar tidak ada siapa-siapa. Hiashi sudah menyuruh mereka untuk pergi dari sana, dan tidak ada lagi penjagaan ketat untuk putrinya lagi. "Apa sekarang kau jauh lebih kecewa pada ayah?"

"Iya, sangat kecewa, tapi aku tidak bisa memberontak, karena pasti ayah akan jauh lebih marah kepadaku."

"Ayah tidak pernah marah padamu, Sayang."

"Ibu, di kediaman Uzumaki, ayah mempermalukan dirinya sendiri karena tidak menjaga sikap."

"Pada saat itu ayah mabuk. Kau tahu, bahwa orang mabuk sulit mengendalikan diri mereka." Hinata mengingat Naruto—malam itu, Naruto bersikap aneh, sedikit mesum. Dan sekarang, ketika Hinata bersemu merah, Hikari menganggap bahwa wajah memerah putrinya karena marah. "Ibu tidak pernah melihat kau berwajah marah seperti sekarang. Kau benar-benar sulit berdamai dengan ayah?"

Hinata tidak mengatakan apa-apa. Sepanjang waktu sampai akhirnya dia duduk di kursi rodanya kembali dengan bantuan ibunya, dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Yang benar saja, kalau sampai dia mengatakan apa yang sudah dilakukannya bersama Naruto, dan ciuman itu mungkin saja jadi suatu hal yang tak dapat diterima meski dunia telah berperan baik untuk membiasakan setiap orang berada pada hal-hal tabu, tetapi keluarganya tidak berada di titik itu—hanya keluarganya.

Sampai di tempat tujuan mereka. Sebuah taman yang dirawat dengan baik di kediaman Hyuuga. Di sana Hinata dapat menghirup udara bebas dan pagi ini terasa jauh lebih segar, melupakan sarapan yang teronggok di atas meja di kamar. Di sana, Hikari mau memberitahu sesuatu. Dan dia tidak mau tetap berada di dalam kamar putrinya untuk menjelaskan sesuatu yang penting itu.

"Sebelum pergi, ayah menyetujui kau untuk diperiksa, dan melakukan transplantasi kornea," Hinata kaget di tempatnya. "Besok, akan banyak dokter untuk datang ke rumah dan memeriksa. Mereka akan membuat jadwal untuk operasimu." Hikari meneliti wajah putrinya lekat-lekat, ia pikir putrinya akan sangat gembira mendengar itu, tapi sepanjang waktu hanya bersikap apa adanya. Namun semestinya, ia tidak boleh mengungkit tentang Naruto Uzumaki di sini. Karena perjanjian yang telah dibuatnya dengan sang suami, nama lelaki itu harusnya dihapuskan.

Namun putrinya justru bertanya, "Apakah ayah benar-benar tidak merestui kami?"

"Butuh waktu."

Hinata mengangguk. "Aku sudah bisa menebaknya," kata gadis itu, nadanya terdengar sangat putus asa. "Ini pasti akan terjadi. Ibu pasti membuat perjanjian dengan ayah, transplantasi kornea dapat dilakukan tapi aku tidak boleh lagi berhubungan dengan Naruto." Tiba-tiba Hinata merasa menyesal, mengapa dia tidak menerima saran Naruto untuk membuat bayi secepatnya—dengan berkata dia telah dinodai, pasti ayahnya tidak akan berpikir dua kali untuk menikahkan mereka.

Kemudian tangannya menjadi dingin.

Apakah dia perlu berbohong sekarang? Tapi sepanjang hidupnya, dia tidak pernah berbohong pada orangtuanya, dan ketika dia ingin melakukannya, rasanya amatlah berat.

Sebaliknya di tempat lain. Hiashi memutuskan untuk bertemu Naruto. "Sebaiknya akhiri hubungan kalian." Naruto tidak terkejut, karena dia tahu, pasti itu yang akan dikatakan oleh ayah Hinata ketika asisten itu datang memberikan pesan untuk pertemuan mereka pagi-pagi sekali.

Naruto duduk santai di tempatnya—di sebuah kafetaria di tengah kota yang masih sepi—dan berbeda dari Hinata yang tidak bisa berbohong. Laki-laki itu justru mengakui perbuatan yang jelas tak pernah sekalipun dilakukan oleh dia dan Hinata. "Tidak lama lagi mungkin Anda akan mendengar bahwa putri Anda hamil." Hiashi mengernyit, tetapi ia dapat merasakan tulang-tulangnya menegang secepat dia menangkap kalimat itu. "Kami telah melakukan banyak hal."

"Banyak hal yang kau maksud?" ia tidak mau murka sebelum memastikannya.

"Laki-laki dan wanita tinggal di satu kamar." Hiashi mulai kesal, mendapati bahwa laki-laki itu berkata dengan sangat santainya. Ia tidak lagi mau berdamai dengan keadaannya. "Kami melakukannya berkali-kali tanpa pengaman, aku merasa dia akan hamil anakku."

"Kuharap kau tidak mengarang cerita."

Naruto menarik napas, menyilangkan kakinya, Hiashi meneliti laki-laki di depannya dengan pikiran yang tak lagi bisa berkompromi. "Maka dari itu kami akan pergi ke Inggris secepatnya, tapi Anda mengacaukan rencana kami untuk menikah di sana."

"Kau bilang untuk transplantasi kornea—"

"Dan pesta pernikahan." Hiashi beranjak dari duduknya, menarik kemeja Naruto, dan mencengkeramnya sangat kuat sampai tubuh laki-laki itu terangkat, lalu memukulkan tinjunya tepat ke rahang laki-laki kurang ajar yang telah menodai putrinya.

Nächstes Kapitel